Aturan pertama yang pernah aku dan Bramantyo buat adalah untuk selalu menjawab telepon satu sama lain. Selalu. Itu adalah aturan yang ditempa dalam darah dan keputusasaan di gang-gang sempit Jakarta yang becek, saat kami hanyalah anak-anak dengan perut kosong dan kepalan tangan yang penuh ambisi. Jadi, ketika telepon suamiku masuk ke pesan suara untuk kelima kalinya di hari peringatan kematian putra kami, aku tahu dia bukan hanya sibuk. Dia sedang bersama orang lain.
Setiap tahun, pada hari ini, kami menutup diri dari dunia. Tidak ada kesepakatan, tidak ada pertemuan, tidak ada panggilan telepon. Kami akan berkendara dua jam ke selatan menuju vila di Puncak, vila yang kami beli dengan satu miliar pertama kami yang bersih. Itu adalah tempat suci kami, tanah tenang dan keramat tempat kami membiarkan diri kami berduka untuk putra yang tidak pernah bisa kami dekap. Kami akan menyalakan sebatang lilin putih, duduk di teras kayu yang sudah usang, dan kami tidak akan berbicara sampai matahari terbenam di ufuk barat, melukis danau dengan sapuan warna jingga dan ungu.
Itu adalah ritual kami. Sebuah janji tanpa kata bahwa bahkan dalam keheningan yang menyesakkan karena kehilangan, kami tidak pernah sendirian. Kami memiliki satu sama lain.
Pagi itu, aku bangun sendirian di ranjang ukuran king kami, sprei di sisinya dingin dan tidak tersentuh. Rasa dingin yang membekukan mulai menjalari perutku. Menjelang siang, tanpa kabar darinya, rasa dingin itu mulai retak. Menjelang pukul tiga sore, rasanya seperti ada sesuatu yang berat menekan paru-paruku.
Aku ingat dia, bertahun-tahun yang lalu, melindungiku dari pisau saingan. Baja itu menancap dalam di punggungnya, luka yang akan meninggalkan bekas luka permanen yang bergerigi. Dia ambruk di atasku, darahnya hangat di pipiku, dan berbisik, "Aku di sini, Aira. Aku selalu di sini." Dan memang begitu. Selama dua puluh tahun, Bramantyo Wicaksono adalah satu-satunya hal yang konstan dalam hidup yang penuh kekacauan. Dia adalah partnerku, ahli strategiku, arsitek dari kerajaan yang kami bangun dari nol.
Sekarang, dia просто... menghilang.
"Leo," kataku ke telepon, suaraku tenang membahayakan. "Lacak mobil Bramantyo. Sekarang."
Tidak ada keraguan. "Siap, Bos."
GPS berbunyi kurang dari satu menit kemudian. Darahku terasa dingin. Dia ada di vila. Dia pergi tanpaku.
Perjalanan itu terasa kabur di antara pepohonan gundul musim kemarau dan langit kelabu. Anak buahku, dalam konvoi sunyi SUV hitam, mengapit mobilku. Mereka tahu tanpa perlu bertanya. Mereka tahu hari apa ini, dan mereka tahu sorot mataku. Itu adalah sorot mata yang sama yang kumiliki sebelum melakukan pengambilalihan paksa, sebelum aku menghancurkan seorang pria karena mengkhianati kami. Itu adalah sorot mata seorang ratu yang bersiap untuk perang.
Kami berhenti di jalan masuk berkerikil yang panjang, suara ban berderak seperti tulang yang remuk. Aku melihat sedan hitamnya terparkir di dekat teras. Tapi ada mobil lain, sebuah mobil LCGC butut murahan, terparkir di sampingnya. Mobil itu sangat tidak pada tempatnya di tengah keanggunan pedesaan vila itu, rasanya seperti penghinaan yang disengaja.
Aku keluar, memberi isyarat agar anak buahku tetap di tempat. Udara terasa sangat dingin, menggigit kulitku yang terbuka. Melalui jendela besar, aku bisa melihat api menyala di perapian. Dan kemudian aku melihat mereka.
Bramantyo berdiri di dekat perapian, memunggungiku. Seorang wanita muda, baru saja beranjak dewasa, berada di depannya. Dia kecil, dengan rambut gelap yang tergerai berantakan di punggungnya. Dia mengenakan salah satu kemejanya, kemeja kasmir abu-abu lembut yang kuberikan untuk ulang tahun terakhirnya. Kemeja itu kebesaran di tubuh rampingnya, lengannya menelan tangannya.
Dia mengulurkan tangan dan menyelipkan sehelai rambut yang terlepas ke belakang telinganya, sentuhannya luar biasa lembut. Itu adalah cara yang sama dia dulu menyentuhku ketika dia pikir aku sedang tidur. Gerakan lembut dan posesif yang selalu membuat hatiku sakit karena cinta. Melihatnya melakukannya pada orang lain rasanya seperti menelan pecahan kaca.
Wanita itu terkikik, suara ringan dan melengking yang menggores gendang telingaku. Lalu dia berjinjit dan menciumnya.
Dunia seakan jungkir balik. Udara di paru-paruku berubah menjadi abu. Ini bukan hanya pengkhianatan. Ini adalah penodaan. Dia membawa wanita itu ke sini. Ke tempat kami. Ke tempat putra kami.
Amarah yang murni dan membabi buta menyelimutiku. Aku berjalan melewati pintu depan, berkeliling ke tugu peringatan batu kecil yang kami bangun di tepi air. Itu adalah batu datar sederhana yang diukir dengan satu nama: Leo. Leo kami. Di sampingnya ada kuda goyang kayu kecil buatan tangan yang Bramantyo habiskan sebulan untuk membuatnya saat aku hamil. Dia bilang setiap raja membutuhkan seekor kuda.
Aku menatap kuda kecil itu, matanya yang dicat menatap kosong ke air kelabu. Lalu aku melihat kembali ke jendela, ke suamiku yang mencium wanita lain dalam kehangatan rumah kami.
Kakiku melesat. Aku menendang kuda kayu itu dengan sekuat tenaga. Kuda itu hancur berkeping-keping di tanah yang beku, kayunya retak dengan suara seperti tulang patah. Kepalanya patah bersih, menggelinding dan berhenti di kakiku.
Suaranya cukup keras untuk terdengar. Pintu depan vila terbuka lebar. Bramantyo berdiri di sana, wajahnya topeng keterkejutan yang dengan cepat mengeras menjadi sesuatu yang dingin dan penuh perhitungan. Gadis itu, Kayla, mengintip dari belakangnya, matanya terbelalak dengan campuran rasa takut dan menantang. Aroma parfum bunga murahannya melayang di udara hangat, aroma manis yang memuakkan yang membuatku ingin muntah.
Anak buahku sekarang sudah keluar dari mobil mereka, tangan mereka di atas senjata, membentuk dinding diam yang mengancam di belakangku.
Mata Bramantyo beralih dari wajahku, ke anak buahku, dan kemudian ke potongan-potongan kuda goyang yang hancur. Sekilas sesuatu-rasa sakit, mungkin-melintas di wajahnya sebelum lenyap.
"Aira," katanya, suaranya datar. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku datang untuk peringatan kematian putra kita," kataku, suaraku sendiri rendah dan berbahaya. Aku menunjuk dengan daguku ke arah gadis yang meringkuk di belakangnya. "Siapa yang kau bawa?"
Gadis itu, Kayla, mencengkeram lengannya. Dia terlihat sangat muda, sangat rapuh. Dia terlihat seperti diriku dulu, sebelum jalanan menghapus semua kelembutan dariku.
Bramantyo dengan lembut mendorongnya lebih jauh ke belakang, gerakan protektif yang membuat hatiku semakin perih. Dia dulu melakukan itu untukku. Dia dulu perisaiku.
"Ini tidak seperti yang kau pikirkan," dia mencoba, kalimat tertua dan paling menyedihkan yang pernah ada.
"Bukan begitu?" Aku maju selangkah. "Kau membawa jalangmu ke tempat kita berduka untuk anak kita. Kau membiarkannya memakai kemejamu di rumah yang kita bangun. Katakan padaku, Bramantyo, bagian mana dari ini yang aku salah paham?"
Dia tidak bergeming. Dia hanya menatapku, tatapannya mantap. Dia selalu menjadi ahli strategi, orang yang bisa melihat sepuluh langkah ke depan. Tapi dia tidak melihat yang satu ini. Dia tidak mengira aku akan muncul.
"Namanya Kayla," katanya, seolah itu penting.
"Aku tidak peduli siapa namanya," semburku. "Aku peduli dia ada di sini. Di rumah kita. Pada hari ini." Aku mengambil langkah lain, mataku terkunci padanya. "Kau punya sepuluh detik untuk menyingkirkannya dari hadapanku. Lalu kau dan aku akan bicara."
Dia menatap Kayla, ekspresinya melembut dengan cara yang menghancurkan kepingan terakhir hatiku. Dia membisikkan sesuatu padanya, terlalu pelan untuk kudengar, lalu menatapku kembali.
"Tidak," katanya, suaranya datar. "Dia tetap di sini."
Duniaku bukan hanya jungkir balik. Dunia berhenti berputar sama sekali.
Dia memilih wanita itu. Di sini. Saat ini juga. Di depan anak buahku. Di depan arwah putra kami.
Aku menatapnya, benar-benar menatapnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Pria dengan bekas luka di punggungnya, pria yang pernah mencuri roti untukku karena aku kelaparan, pria yang memelukku selama tiga hari penuh setelah kami kehilangan bayi kami. Aku tidak mengenalinya lagi.
"Baik," kataku, satu kata itu menggantung di udara yang membeku. Aku menoleh ke anak buahku. Suaraku jelas dan mantap, suara seorang ratu yang memberi perintah.
"Bawa dia."