dang Aira
menyengat. Isak tangis Kayla terbawa angin, permohonan tipis dan
elangkah lebih dekat, matanya menyala dengan api dingin yang belum pernah kulihat dit
ang tajam dan jahat yang selalu kuikatkan di pahaku. "Kau membawa selingkuhanmu yang h
hernya, tepat di atas arteri karotis yang berdenyut. Dia bahkan tidak bergeming.
i kulitnya. Darah itu mengalir di lehernya, jejak merah mencolok di a
ku dekat dengan telinganya. "Apa kau ingat saudara-saudara kita yang gugur? Darah yang kita t
ci padaku, dan di kedalamannya, aku melihat secercah pria
u adalah langkah yang diperhitungkan, upaya untuk menjangkau wani
i," desahku, menekan pisa
an amarah, tetapi dengan otoritas yang
ng telah merenggut putra kami. Aku ingat Bramantyo, setelah serangan itu, memaksaku makan, sendok demi sendok, ketika aku kehilangan keinginan untuk hidup. Dia telah duduk di sampinglah be
Pisau itu berdentang di beton basah dermaga. Kekuatanku
ya sepenuhnya pada gadis itu. "Tidak apa-apa, Kayla," p
Aku hanya menggelengkan kepala, memberi mereka anggukan izin kecil. Aku telah
a melompat ke pelukan Bramantyo, menangis histeris. Dia mem
. "Dia mencoba membunuh bayi kita, Bramantyo!" pekiknya, menunjuk jari geme
ku, ekspresinya mengeras menjadi
enyelimuti wajahnya. Dia merapikan rambut Kayla dari wajahnya. "Ssst, sekarang,"
ahkan aku tertegun oleh kekejamannya yang biasa saj
dia memegang raja, padahal kenyataannya, dia hanyalah bidak lain di papan catur Bramantyo. Dia pikir seorang anak adalah mahkotanya,
Matanya memutar ke belakang, dan di
dan menatapku, tatapannya tidak terbaca. Dia melewatiku tanpa sepatah kata pun, surat-surat cerai di atas peti berkibar ditiup
mencintaiku, tetapi karena dia tidak mampu. Seorang r
l. Itu adalah sebuah foto. Liontin perak kecil yang kubuat untuk putra kami, yang kusimpan di kotak kenangan di vila
ya padaku. Dia bilang sudah waktunya untuk m
 GOOGLE PLAY
 GOOGLE PLAY