/0/20288/coverbig.jpg?v=770a65217a56606ed7738a369666bcff)
Seorang wanita karier yang sukses mendapati dirinya terjebak antara cinta lama yang kembali hadir dan suaminya yang setia. Dilema ini memaksanya memilih antara kenangan masa lalu atau masa depan yang sudah ia bangun.
Seorang wanita karier yang sukses mendapati dirinya terjebak antara cinta lama yang kembali hadir dan suaminya yang setia. Dilema ini memaksanya memilih antara kenangan masa lalu atau masa depan yang sudah ia bangun.
Langit Jakarta sore itu terlihat sedikit mendung, tapi gedung-gedung pencakar langit tetap bersinar memantulkan kilauan cahaya matahari yang mulai tenggelam. Alya melangkah cepat, mengenakan blazer putih yang pas dengan tubuhnya. Sepatu hak tingginya berbunyi setiap kali bersentuhan dengan lantai marmer hotel mewah tempat acara bisnis berlangsung. Ia baru saja keluar dari kantor setelah menghadiri beberapa rapat penting. Kepalanya sedikit pening, tapi sebagai direktur kreatif, ia tak punya waktu untuk mengeluh. Pekerjaannya selalu menuntut energi lebih.
Sampai di aula utama, mata Alya berusaha menyesuaikan diri dengan ruangan yang dipenuhi orang-orang berpakaian rapi. Ia menyapa beberapa rekan bisnisnya dengan senyum profesional, meskipun pikirannya sudah cukup lelah.
"Selalu sibuk ya, Alya?" tanya Rani, sahabat sekaligus koleganya yang sedang duduk di dekat meja prasmanan. "Kamu butuh liburan."
Alya tertawa kecil. "Kapan lagi? Klien terus-menerus menuntut ide-ide baru. Lagipula, aku tidak tahu apa itu liburan."
Percakapan mereka terpotong ketika seseorang masuk ke ruangan. Langkah Alya mendadak terhenti. Sosok pria yang baru datang itu tampak begitu familiar, meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihatnya. Adrian. Mata Alya membelalak sedikit, tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Pria itu masih sama-tinggi, karismatik, dengan senyum tenang yang dulu bisa membuat hatinya berdebar tanpa sebab.
Adrian mengenakan setelan hitam elegan, rambutnya tersisir rapi, dan ada kepercayaan diri yang terpancar dari gerak-geriknya. Ketika mata mereka bertemu, ada keheningan sesaat di dalam hati Alya. Dunia di sekitarnya seolah melambat. Kenangan yang ia kira sudah terkubur dalam-dalam mendadak kembali menghantam tanpa ampun.
Mereka pernah berbagi begitu banyak hal-tawa, tangis, dan cinta yang dulu terasa begitu sempurna. Adrian adalah cinta pertamanya. Cinta yang intens, yang penuh gairah, tapi juga penuh kekecewaan. Hubungan mereka berakhir ketika keduanya harus mengejar impian masing-masing. Adrian memilih pergi ke luar negeri untuk mengejar kariernya sebagai pengusaha, sementara Alya memutuskan untuk fokus membangun karier di Jakarta. Tidak ada perpisahan yang dramatis, hanya kesepakatan bersama bahwa jalan hidup mereka tidak lagi searah.
Tapi sekarang, di sini, di acara bisnis yang tak terduga, Adrian kembali hadir di hadapannya. Alya menelan ludah, berusaha meredam kegugupannya. Hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Rani, aku... aku harus ke kamar mandi sebentar," ujar Alya terburu-buru, tanpa menunggu respon sahabatnya.
Ia segera melangkah pergi, mencoba mencari udara. Kakinya terasa lemah, pikirannya kacau. Kenapa Adrian harus muncul sekarang? Kenapa di saat hidupnya sudah stabil dengan Bayu, suami yang selalu setia mendukungnya? Di tengah kebingungannya, Alya melangkah menuju balkon yang sepi.
Di luar, angin sore menyapa lembut wajahnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi kenangan itu terus menghantui. Dulu, ia dan Adrian pernah merencanakan masa depan bersama. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi mereka, tentang cinta yang tampak abadi. Tapi semua itu hanya tinggal cerita.
Ketika Alya hendak kembali ke dalam, sebuah suara familiar menghentikannya. "Alya?"
Suara itu, meskipun sudah bertahun-tahun tak ia dengar, masih tetap sama. Hangat dan penuh kerinduan.
Alya membalikkan badan, dan di sana Adrian berdiri, menatapnya dengan senyum tipis di wajahnya. "Sudah lama, ya."
Detik itu, Alya merasa seluruh dunianya kembali teraduk. Bagaimana bisa satu pertemuan sederhana ini mengembalikan semua perasaan yang dulu pernah ia coba kubur?
"Iya, sudah lama," jawab Alya pelan, meskipun dalam hatinya, waktu terasa seakan baru kemarin mereka berpisah.
Adrian mendekat, langkahnya pelan namun pasti. Tatapan matanya menelusuri wajah Alya, seakan mencari sesuatu yang hilang. "Kamu kelihatan tidak banyak berubah."
Alya tertawa kecil, meskipun dalam dirinya ada ribuan pertanyaan yang berputar. "Kamu juga. Bagaimana kabarmu?"
"Baik. Sangat baik. Aku baru kembali ke Jakarta setelah cukup lama di luar negeri. Rasanya seperti pulang ke rumah," jawab Adrian, suaranya lembut namun tetap menohok di telinga Alya.
Alya mengangguk pelan, meskipun pikirannya sudah kacau. Di satu sisi, ia ingin melarikan diri dari percakapan ini. Di sisi lain, ada rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana bisa Adrian kembali muncul dalam hidupnya, setelah semua yang telah berlalu?
"Dan kamu? Hidupmu sekarang bagaimana?" tanya Adrian, suaranya serius namun tetap ramah.
Alya tersenyum, mencoba tetap tenang. "Aku baik-baik saja. Karierku berkembang, aku menikah... dan hidupku berjalan seperti yang seharusnya."
Senyum Adrian sedikit memudar mendengar kata "menikah." Ia menarik napas panjang. "Aku senang mendengarnya. Aku sungguh senang untukmu."
Alya merasakan kegelisahan dalam diri Adrian, meskipun pria itu mencoba menyembunyikannya. "Kamu sendiri? Sudah menikah?" tanyanya, lebih karena ingin tahu bagaimana hidup Adrian sekarang.
Adrian tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Belum. Sepertinya, masih belum menemukan yang tepat."
Jawaban itu membuat suasana di antara mereka semakin berat. Alya ingin menutup percakapan ini dan segera kembali ke dalam, tapi bagian dari hatinya ingin tetap tinggal. Ada banyak kenangan yang tiba-tiba kembali menyeruak-semua tawa, cinta, dan janji-janji yang dulu mereka buat.
Adrian melangkah mendekat. "Aku ingin kita bertemu lagi. Bukan dalam acara seperti ini, tapi untuk bicara, Alya. Banyak yang ingin aku sampaikan."
Alya terdiam, hatinya bergejolak. Ia tahu ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang berbahaya. Tapi kenapa ia merasa tidak mampu menolak?
"Adrian..." Alya berbisik, bingung antara apa yang harus ia katakan dan apa yang sebaiknya ia hindari.
"Besok. Temui aku untuk makan siang," ujar Adrian, suaranya tegas namun tetap lembut. "Aku janji tidak akan membuatmu merasa tidak nyaman. Aku hanya ingin bicara."
Alya menatap Adrian, hatinya penuh dilema. Ia tahu bahwa pertemuan ini bisa mengguncang stabilitas hidupnya. Tapi bagian dari dirinya yang tak bisa ia abaikan menginginkan jawaban dari semua pertanyaan yang dulu tak sempat terjawab.
"Baiklah," akhirnya Alya mengangguk pelan. "Besok siang."
Adrian tersenyum penuh arti. "Sampai jumpa, Alya."
Dan dengan itu, Adrian berbalik meninggalkan Alya yang masih berdiri terpaku di balkon. Angin sore yang sejuk tak mampu menenangkan hatinya yang kini kembali berdebar karena kenangan lama yang tak pernah benar-benar hilang.
Alya masih berdiri di balkon, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Hatinya penuh dengan rasa campur aduk-kebingungan, kegelisahan, dan sedikit rasa bersalah. Pertemuan tak terduga dengan Adrian seolah membuka kembali lembaran hidup yang telah lama ia tutup rapat-rapat. Setelah sekian lama, kenapa sekarang ia harus kembali terlibat dalam perasaan yang dulu sudah ia kubur?
Sementara pikirannya berputar tanpa arah, Alya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam ruangan. Acara bisnis itu masih berlangsung, suara-suara percakapan, tawa, dan musik latar membuat suasana terasa kontras dengan pergolakan batin yang ia rasakan. Rani masih berada di tempat yang sama ketika Alya mendekatinya.
"Ke mana aja? Lama banget," tanya Rani sambil menyipitkan matanya, setengah bercanda.
"Aku cuma butuh udara segar," jawab Alya, mencoba mengendalikan suaranya agar terdengar normal.
Tapi Rani tahu sahabatnya lebih dari siapa pun. "Kamu kenapa? Mukamu kelihatan aneh," ujar Rani sambil menatap Alya dengan serius.
Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus menceritakan pertemuannya dengan Adrian. Tapi entah kenapa, ia merasa ini terlalu pribadi untuk dibagikan, bahkan kepada Rani. Mungkin karena ia sendiri belum yakin bagaimana perasaannya tentang pertemuan itu.
"Enggak, aku cuma sedikit pusing, mungkin kelelahan," jawab Alya, mencoba mengelak. "Kita pulang aja, acara ini kayaknya udah mau selesai."
