/0/10878/coverbig.jpg?v=32a7de78c9a55e8485da9e793cc2fb18)
Hanya diberi jatah lima juta dalam sebulan, membuat aku kerap kali bersitegang bahkan bertengkar dengan suamiku. Entahlah, apa yang ada di dalam pikiran suamiku saat memberi jatah bulanan dengan nominal seperti itu?
Hanya diberi jatah lima juta dalam sebulan, membuat aku kerap kali bersitegang bahkan bertengkar dengan suamiku. Entahlah, apa yang ada di dalam pikiran suamiku saat memberi jatah bulanan dengan nominal seperti itu?
"Ini uang bulanan untuk kamu! Kelola baik-baik, aku harap setelah ini tidak ada lagi yang namanya uang kurang!"
Wajahku memerah menahan marah saat mendengar Mas Umar mengatakan itu. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Bisa-bisanya ia hanya memberiku uang bulanan dengan nominal seperti itu.
Namaku Dila, aku hanya seorang ibu rumah tangga yang bergantung dengan suamiku. Bukan aku tidak mau bekerja atau apa. Tapi, Mas Umar, selalu saja melarang jika aku ingin bekerja seperti istri orang lain.
Jatah bulanan yang diberikan Mas Umar selama ini, benar-benar membuat aku kesal. Bagaimana tidak, aku hanya dijatah lima juta untuk satu bulan. Aku akui, nominal lima juta itu tidak lah sedikit untuk era seperti ini. Tapi, tetap saja itu masih kurang banyak untukku.
"Kenapa harus lima juta terus sih, Mas? Apa tidak bisa kamu naikkan lagi uang bulanannya? Gaji kamu kan delapan juta satu bulan, kenapa tidak enam atau tujuh juta?" protesku.
"Yang benar saja kamu Dil? Enam atau tujuh juta kamu bilang? Lima juta itu sudah nominal yang besar. Apa masih kurang? Gajiku memang delapan juta. Tapi aku harus memberi mama dua juta, dan satu jutanya lagi untuk aku simpan buat rokok dan uang bensin. Syukuri saja Dil!"
Tanpa mau mendengar protesku lagi, Mas Umar langsung menyerahkan uang bulanan lalu keluar dari kamar.
Mataku nanar melihat tumpukan uang di atas tempat tidur. Dengan sangat terpaksa aku mulai mengambil dan menyimpannya di dalam dompet khusus uang bulanan. Kepalaku terasa berat dan pusing, apalagi ini awal bulan. Banyak sekali yang harus aku pikirkan dengan jatah bulanan yang sedikit ini.
"Kalau begini terus aku bisa gila. Mas Umar benar-benar kelewatan sekali. Dia memberiku jatah bulanan hanya lima juta, sedangkan mama dua juta. Sepertinya aku harus mencari kerja kali ini,"
Keputusanku sudah bulat. Aku tidak mau lagi terpaku dengan jatah bulanan yang selalu saja kurang. Aku mulai memikirkan melamar kerjaan dengan ijasah sarjana yang aku punya.
"Dila, sini sebentar!" teriak mas Umar dari arah dapur.
Awalnya aku tidak menghiraukan teriakan mas Umar. Namun, lagi-lagi Mas Umar mengulang teriakannya, dan terpaksa aku keluar dari kamar dengan kaki yang dihentakkan.
"Ada apa Mas?" tanyaku malas.
"Ada apa, ada apa. Lihat nih! Apa kamu tidak bisa masak atau pelit sih? Uang jatah bulanan sudah aku berikan, tapi kamu masih saja memasak menu yang sama setiap harinya. Tidak ada menu spesial, kamu bisa masak atau tidak sih?" omel mas Umar, menunjuk lauk pauk serta sayur di atas meja makan.
Emosiku benar-benar diuji kali ini. Aku hanya manusia biasa, mas Umar benar-benar membuatku meledak hari ini. Belum selesai masalah jatah bulanan, dia kembali mempermasalahkan makanan di atas meja.
"Syukuri saja Mas!" sahutku, mengulangi kalimat yang tadi ia ucapkan di kamar.
Dapat aku lihat wajah mas Umar memerah, telapak tangannya juga terkepal.
"Berani kamu mengulang kata-kata aku Dil? Syukur sih syukur, tapi kalau makan ini setiap hari aku juga bosan. Aku kerja dari pagi sampai malam cari uang, masa iya kamu hanya memasak ini? Percuma aku banting tulang, kalau makanan seperti ini yang tersaji. Aku cari uang itu untuk dapat uang banyak dan makan enak, bukan seperti ini!" bentak mas Umar, menatap nyalang ke arahku.
Aku tidak peduli dengan tatapan itu.Dengan santainya aku mendekati meja makan, lalu menutup kembali tutup saji yang tadi mas Umar buka.
"Kalau tidak mau makan, yasudah tidak usah sekalian!" ujarku, kemudian bersiap pergi ke kamar.
Baru saja aku berjalan melewati mas Umar, ia sudah menarik lenganku kasar.
"Apa-apaan sih kamu Dil? Kamu kenapa? Apa begini cara kamu memperlakukan suami sendiri? Aku capek kerja Dil, harusnya kamu itu memanjakan aku kalau pulang. Menyiapkan makanan yang enak-enak, bukan malah seperti ini!" ujar mas Umar, kali ini nada bicaranya tidak sekeras tadi, tapi penuh penekanan.
Perutku mual mendengar kata-kata mas Umar. 'Memanjakan?' cih, dia saja tidak pernah memanjakan aku sama sekali.
"Dengar ya, Mas! Aku ini bukan koki, aku ini hanya ibu rumah tangga biasa. Dalam satu bulan ada tiga puluh hari, dalam satu tahun ada tiga ratus enam puluh lima hari. Bagaimana caraku memikirkan menu yang berbeda-beda setiap harinya selama itu? Koki saja tidak akan sanggup, dan bisa saja memasak menu yang sama, apalagi aku yang hanya biasa ini. Makan saja apa yang ada, masih syukur masih bisa makan nasi dengan lauk dan sayur. Lihat orang-orang di luar sana! Jangankan buat makan ada lauk dan sayur, hanya makan nasi saja mereka sudah bersyukur," sahutku kesal.
Mas Umar mengusap wajahnya kasar. "Aku tidak mempermasalahkan makanan yang dimasak berulang kali dalam satu tahun. Yang aku masalahkan, kamu sudah diberi uang bulanan, masa iya lauknya hanya ini terus? Dan lagi, aku bukan mereka orang jalanan. Aku punya uang, aku bekerja, sudah sewajarnya aku mengharapkan menu yang lebih," jelas mas Umar, wajahnya masih terlihat merah saat mengatakan itu.
"Tau ah Mas, nanti saja membahas masalah ini! Aku mau istirahat dulu, tubuhku lelah. Kalau mau makan, makan saja yang itu. Tapi kalau tidak mau, kamu bisa pulang ke rumah mama dan makan di sana, menunya pasti enak-enak!"
Setelah mengatakan itu, aku menghempaskan cengkraman mas Umar di lenganku. Aku melenggang pergi begitu saja masuk ke dalam kamar dan tak lupa menutup pintunya sedikit agak keras.
Dengan perasaan kesal campur aduk dengan marah. Aku kembali menatap kesal uang yang barusan aku simpan.
"Kalau saja kamu memberiku uang bulanan lebih, aku tidak mungkin memasak menu itu-itu saja Mas. Harusnya kamu mikir, semuanya sekarang ini serba mahal. Dengan uang segitu selama satu bulan, mana mungkin cukup. Biarpun saat ini kita belum punya anak, tetap saja tidak cukup. Harusnya kamu memberikan uang bulanan yang lebih kalau mau makan enak setiap harinya. Bukan malah memberi jatah bulanan ke mama kamu sebanyak itu. Mama kan sudah ada uang dari gaji pensiunan papa kamu, itu bahkan lebih dari cukup untuk biaya hidup satu bulan, bahkan masih lebih. Sedangkan aku masih banyak kurangnya, aku harus memutar otak memikirkan agar uang itu cukup sampai gajian bulan depan nanti." batinku.
Pintu depan tertutup keras, dapat aku dengar dari dalam kamar. Aku tidak memedulikan itu, aku tau itu adalah perbuatan mas Umar. Ia pasti sedang marah dan pergi ke rumah mamanya. Biarlah ia makan di rumah mamanya, paling tidak ia tau kenyataan jatah bulanan yang ia berikan itu kurang.
Entah rahasia apa yang disembunyikan dari keluarga suamiku, hingga membuat aku merasa ketakutan jika bertemu atau berdekatan dengan ibu mertuaku. Kecapan di mulutnya dan tatapan liar, begitu menyeramkan saat ibu mertuaku menyadari, jika saat itu waktu persalinanku sudah semakin dekat.
Ketika Sienna mencapai puncak kesuksesannya, Julian tetap menjadi anak yang terlupakan dalam keluarganya, yang diam-diam mencuri ciuman pertamanya di balik gelapnya malam. Saat Sienna melalui masa-masa tersulit dalam hidupnya, Julian kembali ke rumahnya, meninggalkan segalanya, hanya untuk menyaksikan air mata Sienna ketika dia dengan enggan menerima lamaran pria lain. Ketika Sienna sangat membutuhkan Julian, dia telah mencapai posisi kekuasaan dan menjadi pilar dukungan terkuat bagi Sienna. "Nikah sama aku!" Tak ada satu pun di dunia yang bisa mencintai Sienna sedalam Julian.
Selama dua tahun, Brian hanya melihat Evelyn sebagai asisten. Evelyn membutuhkan uang untuk perawatan ibunya, dan dia kira wanita tersebut tidak akan pernah pergi karena itu. Baginya, tampaknya adil untuk menawarkan bantuan keuangan dengan imbalan seks. Namun, Brian tidak menyangka akan jatuh cinta padanya. Evelyn mengonfrontasinya, "Kamu mencintai orang lain, tapi kamu selalu tidur denganku? Kamu tercela!" Saat Evelyn membanting perjanjian perceraian, Brian menyadari bahwa Evelyn adalah istri misterius yang dinikahinya enam tahun lalu. Bertekad untuk memenangkannya kembali, Brian melimpahinya dengan kasih sayang. Ketika orang lain mengejek asal-usul Evelyn, Brian memberinya semua kekayaannya, senang menjadi suami yang mendukung. Sekarang seorang CEO terkenal, Evelyn memiliki segalanya, tetapi Brian mendapati dirinya tersesat dalam angin puyuh lain ....
Evelin, si "itik buruk rupa" yang tidak disukai keluarganya, dipermalukan oleh saudari tirinya, Paramita, yang dikagumi semua orang. Paramita, yang bertunangan dengan sang CEO, Carlos, adalah wanita yang sempurna-sampai Carlos menikahi Evelin pada hari pernikahan. Terkejut, semua orang bertanya-tanya mengapa dia memilih wanita "jelek" itu. Saat mereka menunggu Evelin disingkirkan, dia mengejutkan semua orang dengan mengungkapkan identitas aslinya: seorang penyembuh ajaib, ahli keuangan, ahli penilaian, dan genius AI. Ketika mereka yang telah memperlakukan Evelin dengan buruk menyesal dan memohon maaf, Carlos mengungkapkan foto Evelin yang memukau tanpa riasan, mengirimkan gelombang kejutan melalui media. "Istriku tidak membutuhkan persetujuan siapa pun."
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Bagi Sella Wisara, pernikahan terasa seperti sangkar yang penuh duri. Setelah menikah, dia dengan bodoh menjalani kebidupan yang menyedihkan selama enam tahun. Suatu hari, Wildan Bramantio, suaminya yang keras hati, berkata kepadanya, "Aisha akan kembali, kamu harus pindah besok." "Ayo, bercerailah," jawab Sella. Dia pergi tanpa meneteskan air mata atau mencoba melunakkan hati Wildan. Beberapa hari setelah perceraian itu, mereka bertemu lagi dan Sella sudah berada di pelukan pria lain. Darah Wildan mendidih saat melihat mantan isrtinya tersenyum begitu ceria. "Kenapa kamu begitu tidak sabar untuk melemparkan dirimu ke dalam pelukan pria lain?" tanyanya dengan jijik. "Kamu pikir kamu siapa untuk mempertanyakan keputusanku? Aku yang memutuskan hidupku, menjauhlah dariku!" Sella menoleh untuk melihat pria di sebelahnya, dan matanya dipenuhi dengan kelembutan. Wildan langsung kehilangan masuk akal.
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?
© 2018-now Bakisah
TOP