dang Aira
i bawah. Surat-surat cerai tergeletak di atas meja mahoni yang mengkilap, belum ditandatangani. Sehari te
tiap sudut kehidupan yang telah kami bangun. Aku mengharapkan pertarungan, n
tu bukan dari Bramantyo. Alamat pengirimnya adalah kotak pos generik. Tanganku mantap saa
nnya, kepalanya bersandar di dadanya. Dia tersenyum. Bukan senyum publiknya yang penuh perhitungan, tetapi senyum tulus dan
tatan, ditulis dengan tulisan t
ah tua, dan kau tidak bisa lagi memberinya apa yang
foto sonogram. Gambar kecil dan buram
ar itu, amarah yang dingin dan metodis membara di dalam dirik
Cari dia. Aku tidak peduli b
alah Kayla Anindita. Ironisnya begitu kental hingga memuakkan. Dia telah me
rat itu? Baik. Aku akan memberinya alasan. Aku akan mengambil ma
an janji temu pranatal. Anak buahku profesional. Dia dim
i mana kami telah menutup banyak kesepakatan dan mengakhiri banyak nyawa. Langit berwarna timah, kelabu pek
ng enam meter di atas air kanal yang bergolak dan sedingin es. Dia ketakutan, wajahnya pucat dan bergari
knya, suaranya tipis melawan angin. "B
ikannya. Aku menyalakan sebatang roko
dengan tenang, menghembuskan kepulan asa
di tali pengaman. "Aku mengandung anaknya! Aku keluarga
pikir bayi adalah kartu truf di dunia kami. Dia tidak ta
k di pintu masuk dermaga. Dia keluar, wajahnya seperti awan badai kema
ungnya, melangkah ke a
mantyo." Aku menunjuk dengan daguku ke dokumen perceraian yang tel
nya, berhenti bebe
u yang mengajariku. Daya ungkit. Temukan
s histeris. "Bramantyo
k yang seharusnya menjadi milik kami. Masa depan
aku turun menjadi bisikan. "Dia bilang kau membuangku. Apak
ngnya mengeras, tangannya terkepal. Keheninga
tiran es kecil dan tajam
u lagi, suaraku datar dan tanpa emosi
nya tergantung pada seutas benang. Pria yang telah kucintai selama dua dekade menatapku
 GOOGLE PLAY
 GOOGLE PLAY