ng Bramanty
terbuka. Mata itu menatapku, tetapi kosong, tanpa ke
. "Sayang, kau sudah bangun. Ka
lembut mengelus pipinya, menghapus air mat
ringan, sesuatu untuk membantunya tidur, untuk menenangkannya setelah adegan di kafe. Karin begitu bersikeras, begitu putus asa. Dia menangis,
dengan isak tangis yang dibuat-buat. "Aku ada keadaan darurat mendadak di kantor. Aku harus pergi. Aku mengunci pintu studio tanpa b
ngannya. Tidak sekarang. Tidak akan pernah. Dia adalah istri yang sempurna, ibu yan
heningan membentang, penuh dengan tuduhan yang tak terucapkan. D
favoritnya, dan menceritakan kembali kisah-kisah saat-saat paling bahagia kami. Aku adalah suami yang sem
antor London-ku. Krisis yang
ncium keningnya. "Hanya beberapa jam.
gangguk, mata
sung menemui Karin. Dia menungguku di
," bisiknya, mat
penuh kemenangan melandaku. Aku, Bramantyo Adinegara, cukup kuat, cukup jantan,
ku dipenuhi keajaiban tulus yang bahkan mengejutkanku. "Bayi kita." Aku akan memiliki semuanya. Ist
elihat bayangan di lorong. Aku tidak melihat Nayla berdiri di sana,
dang Nayl
miliki saat aku memberitahunya bahwa aku hamil. Kekaguman lembut yang sama, kebanggaan posesif yang sama. Itu tidak unik. Itu ti
keping-keping, entah bagaimana menemu
tar. Sebuah pe
rn yang ramping dari kaca dan baja. Desainku. Sebuah galeri seni pribadi
Tempat untuk memajang seniku. Dan segera, tempat unt
buhku. Aku memanggil taksi, suara
eka berkumpul di sekitar Karin, tertawa, memberi selamat, menyentuh perutnya. Mereka semua tahu. Semua orang
epuk punggungnya. "Pasti laki-laki. Kau akan punya dua anak l
u tertawa te
i," katanya, suaranya sombong. "Aku harus membuat istriku bahagia di siang hari, t
akukan padanya. Suara-suara yang dia buat. Detail intim dari perselingkuha
munan. Itu adalah barang pesanan khusus yang kuambil dari Italia. Aku tahu keku
nemukan katrol pemeliharaan yang tersembunyi di balik
unyi patah yang memuakkan. Lampu kristal
rah lurus
bertemu di seberang ruangan yang ramai. Kepanikan berkobar di wajahnya.
enjerit. Suara teror y
h. Dia berhenti
emili
k, melahapku. Hal terakhir yang kulihat sebelum kegelapan merenggutku adalah Bram
n yang teredam. Aku berada di atas tandu. Bram memelu
ya pada paramedis, suaranya pani
mendorongku
kah di depan tandu. Wajahnya
parah," kata seorang paramedis, me
ndu, tubuhku menghantam lantai marmer yang dingin dengan benturan yang
ong Karin yang tidak sadarkan diri. "Ur
hku yang hancur terbaring di genangan darahku
ngaku. Pria yang kucintai, pria yang kunikahi, ayah dari anakku, baru saja meninggalkanku
kucintai benar-benar telah tiada.
 
 
 GOOGLE PLAY
 GOOGLE PLAY