Unduh Aplikasi panas
Beranda / Fantasi / Alkisah Bunga Teratai
Alkisah Bunga Teratai

Alkisah Bunga Teratai

5.0
30 Bab
181 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Berdasarkan kepercayaan, bunga teratai identik dengan reinkarnasi atau terlahirnya kembali manusia dari masa lampau. Tujuh anak manusia yang memiliki kemampuan mistik dan ajaib dibentuk dalam sebuah tim demi mengamankan dunia supranatural yang kala itu sedang kalang kabut. Dilatih oleh Sagara Widyatama sebagai guru, kemampuan mereka ditingkatkan untuk menjalani misi yang membuat mereka bertarung nyawa. Di sisi lain, kehadiran Sagara juga membangkitkan relasi antara kehidupan mereka sebelumnya.

Bab 1 Pertemuan ya

Berada di sebuah padang rumput yang luas seperti lapangan sepak bola, tampak tujuh pemuda dan pemudi berkumpul di tempat yang sama dan posisi punggung mereka saling bersentuhan. Saling membelakangi dan pandangannya mengedar ke segala arah. Di depan mata, padang rumput tersebut berbatasan dengan ribuan pohon bercabang banyak yang bisa dilihat dari arah mana saja.

Suasana di sini amat mencekam. Mereka mengawasi keadaan dengan tatapan waspada dan berjaga-jaga. Hal yang bisa didengar untuk sekarang adalah suara langkah kaki disertai suara pijakan ranting kayu tergeletak di tanah. Suara itu berasal dari mana saja. Hampir segala sisi di padang rumput ini bisa ditangkap dengan jelas oleh indra pendengaran.

Hal yang bisa dilakukan mereka adalah memasang mode waspada. Jika tidak, nyawa mereka yang mungkin menjadi ancaman. Mereka tidak akan bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup jika tidak berhati-hati. Suara itu juga semakin memekakkan telinga.

Tetapi tidak berlaku bagi seorang gadis berkulit putih tersebut yang posisinya membelakangi matahari di ufuk barat. Walaupun dia sedang mengawasi wilayah sekitar, bola matanya sejak tadi tidak berpindah ke seorang gadis dengan rambut panjang dan berlekuk seperti gelombang air laut. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada gadis di sebelahnya.

Tidak ingin membawa lagi rasa penasaran tersebut, gadis berkulit putih itu mengajukan pertanyaan dengan serius. “Kebetulan ketemu di sini nih, lebih baik lo jujur. Gak perlu mengelak lagi!” ucapnya bernada tegas. Dia melanjutkan, “Lo tau gue dari mana?”

Gadis berambut gelombang itu tersenyum miring. Dia mengembuskan napas pendek, bermaksud mengejek gadis di sebelahnya yang bertanya. “Kenapa? Lo penasaran sama gue?” jawabnya setengah mencibir dan terkesan tidak mau terlibat dalam pembicaraan. Raut mukanya juga tampak setengah hati ketika pembahasan ini yang keluar dari mulut sang puan.

“Karena lo yang tau segalanya tentang gue,” balas gadis berkulit putih yang berkata dengan raut wajah ingin tahu. Berbeda dengan gadis berambut gelombang itu yang justru memberinya ejekan. Dia tidak peduli, asalkan pertanyaan di kepala ini bisa terjawab segalanya.

“Sok tau lo,” ucap gadis berambut gelombang itu dengan ketus. Dia tidak peduli lagi dengan respons sang puan. Kesannya sudah buruk di depan mata. Dia ingin segera mengakhiri drama singkat yang terjadi tanpa direncana, bahkan dia diseret ke tempat ini juga tidak direncana. Dia mencibir, “Emang lo kenal gue? Sok merasa paling kenal lo padahal baru papasan doang.”

“Mulai kasar lo, ya.”

“Lo berdua saling kenal?” Seorang lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan dibiarkan keluar dari lipatan celana menginterupsi pembicaraan mereka. Hal itu membuat mereka kompak mengalihkan pandangan ke asal suara. Mereka juga kompak tidak membalas. “Kalau lo mau mati di sini, mending serahin diri aja. Tapi jangan ngebebanin lima orang lain yang pengen hidup karena kalian,” tambahnya.

“Oke. Gue minta maaf,” ucap gadis berkulit putih yang secara tidak langsung juga menutup pembicaraan singkat. Dia sadar ada yang harus diawasi daripada harus memusingkan hal yang tidak pasti.

Lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak itu mengarahkan pandangannya ke arah semula. Begitu juga dengan gadis berambut gelombang. Dia juga tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini karena memang dia tidak mau membahasnya. Semua ini terjadi karena gadis itu yang mendesaknya.

*

Kini, tujuh anak manusia itu duduk melingkar di atas rumput sambil meluruskan kaki. Masing-masing kepala sedang menarik dan mengembuskan napas berulang kali, seperti baru saja melakukan lomba lari dengan jarak sejauh satu kilometer. Mereka juga kelelahan, didukung oleh raut wajahnya. Keringat yang keluar dari dahi sejak tadi bermunculan seperti embun menjelang subuh.

Tidak ada lagi suara langkah kaki beserta suara pijakan ranting kayu. Tidak ada lagi yang perlu diwaspadai. Semua itu sudah berakhir. Mereka bisa pulang tanpa merasa khawatir lagi. Mereka bisa keluar dari dunia yang sudah seperti jebakan.

Sebelum kesempatan itu punah dari impiannya, gadis berkulit putih yang sejak tadi tidak mengalihkan atensinya menatap tajam. Ada banyak pertanyaan yang terlintas di kepala dan harus dituntaskan saat itu juga. Dia tidak bisa diam saja ketika identitasnya dipertanyakan.

Perlahan, dia mengulurkan jarinya ke depan yang lantas membuat semua pasang mata menatapnya. Termasuk juga sang objek yang menjadi sasarannya―gadis berambut gelombang. Dia berkata, “Lo … sebenarnya bisa baca masa depan ‘kan?”

Pertanyaan ini membuat mereka yang mengamati pembicaraan membelalakkan mata. Sepertinya sulit untuk menerima kenyataan yang terjadi kepada sang objek. Oleh karena itu, sontak semua pasang mata berganti.

Gadis itu mendesis dan menatapnya dengan tatapan mengejek. Bukannya takut, dia malah ingin menantang sang lawan bicara yang penasaran dengan identitasnya. “Gue juga gak perlu jawab pertanyaan lo, ‘kan. Jadi gue gak bakalan jawab,” balasnya yang diakhiri dengan senyum menyungging.

“Jawab lo, brengsek!”

“Kalau lo benar juga, lo pasti tahu karena bisa baca pikiran gue. Gak salah ‘kan?”

Gadis berkulit putih itu menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan. Amarahnya tadi sudah mencapai ke atas kepala. Dia tidak mau dipancing lagi karena hal itu akan semakin membangkitkan emosi. “Benar. Gue bisa baca pikiran orang lain,” jawabnya yang mengakui dengan jujur dan tidak direkayasa. Tuduhan gadis itu juga tidak ada dusta sama sekali.

“Wah! Gue sama sekali gak nyangka.” Menengahi pembicaraan antara dua gadis itu, gadis berambut pendek yang mengenakan T-shirt polos berwarna merah muda berseru. “Maksudnya lo bisa baca pikiran semua orang, termasuk gue?”

Gadis yang ditanya itu menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Gue tahu isi kepala semua orang dan apa yang mereka pikirkan. Tapi, hanya dia yang pikirannya gak bisa gue baca,” tambahnya yang kemudian menunjuk satu orang. Arah tunjuknya ke seorang gadis yang mengenakan baju lengan panjang. Mendadak, semua pasang mata juga berganti ke arah sang puan yang dari tadi hanya menyimak pembicaraan.

“Berarti beneran dong, kalau lo bisa baca masa depan.” Kini, giliran lelaki yang mengenakan kaus lengan pendek berwarna putih dengan motif tulisan kapital bersuara. Dia menyimpulkan segala percakapan yang disimaknya. Menegaskan ulang kepada gadis berambut gelombang itu mengenai asumsi tadi.

“Benar, gue bisa baca masa depan. Ada orang yang ngejar gue tadi. Karena orang itu juga kita terjebak di sini,” jawab sang puan yang akhirnya mengakui. Dia lelah karena disudutkan berkali-kali. Pengakuannya membuat semua orang terkejut seolah mendapat berita baru, tetapi tidak dengan gadis berkulit putih yang sudah menemukan jawabannya lebih awal.

“Kenapa harus kita?” tanya seorang lelaki yang memiliki mata bulat sempurna seperti bola. Wajahnya tampak ingin tahu mengenai apa yang menjadi awal pertemuan pada hari ini.

“Karena kita adalah orang pilihan. Dia membutuhkan kita,” jawab gadis berambut gelombang dengan singkat berdasarkan pengetahuannya tentang sang objek di luar sana.

Lelaki yang mengenakan kaus putih itu tersenyum bahagia. Dia mengulurkan tangan ke arah gadis pembaca masa depan. Raut wajahnya terlihat takjub seperti bertemu dengan orang baru. Sedangkan gadis itu bingung dengan gerak geriknya. “Apa pun itu, senang bertemu lagi. Akhirnya gue tahu lo, Jingga.”

*

Tidak ada lagi padang rumput. Tidak ada lagi deretan pohon bercabang. Kini, raga seseorang baru saja kembali dari bunga mimpi yang pagi itu dibangunkan oleh suara ayam berkokok. Suara itu membuat Jingga―gadis berambut gelombang―membuka dua matanya dengan segera. Dia mengusap mata dengan lembut sebelum mengangkat punggungnya dari kasur.

Duduk di tepi ranjang tidur, dia menggaruk puncak kepala yang kebetulan rambutnya sedang berantakan seperti singa. Tangannya terulur ke laci kecil di sebelah ranjang dan membukanya. Satu buku catatan kecil beserta pulpen diraih sebagai awalan pada hari ini. Dia menuliskan apa yang dilihatnya di mimpi tadi secara garis besar. Dia sadar kalau itu merupakan bagian dari kilasan masa depan, makanya dia tidak ingin melewatkan satu kata.

“Jingga! Tolong aku sebentar di bawah! Cuci muka dulu sebelum turun.”

Suara lembut seorang wanita memecah keheningan pada pagi ini. Oleh karena itu, Jingga buru-buru meletakkan catatannya di atas ranjang. “Baik, Bu!” serunya beberapa saat kemudian.

***

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY