/0/17356/coverbig.jpg?v=2df4e3397c4188fa07d7c461c8afebf3)
Alyssa melarikan diri dari para penagih hutang ayahnya. Bermodalkan sepucuk surat gadis itu berakhir di kediaman Assa Zachary yang menurut surat tersebut bisa membantu Alyssa melunasi hutang-hutang ayahnya. Sayangnya harapan itu tampak semu bagi Alyssa ketika dia berakhir ditahan di kediaman Assa. Apakah Alyssa akan bertahan menunggu Assa memenuhi janjinya? atau justru Alyssa semakin terjebak dalam kehidupan Assa yang penuh misteri?
Malam yang berkuasa memeluk Alyssa dalam lelahnya langkah-langkah yang diayun menuju kediamannya. Angin malam berembus tak tahu diri hingga Alyssa merapatkan coat lusuhnya. Nafas yang keluar berkali-kali adalah nafas lelah yang meski dihembuskan ternyata tak mampu mengurangi beban hidupnya.
Saat kakinya berhenti di depan rumah, Alyssa melihat tiga orang pria berbadan besar berdiri di sana. Ada perasaan takut dalam diri Alyssa ketika mata ketiga pria itu menatapnya. Was-was dalam dirinya, namun Alyssa tetap melangkah mendekat.
"Kalian siapa?" tanyanya takut-takut. Mata-mata mereka menatapnya dengan garang. Alyssa memberanikan diri menatap mereka agar tak mudah diintimidasi.
Salah satu dari mereka dengan tato Naga di lengan kirinya menghampiri Alyssa. "Apa kau putri dari Samuel Moore?"
"I-iya. Kalian siapa?"
"Kami datang untuk mengambil uang yang ayahmu janjikan tiga hari yang lalu."
Mata Alyssa awas memperhatikan ketiganya. Rasanya ingin kabur, tapi badan-badan besar mereka rasanya menutupi segala jalannya. Alyssa menelan ludahnya sendiri susah payah.
"Uang apa yang kalian maksud?"
"Ayahmu berhutang pada tuan kami sebesar sepuluh ribu Pounds, dia berjanji akan membayarnya hari ini."
"Se-sepuluh ribu Pounds?!" Alyssa menggeleng tak percaya. Uang sebanyak itu digunakan untuk apa oleh ayahnya? Kenapa dia tak pernah melihat wujudnya. "Itu tidak mungkin."
"Ayahmu kalah di meja judi."
Alasan yang sama untuk setiap masalah yang diciptakan ayahnya. Alyssa bahkan harus membayar sewa rumah sendiri karena sang ayah nyaris tidak pernah pulang, tapi selalu meninggalkan hutang.
"Baik kalau begitu aku akan masuk dan mencari uang itu di dalam. Mungkin ayah menyimpannya di dalam." Ucap Alyssa gugup.
"Jangan coba-coba kabur, atau kami akan menjadikan kamu target berikutnya." Ujar pria bertato itu dengan jari telunjuk tepat di depan wajah Alyssa, memperingati dengan tegas.
"Tidak akan. Kalian bisa melihat saya terlalu kecil untuk melarikan diri dari kalian."
Bergegas Alyssa menuju pintu rumahnya. Tangannya gemetar mengambil kunci dari dalam tas. Pandangan tiga pria itu tidak lepas darinya. Alyssa langsung masuk begitu pintunya berhasil dibuka, lalu ditutup dengan cepat.
Gadis itu panik sendiri mencari kesana dan kemari perihal keberadaan uang itu. Lemari-lemari, dan bahkan hingga kolong tempat tidur tidak lepas dari sasarannya, tapi kemudian terdiam. "Ayah tidak mungkin mempunyai uang sebanyak itu."
Alyssa berlari ke kamarnya dan di depan pintu ada kertas yang menempel bertuliskan pesan dari ayahnya. Pesan yang membuat Alyssa geram bukan main sampai kertas kecil itu diremas kuat oleh tangannya sendiri, lalu memasukkan bulatan kertas itu ke dalam saku coat yang besar.
Suara gedoran pintu terdengar nyaring di luar sana. Alyssa yang kaget buru-buru mengambil tasnya, memasukkan beberapa pakaiannya dengan cepat. Alyssa harus segera kabur dari orang-orang di luar sana. Terakhir kali Alyssa berhadapan dengan penagih hutang, dia berakhir dengan sebuah tamparan keras di pipinya.
"Buka pintunya!"
Teriakan itu menggema di telinga Alyssa. Buru-buru mengaitkan ransel ke punggung. Alyssa keluar dari rumahnya lewat pintu belakang. Dia mengendap-endap seperti seorang pencuri. Ketika melewati sisi rumah yang memperlihatkan tiga orang itu, secepat kilat Alyssa berlari.
Salah satu dari mereka melihat Alyssa. Berteriak pada gadis yang mencoba kabur itu. "Hei! Jangan kabur!"
Alyssa mengumpat. "Sial!"
Kakinya berlari dengan cepat, tas di punggungnya ikut terombang-ambing mengikuti langkah kakinya. Alyssa terus berlari, melewati gang-gang sempit yang kumuh. Beberapa tunawisma berkeliaran di sana. Saat kakinya mulai tak sanggup berlari lagi Alyssa bersembunyi di antara tumpukan tong besar, kayu-kayu dan juga sampah-sampah dalam kantong besar. Membekap mulutnya sendiri agar suara nafasnya pun tak terdengar.
"Ke mana larinya perempuan itu?" tanya salah satu dari tiga orang yang mengejarnya. Mereka mengamati sekitar dengan awas, tapi yang mereka lihat hanya para tunawisma dan juga tumpukan sampah.
Ada persimpangan di sana, jalan yang mungkin salah satunya dilewati Alyssa pikir mereka hingga berpencar mencari jejak Alyssa. Sementara Alyssa yang bersembunyi keluar pelan-pelan. Dia sudah tidak tahan dengan bau menyengat dari tumpukan sampah yang belum diambil petugas kebersihan itu.
"Weeeek!" Alyssa muntah meski hanya cairan bening yang keluar. "Benar-benar bau busuk."
Alyssa segera keluar melalui jalan yang dilewatinya tadi setelah memastikan mereka benar-benar jauh. Sekarang tujuannya adalah kediaman kekasih ayahnya, Jane. Berharap wanita itu bisa menolongnya.
***
"Jadi kamu sudah putus dengan ayahku? Sejak kapan? Karena apa?" tanya Alyssa pada Jane bertubi-tubi ketika dia sudah duduk manis di kediaman Jane sambil menikmati kue jahe yang dibuat Jane.
"Sekitar dua minggu yang lalu. Ayahmu menjual kalung milikku secara diam-diam untuk berjudi. Kalung itu adalah milik nenekku, sangat berharga bagiku."
Bahu Alyssa merosot mendengar penuturan Jane. Dia merasa sangat bersalah pada wanita itu. "Maafkan ayahku yang kurang ajar itu, Jane."
Jane tersenyum kecil. "Tidak perlu meminta maaf untuknya. Seharusnya dia yang datang menemuiku dan meminta maaf, bukan kamu yang sekarang berlari dari para penagih hutang ayahmu itu."
"Aku tidak mengerti kenapa ayah masih bermain judi seperti itu. Aku pikir setelah dia bertemu kamu, dia akan berubah tapi, ternyata tidak."
"Manusia tidak akan berubah secepat itu, Alyssa."
Alyssa mengangguk setuju dengan apa yang Jane katakan. "Jadi apakah kamu mempunyai alamat tempat ayah bekerja dulu?" tanyanya dengan harapan bisa menemukan ayahnya di tempat pria itu bekerja.
"Iya, ada. Tunggu sebentar," Jane beranjak dari tempat duduknya. Dia mencari alamat yang Alyssa minta di antara laci-laci kayu di ruang keluarga.
Sedangkan Alyssa mengamati rumah Jane yang tampak sederhana, tapi tertata rapi. Alyssa sebenarnya berharap juga jika Jane menjadi ibunya, namun sepertinya Jane terlalu baik untuk ayahnya yang brengsek itu.
Jane kembali dengan sebuah kartu nama di tangannya. "Ini alamat yang kau pinta."
"Terima kasih Jane," ungkap Alyssa menerima kartu nama berwarna perak itu. Alyssa mengeja nama yang tertera di atas kartu nama itu. "Assa Zachary?"
Nama yang sepertinya tidak asing bagi Alyssa. Seperti pernah mengenal tapi, tidak tahu kapan dan di mana? Alyssa menatap Jane penuh tanya, berharap ada sedikit informasi yang bisa Jane berikan padanya terkait sosok pemilik identitas di tangannya itu.
"Namanya memang seperti itu. Aku belum pernah bertemu atau datang ke tempat ayahmu bekerja, aku hanya mendapatkan kartu nama itu."
"Baiklah Jane, terima kasih atas bantuannya. Aku harus pergi sekarang."
"Apa kamu tidak mau bermalam dulu?"
"Tidak, aku harus segera menyelesaikan urusanku ini."
"Baiklah kalau begitu, hati-hati di jalan Alyssa."
"Terima kasih Jane, selamat malam." ucap Alyssa seraya keluar dari rumah Jane sambil membawa kartu nama yang dia harap pemiliknya bisa membantunya seperti yang tertulis di kertas yang ditinggalkan ayahnya.
Maafkan ayah karena harus pergi dan meninggalkan hutang tapi, tenang saja kamu bisa meminta bantuan pada atasan ayah. Dia akan menolongmu, dan untuk sementara tinggallah di tempatnya sampai ayah kembali.
Ayah akan segera pulang.
Alyssa menghela nafas lelahnya, dia belum berani untuk pulang karena takut para penagih hutang itu datang lagi ke rumahnya. Menemui Assa adalah satu-satunya cara yang bisa Alyssa lakukan. Dia pergi ke stasiun Waterloo untuk menuju Hampstead.
Tapi, Alyssa merasa ada yang mengikutinya. Dia berbalik, tapi tak mendapati orang yang dirasa mengikutinya. Rasanya Alyssa ingin cepat-cepat sampai ke stasiun dan duduk dengan tenang. Alyssa mempercepat jalannya. Stasiun Waterloo jaraknya tinggal beberapa langkah lagi darinya.
Langkah Alyssa kemudian berhenti ketika dia melihat sosok ayahnya dari kejauhan. "Ayah? Ayah!"
Alyssa berlari lagi mengejar ayahnya sampai ke seberang jalan, tapi ayahnya itu naik taxi dan jauh meninggalkan Alyssa yang terdiam di tempatnya dengan nafas memburu. Alyssa tak mengerti dengan semua ini.
"Harusnya ayah mendengar teriakanku, tapi kenapa ayah tak mendengar? Apa ayah benar-benar membuang diriku sekarang? Ayah!"
Mencintai seorang Devan bagi Yasnina adalah sebuah anugerah, namun perasaannya bertepuk sebelah tangan. Hati Yasnina hancur tatkala mendengar kabar pernikahan Devan. Kemarahan akhirnya membuat Yasnina nekad menjebak Devan dalam hubungan satu malam sehari sebelum pernikahan pria itu. Apakah dengan begitu Yasnina akan mendapatkan cinta dari Devan? Atau membuatnya kian jauh dari pria itu?
Reina disebut pembawa sial, diasingkan oleh keluarganya dan jauhi oleh Shiela saudara perempuannya. Namun Reina bertahan karena amanah dari mendiang ayahnya. Hingga dia bertemu Riga yang membawa warna dalam hidupnya. Seseorang berusaha melenyapkan Riga agar Reina tetap disebut si pembawa sial. Kecurigaannya muncul pada orang-orang terdekatnya, akankah Reina percaya pada mereka? Atau justru mengakui bahwa dirinya penyebab kematian orang-orang terdekatnya. Reina harus mengungkap kebenarannya!
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Aku bingung dengan situasi yang menimpaku saat ini, Dimana kakak iparku mengekangku layaknya seorang kekasih. Bahkan perhatian yang diberikan padaku-pun jauh melebihi perhatiannya pada istrinya. Ternyata dibalik itu semua, ada sebuah misteri yang aku sendiri bingung harus mempercayai atau tidak.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?