Cinta Terlarang, Murka Sang Wali
Selama sepuluh tahun, aku diam-diam mencintai waliku, Bima Wijaya. Setelah keluargaku hancur, dia membawaku masuk dan membesarkanku. Dia adalah seluruh duniaku.
Pada hari ulang tahunku yang kedelapan belas, aku mengumpulkan semua keberanianku untuk menyatakan cintaku padanya.
Tapi reaksinya adalah kemarahan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia menyapu kue ulang tahunku ke lantai dan meraung, "Kamu sudah gila? Aku ini WALImu!"
Dia kemudian tanpa ampun merobek lukisan yang telah kukerjakan selama setahun—pengakuanku—menjadi serpihan.
Hanya beberapa hari kemudian, dia membawa pulang tunangannya, Clara.
Pria yang telah berjanji untuk menungguku dewasa, yang memanggilku bintangnya yang paling terang, telah lenyap. Satu dekade cintaku yang putus asa dan membara hanya berhasil membakar diriku sendiri.
Orang yang seharusnya melindungiku telah menjadi orang yang paling menyakitiku.
Aku menatap surat penerimaan dari Universitas Indonesia di tanganku. Aku harus pergi. Aku harus mencabutnya dari hatiku, tidak peduli betapa sakitnya.
Kuambil telepon dan menekan nomor ayahku.
"Ayah," kataku, suaraku serak, "Aku sudah memutuskan. Aku ingin ikut dengan Ayah di Jakarta."