Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Jerat Janda Terhormat
Jerat Janda Terhormat

Jerat Janda Terhormat

5.0
25 Bab
897 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Seorang wanita muda yang bernama Serena Aqulea Abraham harus menjalani kerasnya hidup sebagai SINGLE MOM. Setelah kematian suaminya saat usia pernikahannya menginjak angka tiga tahun. Segala bentuk cobaan, cacian dan cercaan harus dia hadapi. Untuk tetap kuat menjalani kerasnya hidup. Dia harus tetap kuat berjuang seorang diri untuk menafkahi putri semata wayangnya. Serta mengurus ibunya yang sejak kematian suaminya mulai sakit-sakitan. Berbagai jenis pekerjaan dia lakoni selama itu halal. Sosok seorang wanita lemah harus menjelma menjadi wanita tangguh. Mampukah Serena Bertahan menjalani kerasnya hidup tanpa ada tempat sandaran. Terlebih pandangan miring tentang statusnya sebagai janda muda. Akankah Serena menemukan pengganti suaminya? Lelaki yang bersedia menerimanya dan putrinya. Simak kisahnya yang menguras emosi dan air mata.

Bab 1 Kematian Suami Tercinta

Serena mematung, netranya tak lepas menatap single bed di tengah rumah. Di atasnya terbaring raga yang tadi pagi masih mengajak berdebat.

“Sudah aku katakan Seren, aku ini memang suka menggoda gadis-gadis. Tapi itu hanya sebatas godaan tidak lebih, kamu seperti baru mengenalku kemarin sore,” sergah Hanan yang tampak kesal pada sang istri sejak pagi tak henti menuduhnya memiliki wanita lain hanya gara-gara kabar yang berhembus.

“Aku tidak peduli. Yang aku tahu dia menghubungimu. Bukan tepuk tangan jika hanya sebelah,” sahut Serena mengenakan seragam dinasnya hari ini jadwal piket pagi.

“Harus bagaimana caranya aku meyakinkanmu, belum cukupkah masa tujuh tahun kita berpacaran. Untuk kamu percaya hanya ada kamu dalam hatiku. Haruskah aku mati dulu baru kamu akan menyadari cinta terlalu besar padamu. Bahkan melebihi cinta pada diriku sendiri. Aku mencintaimu sampai mati,” sembur Hanan berdiri meraih putri semata wayangnya yang baru berusia satu tahun.

Serena bekerja sebagai staf administrasi sebuah rumah sakit swasta. Menjadikan dia terikat dengan jadwal kerja yang tidak menentu.

Mengharuskan Hanan mengalah mengambil job freelance agar anak mereka tidak dirawat oleh pengasuh. Sehari-hari saat Serena dinas maka Hanan yang mengurus dan mengasuh anak mereka.

“Mati sana. Kerjaan kamu hanya mengganggu anak gadis orang, kamu menganggapnya biasa tapi apa mereka tahu? Yang mereka tahu kamu tertarik pada mereka. Aku pusing setiap hari mendengarnya. Plis Hanan, kita ini sudah suami istri. Kurangi dan kalau bisa hentikan semua kelakuan jelek semasa bujangan dulu. Kamu tidak malu!! Anak perempuan papanya kelakuannya entahlah,” cerocos Serena yang telah siap menunggu di depan.

Hanan menitipkan Qianzy pada ibu mertua. Mengeluarkan sepeda motor bergegas mengantar Serena ke tempat kerja.

Di sepanjang perjalanan Serena terus mengoceh. Tak peduli orang-orang yang memperhatikannya. Terpenting isi hatinya tersalurkan. Pagi-pagi suaminya sudah membangkitkan amarahnya.

“Dengar!! Kurangi kelakuan jelekmu itu Hanan. Aku malu,” pungkas Serena mencium punggung tangan Hanan yang pagi ada rasa yang tak biasa. Tidak pernah Hanan mengusap pucuk kepalanya dengan lembut seakan menunjukkan betapa besar rasa cintanya.

“Tenanglah my baby, aku mencintaimu sampai mati.” Hanan tersenyum lama belum beranjak sebelum Serena hilang dari pandangan.

“Ren, kamu oke? Ayo kita duduk di samping jasadnya,” ujar seseorang menyentuh pundaknya. Memutus ingatan tentang kejadian tadi pagi.

Semua terjadi sangat cepat, rasanya masih belum yakin yang terbaring itu adalah pria yang dimakinya sepanjang perjalanan tadi.

Pria yang semalam masih mencumbunya meski dia berkata lelah. Dan meminta diulangi saat menjelang subuh.

Andai tahu itu adalah cumbuan terakhir, dia rela mengulangi berpuluh kali. Cumbuan dan sentuhan yang tidak akan pernah merasakannya lagi di masa akan datang.

Serena mengumpulkan kekuatan mengayunkan langkah menuju jasad yang di tutupi kain batik. Dengan harapan yang berada di bawahnya adalah orang lain. Bukan Hanan Bagaskara pria yang telah menghalalkannya dua tahun lalu. Janji suci yang diikrarkan dalam satu tarikan nafas dihadapan Tuhan.

Kedua lututnya bersimpuh tepat di bagian kepala. Tangan kanannya terulur membuka selendang putih tipis.

Perlahan selendang diturunkan dan menampilkan wajah tampan yang telah membuatnya tidak bisa berpaling. Wajah yang hampir setiap waktu selalu tertawa memamerkan deretan gigi yang putih dan tersusun rapi.

Kini wajah itu terlihat tenang, damai dan seakan telah ikhlas meninggalkan keindahan dunia yang penuh tipuan.

Tangis yang sejak tadi ditahannya akhirnya pecah. Tulang-tulang terasa lolos luluh lantak berantakan di lantai.

“Bang, bangun Bang. Buka matanya, jangan buat aku takut. Abang bangun aku, belum siap tanpa Abang. Iya, iya aku percaya kok sama Abang. Aku tidak akan memarahi Abang lagi.”

“Abang, lihat Qianzy dia asyik bermain dalam kamar. Dia menunggu Abang.”

“Abang bangun.”

“Bang jangan tinggalkan aku.”

Serena meracau mengatakan yang hanya dirinya yang mengerti. Sari Sandra ibunya mendekat dan membawanya ke kamar.

Sari mengerti saat ini putri sulungnya sangat hancur dan rapuh. Teringat Serena yang tidak boleh shock dia harus menenangkannya terlebih dahulu.

“Mak, yang di depan sana bukan Hanan ‘kan?” tanya Dira berusaha menyangkal kenyataan.

“Setiap yang bernyawa akan menemui ajalnya. Dan Hanan telah sampai waktunya. Kamu harus ikhlas, ingat ada Qianzy yang membutuhkan kamu sebagai mama dan papa untuknya. Istirahatlah, Mamak ambilkan makanan untukmu. Kamu memang tidak lapar tapi anakmu butuh asi,” ujar Sari beranjak mengambil makanan untuk anak sulungnya.

Serena menekuk lutut menatap lurus ke depan, barisan kenangan indah maupun menyakitkan menari-nari di benaknya. Seperti putaran kaset rusak menyenangkan dan juga menyesakkan.

“Mama. Papa kok bobok di luar,” celoteh Qianzy yang sepertinya mulai mengantuk dan hanya akan bisa terlelap di samping sang papa.

“Iya sayang papa bobok di luar. Qianzy mengantuk bobok sama Mama ya,” bujuk Serena seketika mempunyai kekuatan tambahan saat tatapan polos sang anak tertuju padanya.

Tangannya meraih tubuh mungil biasanya setiap malam selalu bersama Hanan. Serena menggerakkan tubuhnya ke kiri dan kanan hingga nafas tubuh mungil itu beraturan.

“Anak Mama sayang, mulai malam ini dan seterusnya kita akan melewati malam berdua, sudah tidak ada lagi papa yang menenangkan adek saat mengamuk. Mama mohon adek jangan mengamuk ya? Hanya papa yang tahu mendiamkanmu,” gumam Serena meletakan Qianzy yang telah pulas tertidur.

***

“Lihat jasad Hanan tergeletak begitu saja di tengah rumah, entah di mana istrinya yang tukang selingkuh itu,” ujar salah satu dari empat orang pria yang merupakan teman baik Hanan dan Serena.

“Paling asyik telponan dengan selingkuhannya. Merencanakan pernikahan,” sahut pria yang berbaju putih.

“Lihat saja paling belum kering tanah kubur Hanan. Serena bakal ijab qobul sama selingkuhannya.”

“Kita lihat saja nanti.”

“Aku akan membuatnya malu seumur hidupnya. Gara-gara wanita itu kita harus kehilangan teman sebaik Hanani.”

“Aku sudah mengingatkannya untuk tidak menikahi jalang itu. Tapi dia masih ngotot.”

“Kalian tidak tahu Hanan itu bucin. Mau kita bicara apa tidak bakal di dengarnya. Di matanya hanya Serena, pada hal masih banyak wanita lain yang lebih baik dan cantik dari wanita itu. muak aku lama-lama melihat si Serena.”

“Apa lagi aku, aku tahu bagaimana kelakuannya dulu. Pantaslah keluarga Hanan kurang merestui pernikahan mereka. Kelakuan Serena itu bukan rahasia umum lagi. Aku sudah mengatakan pada Hanan, Serena itu pembawa sial. Jadi wanita tidak ada bagusnya. Lihat sekarang, terbukti 'kan apa yang aku katakan. Coba waktu itu dia mendengarkan apa yang aku katakan. Pasti saat ini masih bisa berkumpul bersama kita,” ujar pria yang paling bersemangat mengungkit masa yang telah berlalu.

Keempat orang itu terus membicarakan soal Hanan dan Serena. Satu per satu tetangga pulang ke rumah.

Hanya tersisa beberapa orang terdekat termasuk empat orang itu menjaga jasad Hahan hingga pagi menyapa.

Jasad suami Serena terpaksa disemayamkan semalam karena usianya habis mendekati magrib. Atas permintaan keluarga di makamkan esok harinya.

Malam semakin larut pekat malam semakin mencekam. Hawa dingin yang menyelinap di sela celah tidak bisa membuai Serena menuju alam mimpi.

Kelopak matanya tidak bisa dipejamkan walau sedetik pun. Bayangan masa lalu dan masa depan yang pahit tengah bertarung dalam benak.

Apa yang harus dia lakukan ke depan nantinya. Selama ini hanya Hanan tempatnya bersandar. Bersama sang suami dia memenuhi kebutuhan keluarga ini dan sekolah ke dua adik-adiknya.

Kini satu kakinya telah patah, kuat tidak kuat dia harus tetap berdiri. Bukan sekedar berdiri namun juga berjalan kalau bisa berlari.

Dia harus bisa mengimbangi pergerakan dunia. Dunia ini tidak akan pernah bisa berhenti meski dia memaksanya untuk menghentikannya.

Takdir sangat kejam padanya dengan tega merampas kebahagian yang baru saja mulai ditenun. Mudah bagi Tuhan membolak balik keadaan meluluhlantakkan harapan dan mimpi-mimpi.

Serena menatap ke atas mencari satu ingatan yang membuatnya sakit hati. Agar dia bisa mengurangi satu penyesalan yang menyudutkannya.

Seandainya, jika, bilamana, dan semuanya yang bersifat permulaan bisa menebak kejadian selanjutnya mungkin akan di ukir kisah yang jauh lebih indah.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY