Seorang wanita karier yang sukses mendapati dirinya terjebak antara cinta lama yang kembali hadir dan suaminya yang setia. Dilema ini memaksanya memilih antara kenangan masa lalu atau masa depan yang sudah ia bangun.
Seorang wanita karier yang sukses mendapati dirinya terjebak antara cinta lama yang kembali hadir dan suaminya yang setia. Dilema ini memaksanya memilih antara kenangan masa lalu atau masa depan yang sudah ia bangun.
Langit Jakarta sore itu terlihat sedikit mendung, tapi gedung-gedung pencakar langit tetap bersinar memantulkan kilauan cahaya matahari yang mulai tenggelam. Alya melangkah cepat, mengenakan blazer putih yang pas dengan tubuhnya. Sepatu hak tingginya berbunyi setiap kali bersentuhan dengan lantai marmer hotel mewah tempat acara bisnis berlangsung. Ia baru saja keluar dari kantor setelah menghadiri beberapa rapat penting. Kepalanya sedikit pening, tapi sebagai direktur kreatif, ia tak punya waktu untuk mengeluh. Pekerjaannya selalu menuntut energi lebih.
Sampai di aula utama, mata Alya berusaha menyesuaikan diri dengan ruangan yang dipenuhi orang-orang berpakaian rapi. Ia menyapa beberapa rekan bisnisnya dengan senyum profesional, meskipun pikirannya sudah cukup lelah.
"Selalu sibuk ya, Alya?" tanya Rani, sahabat sekaligus koleganya yang sedang duduk di dekat meja prasmanan. "Kamu butuh liburan."
Alya tertawa kecil. "Kapan lagi? Klien terus-menerus menuntut ide-ide baru. Lagipula, aku tidak tahu apa itu liburan."
Percakapan mereka terpotong ketika seseorang masuk ke ruangan. Langkah Alya mendadak terhenti. Sosok pria yang baru datang itu tampak begitu familiar, meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihatnya. Adrian. Mata Alya membelalak sedikit, tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Pria itu masih sama-tinggi, karismatik, dengan senyum tenang yang dulu bisa membuat hatinya berdebar tanpa sebab.
Adrian mengenakan setelan hitam elegan, rambutnya tersisir rapi, dan ada kepercayaan diri yang terpancar dari gerak-geriknya. Ketika mata mereka bertemu, ada keheningan sesaat di dalam hati Alya. Dunia di sekitarnya seolah melambat. Kenangan yang ia kira sudah terkubur dalam-dalam mendadak kembali menghantam tanpa ampun.
Mereka pernah berbagi begitu banyak hal-tawa, tangis, dan cinta yang dulu terasa begitu sempurna. Adrian adalah cinta pertamanya. Cinta yang intens, yang penuh gairah, tapi juga penuh kekecewaan. Hubungan mereka berakhir ketika keduanya harus mengejar impian masing-masing. Adrian memilih pergi ke luar negeri untuk mengejar kariernya sebagai pengusaha, sementara Alya memutuskan untuk fokus membangun karier di Jakarta. Tidak ada perpisahan yang dramatis, hanya kesepakatan bersama bahwa jalan hidup mereka tidak lagi searah.
Tapi sekarang, di sini, di acara bisnis yang tak terduga, Adrian kembali hadir di hadapannya. Alya menelan ludah, berusaha meredam kegugupannya. Hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Rani, aku... aku harus ke kamar mandi sebentar," ujar Alya terburu-buru, tanpa menunggu respon sahabatnya.
Ia segera melangkah pergi, mencoba mencari udara. Kakinya terasa lemah, pikirannya kacau. Kenapa Adrian harus muncul sekarang? Kenapa di saat hidupnya sudah stabil dengan Bayu, suami yang selalu setia mendukungnya? Di tengah kebingungannya, Alya melangkah menuju balkon yang sepi.
Di luar, angin sore menyapa lembut wajahnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi kenangan itu terus menghantui. Dulu, ia dan Adrian pernah merencanakan masa depan bersama. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi mereka, tentang cinta yang tampak abadi. Tapi semua itu hanya tinggal cerita.
Ketika Alya hendak kembali ke dalam, sebuah suara familiar menghentikannya. "Alya?"
Suara itu, meskipun sudah bertahun-tahun tak ia dengar, masih tetap sama. Hangat dan penuh kerinduan.
Alya membalikkan badan, dan di sana Adrian berdiri, menatapnya dengan senyum tipis di wajahnya. "Sudah lama, ya."
Detik itu, Alya merasa seluruh dunianya kembali teraduk. Bagaimana bisa satu pertemuan sederhana ini mengembalikan semua perasaan yang dulu pernah ia coba kubur?
"Iya, sudah lama," jawab Alya pelan, meskipun dalam hatinya, waktu terasa seakan baru kemarin mereka berpisah.
Adrian mendekat, langkahnya pelan namun pasti. Tatapan matanya menelusuri wajah Alya, seakan mencari sesuatu yang hilang. "Kamu kelihatan tidak banyak berubah."
Alya tertawa kecil, meskipun dalam dirinya ada ribuan pertanyaan yang berputar. "Kamu juga. Bagaimana kabarmu?"
"Baik. Sangat baik. Aku baru kembali ke Jakarta setelah cukup lama di luar negeri. Rasanya seperti pulang ke rumah," jawab Adrian, suaranya lembut namun tetap menohok di telinga Alya.
Alya mengangguk pelan, meskipun pikirannya sudah kacau. Di satu sisi, ia ingin melarikan diri dari percakapan ini. Di sisi lain, ada rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana bisa Adrian kembali muncul dalam hidupnya, setelah semua yang telah berlalu?
"Dan kamu? Hidupmu sekarang bagaimana?" tanya Adrian, suaranya serius namun tetap ramah.
Alya tersenyum, mencoba tetap tenang. "Aku baik-baik saja. Karierku berkembang, aku menikah... dan hidupku berjalan seperti yang seharusnya."
Senyum Adrian sedikit memudar mendengar kata "menikah." Ia menarik napas panjang. "Aku senang mendengarnya. Aku sungguh senang untukmu."
Alya merasakan kegelisahan dalam diri Adrian, meskipun pria itu mencoba menyembunyikannya. "Kamu sendiri? Sudah menikah?" tanyanya, lebih karena ingin tahu bagaimana hidup Adrian sekarang.
Adrian tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Belum. Sepertinya, masih belum menemukan yang tepat."
Jawaban itu membuat suasana di antara mereka semakin berat. Alya ingin menutup percakapan ini dan segera kembali ke dalam, tapi bagian dari hatinya ingin tetap tinggal. Ada banyak kenangan yang tiba-tiba kembali menyeruak-semua tawa, cinta, dan janji-janji yang dulu mereka buat.
Adrian melangkah mendekat. "Aku ingin kita bertemu lagi. Bukan dalam acara seperti ini, tapi untuk bicara, Alya. Banyak yang ingin aku sampaikan."
Alya terdiam, hatinya bergejolak. Ia tahu ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang berbahaya. Tapi kenapa ia merasa tidak mampu menolak?
"Adrian..." Alya berbisik, bingung antara apa yang harus ia katakan dan apa yang sebaiknya ia hindari.
"Besok. Temui aku untuk makan siang," ujar Adrian, suaranya tegas namun tetap lembut. "Aku janji tidak akan membuatmu merasa tidak nyaman. Aku hanya ingin bicara."
Alya menatap Adrian, hatinya penuh dilema. Ia tahu bahwa pertemuan ini bisa mengguncang stabilitas hidupnya. Tapi bagian dari dirinya yang tak bisa ia abaikan menginginkan jawaban dari semua pertanyaan yang dulu tak sempat terjawab.
"Baiklah," akhirnya Alya mengangguk pelan. "Besok siang."
Adrian tersenyum penuh arti. "Sampai jumpa, Alya."
Dan dengan itu, Adrian berbalik meninggalkan Alya yang masih berdiri terpaku di balkon. Angin sore yang sejuk tak mampu menenangkan hatinya yang kini kembali berdebar karena kenangan lama yang tak pernah benar-benar hilang.
Alya masih berdiri di balkon, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Hatinya penuh dengan rasa campur aduk-kebingungan, kegelisahan, dan sedikit rasa bersalah. Pertemuan tak terduga dengan Adrian seolah membuka kembali lembaran hidup yang telah lama ia tutup rapat-rapat. Setelah sekian lama, kenapa sekarang ia harus kembali terlibat dalam perasaan yang dulu sudah ia kubur?
Sementara pikirannya berputar tanpa arah, Alya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam ruangan. Acara bisnis itu masih berlangsung, suara-suara percakapan, tawa, dan musik latar membuat suasana terasa kontras dengan pergolakan batin yang ia rasakan. Rani masih berada di tempat yang sama ketika Alya mendekatinya.
"Ke mana aja? Lama banget," tanya Rani sambil menyipitkan matanya, setengah bercanda.
"Aku cuma butuh udara segar," jawab Alya, mencoba mengendalikan suaranya agar terdengar normal.
Tapi Rani tahu sahabatnya lebih dari siapa pun. "Kamu kenapa? Mukamu kelihatan aneh," ujar Rani sambil menatap Alya dengan serius.
Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus menceritakan pertemuannya dengan Adrian. Tapi entah kenapa, ia merasa ini terlalu pribadi untuk dibagikan, bahkan kepada Rani. Mungkin karena ia sendiri belum yakin bagaimana perasaannya tentang pertemuan itu.
"Enggak, aku cuma sedikit pusing, mungkin kelelahan," jawab Alya, mencoba mengelak. "Kita pulang aja, acara ini kayaknya udah mau selesai."
Rani menatapnya dengan kecurigaan, tapi tidak memaksa. "Ya sudah, kalau kamu mau pulang, aku ikut."
Di perjalanan pulang, pikiran Alya terus melayang pada sosok Adrian. Apa yang sebenarnya Adrian inginkan? Kenapa dia tiba-tiba muncul lagi setelah bertahun-tahun? Bukankah mereka sudah memutuskan jalan hidup masing-masing? Tapi di balik semua pertanyaan itu, ada sesuatu yang tak bisa Alya abaikan-rasa yang dulu pernah ia rasakan untuk Adrian tampaknya belum benar-benar hilang.
Saat sampai di rumah, Bayu sudah menunggu di ruang tamu. Pria itu, seperti biasa, duduk dengan buku di tangannya. Begitu Alya masuk, Bayu tersenyum hangat.
"Hei, sudah pulang. Acara bisnisnya bagaimana?" tanyanya sambil bangkit dan mendekati Alya.
Alya tersenyum tipis dan mencium pipi suaminya. "Biasa aja, banyak percakapan formal yang membosankan. Aku lelah, hari ini panjang banget."
Bayu tertawa kecil, membelai rambut Alya dengan lembut. "Kamu butuh istirahat. Ayo, duduk sebentar. Mau teh hangat?"
Alya mengangguk, merasa sedikit tenang berada di dekat Bayu. Suaminya selalu menjadi tempat ia bersandar, pria yang penuh pengertian dan kasih sayang. Alya tidak bisa memikirkan alasan untuk merasa kurang puas dengan kehidupannya bersama Bayu-semua terasa stabil, nyaman, dan aman. Tapi di balik kenyamanan itu, ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang membuat pertemuannya dengan Adrian tadi sore terasa lebih mengguncang dari yang seharusnya.
Bayu kembali dengan secangkir teh, dan Alya menerimanya dengan senyum yang terpaksa ia tahan agar tidak memudar. Saat Bayu duduk di sebelahnya, ia menatap suaminya. Pria ini, yang telah bersamanya melewati suka dan duka, selalu ada di sisinya. Dan di saat yang sama, Alya merasakan perasaan bersalah yang samar. Apakah ia tidak adil kepada Bayu dengan menerima ajakan Adrian untuk bertemu besok?
"Bayu, besok aku mungkin ada makan siang dengan seorang rekan bisnis," kata Alya, mencoba memberi tahu tanpa memberikan terlalu banyak detail.
Bayu menatapnya dengan ekspresi netral. "Oh ya? Ada proyek baru?"
Alya mengangguk pelan. "Bisa dibilang begitu. Cuma pertemuan singkat, kok."
Bayu tersenyum, tanpa sedikit pun kecurigaan. "Baiklah, asal kamu tidak terlalu kelelahan. Kamu butuh waktu istirahat lebih."
Alya merasakan jantungnya berdebar. Dalam pikirannya, ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanya makan siang biasa. Tidak ada yang salah. Ia hanya akan berbicara dengan Adrian, seorang pria dari masa lalunya yang tidak lagi relevan dengan kehidupannya saat ini. Tapi mengapa hatinya terasa begitu kacau?
Setelah teh habis, Alya menghabiskan malam dengan Bayu seperti biasa-menonton acara televisi favorit mereka, berbicara tentang hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Bayu selalu menjadi pasangan yang sempurna, tapi entah kenapa malam itu Alya merasa ada jarak yang tak bisa ia jelaskan. Kenangan tentang Adrian terus muncul di benaknya, mengaburkan kenyataan bahwa ia sudah memiliki semua yang ia butuhkan bersama Bayu.
Saat malam semakin larut, dan Bayu sudah tertidur, Alya tetap terjaga di tempat tidurnya. Pikirannya kembali ke masa lalu, ke hari-hari di mana Adrian adalah pusat dunianya. Waktu itu, cinta mereka begitu kuat, begitu penuh gairah, hingga ia berpikir tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Tapi hidup punya rencana lain, dan waktu telah membawa mereka ke jalan yang berbeda.
Namun, sekarang Adrian kembali. Dan Alya tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Apakah ia cukup kuat untuk tetap berada di jalur yang telah ia pilih? Atau apakah pertemuan ini akan membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup?
Dengan napas berat, Alya menutup matanya, berharap bisa tidur dan melupakan semua keraguan ini, setidaknya untuk sementara. Tapi di balik kelopak matanya, bayangan Adrian tetap hadir, mengingatkan bahwa meskipun waktu telah berlalu, beberapa kenangan memang tak pernah benar-benar hilang.
Bersambung...
Seorang istri yang selalu setia menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Saat kebenaran terungkap, ia harus memutuskan apakah akan memperjuangkan pernikahannya atau melepaskan semuanya.
Dua siswa yang dulu sahabat sejak kecil, namun menjauh karena waktu, dipertemukan kembali dalam sebuah proyek sekolah. Mereka mulai mengingat janji-janji yang pernah mereka buat di bawah langit senja dan perasaan yang tak pernah hilang.
Seorang pemuda yang suka menyendiri sering menghabiskan waktu di taman sekolah. Suatu hari, ia bertemu dengan seorang gadis ceria yang selalu tersenyum. Tanpa disadari, kehadirannya membawa warna baru dalam hidupnya
Seorang siswi menemukan surat cinta anonim di loker sekolahnya setiap minggu. Saat ia berusaha mencari tahu siapa pengirimnya, ia tidak menyadari bahwa cinta sejati sudah ada di depan matanya.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Jika hasrat bagaikan sebilah pedang, pertemuan mereka sudah membuatnya terluka dalam keheningan. Dia menjalani hidup yang penuh dengan bahaya dan kenikmatan-tak pernah menyangka adanya seorang wanita yang bisa membuatnya lengah.
21+ "Pantas belum jalan, ada maunya ternyata" Ujar Fany "hehehehe... Yuk..." Ujar Alvin sambil mencium tengkuk istrinya. Fany segera membuka handuknya. Buah dadanya menggantung indah, perutnya yang rata dan mulus, serta area kemaluannya yang ditutupi rambut hitam langsung muncul. Alvin segera memeluk Fany dan melumat buah dadanya dengan rakus. "Pintu sudah dikunci? " Tanya Fany "Sudah...." Jawab Alvin disela mulatnya sedang mengenyot puting pink milik Fany "nyalain Ac dulu" suruh Fany lagi Sambil melepas sedotannya, Alvin mencomot remote AC lalu memencet tombol ON. Kembali dia melumat buah dada Fany bergantian kiri dan kanan, buah dada yang putih dan terlihat urat-urat merah dan biru di buah dada putihnya, membuat Alvin makin rakus melumatnya. Sambil menrunkan celana pendek dan celana dalamnya, dia membuka kaosnya, lalu merenggangkan paha Fany, ujung kontolnya yang belum tegak sempurna diberi ludah lewat jari tengahnya di bagian kepala, lalu menggosok gosok pelan di bibir vagina Fany. Fany mendesah dan merasakan mulai ada rangsangan di bibir kemaluannya, lalu tiba-tiba masuk batang berurat milik Alvin di vagina Fany yg belum begitu siap dan basah, pelan2 lelehan cairan membasahi dinding vaginanya, Alvin mulai menggoyang dan naik turun, Fanny memeluk bagian pinggul suaminya, pahanya dibuka lebar. Tidak lama kemudian.....
PEMUAS TANPA BATAS (21+) Tak pernah ada kata mundur untuk tigas mulia yang sangat menikmatkan ini.
21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"
Ini tentang Zhea Logari Gadis SMA yang dijual ibu tirinya pada seorang germo sekaligus Mafia terkemuka di kota Malta. Bukannya dijadikan budak, Zhea malah dijadikan seorang putri. Yang mana hal itu membuat kakak tirinya berusaha menghalalkan segala cara untuk menggantikan posisi Zhea.
© 2018-now Bakisah
TOP
GOOGLE PLAY