"Mas..." suara Bella bergetar, setengah ingin menahan, setengah ingin menyerah pada sensasi itu.
Bram menangkup wajah Bella dan menempelkan bibirnya. Ciuman itu dalam, panas, dan mendesak. Lidahnya menyapu lembut bibir bawah Bella, memaksanya terbuka, lalu menyelip masuk dengan gerakan yang membuat napas sang istri tercekat.
Tangan Bram yang sudah berada di dada Bella kini bergerak lebih berani. Jemarinya menekan dan mengelus, sementara bibirnya mulai turun, menyapu kulit di sekitar payudara Bella dengan lembut tapi penuh hasrat. Bella menegang, napasnya tercekat, suaranya berubah menjadi lirih yang nyaris seperti erangan.
"Ahh... mas... lidah kamu..." rintih Bella, tubuhnya melengkung tak terkendali di bawahnya.
"Begini maksudnya?" bisik Bram rendah, suaranya berat dan menuntut, sementara bibirnya mencium, menjilat, dan menempel di kulit yang sensitif itu, membuat seluruh tubuh Bella bergetar hebat.
Bella menggigit bibirnya, mencoba menahan, tapi sensasi itu terlalu kuat. "Ahhh... geli... uh... panas..."
Namun di sela dekap itu, pikiran Bella mulai melayang. Bagaimana ia sampai di titik ini, berada di pelukan pria yang dulunya hanya nama besar yang menakutkan di desanya? Ingatan itu menyeruak begitu saja, membawa Bella kembali pada siang yang mengubah seluruh hidupnya.
---
Siang itu, udara panas menyelimuti desa. Terik matahari memantulkan cahaya ke tanah berdebu, membuat udara bergetar tipis. Di warung kecilnya yang beratap seng, Bella duduk di kursi kayu, menggenggam gelas teh hangat yang mulai kehilangan uapnya. Tak ada pembeli. Ia hanya melamun, memikirkan cara menambah pemasukan agar ibunya tidak terlalu lelah berjualan.
Langkah kaki terdengar dari luar, disusul dua pria asing yang berhenti di depan warung. Mereka saling bertukar pandang.
"Ini warungnya," ucap salah satu pria dengan nada datar.
"Iya, dia ada di dalam," jawab yang lain.
Bella berdiri, tersenyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
Salah satu dari mereka menatap Bella dari kepala hingga kaki, tatapan yang membuatnya tidak nyaman. "Ikut kami."
Bella mengerutkan kening. "Ngapain? Saya jualan di sini."
"Jangan banyak tanya. Ikut." Suaranya meninggi, dan sebelum Bella sempat mundur, pergelangannya sudah dicengkeram kuat.
"Mas! Lepasin! Saya nggak kenal kalian!" teriak Bella, mencoba memberontak. Tapi genggaman mereka seperti besi. Ia terseret keluar, langkahnya terhuyung, hingga pintu mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan terbuka.
Tanpa diberi pilihan, Bella didorong masuk. Aroma pengap bercampur parfum menyengat menyergap hidungnya. "Mas... mau bawa saya ke mana?!" tanyanya panik. Tak ada jawaban, hanya tatapan dingin dari pria di kursi depan. Mobil melaju meninggalkan warung, meninggalkan hidup Bella yang sederhana.
Perjalanan tiga puluh menit itu terasa seperti seharian penuh. Sinar matahari siang menembus kaca, membakar kulit, tapi hawa di dalam mobil dingin dan kaku. Pandangan Bella kosong menatap sawah yang berlari mundur di luar.
Laju mobil melambat saat gerbang besi hitam setinggi dua kali orang dewasa terlihat di depan. Di baliknya, rumah besar berdiri angkuh dengan cat putih yang menyilaukan, kontras dengan rumah-rumah sederhana desa. Mobil masuk ke pelataran berkerikil putih, ban berderit pelan sebelum berhenti tepat di depan pintu megah.
Bella mengenali tempat ini. "Juragan Bram..." gumamnya pelan.
"Turun," perintah salah satu pria dengan nada datar.
Begitu kakinya menginjak lantai teras, panas siang menyerang kulitnya. Tapi genggaman di pergelangan tangan memaksanya melangkah ke dalam. Pintu besar terbuka, dan hawa sejuk dari pendingin ruangan menyambut, kontras dengan teriknya luar.
Di ruang tengah, beberapa orang berkumpul. Langkah Bella terhenti begitu matanya menangkap dua sosok yang sangat ia kenal.
"Ibu... bapak..." suaranya pecah. Ia berlari memeluk ibunya yang tubuhnya bergetar hebat.
"Jelaskan. Sekarang." Suara berat memotong momen itu.
Bram berdiri tak jauh, tegap dengan kemeja putih, mata biru dingin menembus siapa pun yang menatapnya.
Joko, ayah Bella, menunduk. "Maaf, Nak... bapak dan ibumu... kami enggak sanggup bayar hutang. Juragan... minta kamu sebagai gantinya. Kami enggak tahu lagi harus apa..."
"Bapak... bapak menukar aku... dengan hutang?" suara Bella bergetar.
"Bapak janji... kalau bapak punya uang... bapak akan nebus kamu."
Intan hanya menangis, air matanya membasahi bahu Bella. Bella memeluk ibunya erat. "Kalau ini jalan terbaik... aku ikhlas, Pak... Buk..." meski hatinya terasa jatuh ke jurang gelap.
Bram tetap diam, tatapannya sulit diartikan, antara puas dan penuh perhitungan. Dalam hati, ia sudah menetapkan: gadis ini sekarang miliknya.