Rani menatapnya dengan kecurigaan, tapi tidak memaksa. "Ya sudah, kalau kamu mau pulang, aku ikut."
Di perjalanan pulang, pikiran Alya terus melayang pada sosok Adrian. Apa yang sebenarnya Adrian inginkan? Kenapa dia tiba-tiba muncul lagi setelah bertahun-tahun? Bukankah mereka sudah memutuskan jalan hidup masing-masing? Tapi di balik semua pertanyaan itu, ada sesuatu yang tak bisa Alya abaikan-rasa yang dulu pernah ia rasakan untuk Adrian tampaknya belum benar-benar hilang.
Saat sampai di rumah, Bayu sudah menunggu di ruang tamu. Pria itu, seperti biasa, duduk dengan buku di tangannya. Begitu Alya masuk, Bayu tersenyum hangat.
"Hei, sudah pulang. Acara bisnisnya bagaimana?" tanyanya sambil bangkit dan mendekati Alya.
Alya tersenyum tipis dan mencium pipi suaminya. "Biasa aja, banyak percakapan formal yang membosankan. Aku lelah, hari ini panjang banget."
Bayu tertawa kecil, membelai rambut Alya dengan lembut. "Kamu butuh istirahat. Ayo, duduk sebentar. Mau teh hangat?"
Alya mengangguk, merasa sedikit tenang berada di dekat Bayu. Suaminya selalu menjadi tempat ia bersandar, pria yang penuh pengertian dan kasih sayang. Alya tidak bisa memikirkan alasan untuk merasa kurang puas dengan kehidupannya bersama Bayu-semua terasa stabil, nyaman, dan aman. Tapi di balik kenyamanan itu, ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang membuat pertemuannya dengan Adrian tadi sore terasa lebih mengguncang dari yang seharusnya.
Bayu kembali dengan secangkir teh, dan Alya menerimanya dengan senyum yang terpaksa ia tahan agar tidak memudar. Saat Bayu duduk di sebelahnya, ia menatap suaminya. Pria ini, yang telah bersamanya melewati suka dan duka, selalu ada di sisinya. Dan di saat yang sama, Alya merasakan perasaan bersalah yang samar. Apakah ia tidak adil kepada Bayu dengan menerima ajakan Adrian untuk bertemu besok?
"Bayu, besok aku mungkin ada makan siang dengan seorang rekan bisnis," kata Alya, mencoba memberi tahu tanpa memberikan terlalu banyak detail.
Bayu menatapnya dengan ekspresi netral. "Oh ya? Ada proyek baru?"
Alya mengangguk pelan. "Bisa dibilang begitu. Cuma pertemuan singkat, kok."
Bayu tersenyum, tanpa sedikit pun kecurigaan. "Baiklah, asal kamu tidak terlalu kelelahan. Kamu butuh waktu istirahat lebih."
Alya merasakan jantungnya berdebar. Dalam pikirannya, ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanya makan siang biasa. Tidak ada yang salah. Ia hanya akan berbicara dengan Adrian, seorang pria dari masa lalunya yang tidak lagi relevan dengan kehidupannya saat ini. Tapi mengapa hatinya terasa begitu kacau?
Setelah teh habis, Alya menghabiskan malam dengan Bayu seperti biasa-menonton acara televisi favorit mereka, berbicara tentang hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Bayu selalu menjadi pasangan yang sempurna, tapi entah kenapa malam itu Alya merasa ada jarak yang tak bisa ia jelaskan. Kenangan tentang Adrian terus muncul di benaknya, mengaburkan kenyataan bahwa ia sudah memiliki semua yang ia butuhkan bersama Bayu.
Saat malam semakin larut, dan Bayu sudah tertidur, Alya tetap terjaga di tempat tidurnya. Pikirannya kembali ke masa lalu, ke hari-hari di mana Adrian adalah pusat dunianya. Waktu itu, cinta mereka begitu kuat, begitu penuh gairah, hingga ia berpikir tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Tapi hidup punya rencana lain, dan waktu telah membawa mereka ke jalan yang berbeda.
Namun, sekarang Adrian kembali. Dan Alya tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Apakah ia cukup kuat untuk tetap berada di jalur yang telah ia pilih? Atau apakah pertemuan ini akan membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup?
Dengan napas berat, Alya menutup matanya, berharap bisa tidur dan melupakan semua keraguan ini, setidaknya untuk sementara. Tapi di balik kelopak matanya, bayangan Adrian tetap hadir, mengingatkan bahwa meskipun waktu telah berlalu, beberapa kenangan memang tak pernah benar-benar hilang.
Bersambung...
Seorang pria yang merasa tertekan oleh kehidupan rumah tangganya terlibat perselingkuhan dengan seseorang dari masa lalunya. Ketika kebohongan ini terungkap, ia harus memilih antara keluarga yang ia bangun atau cinta yang tak pernah benar-benar hilang.
Seorang pria yang sudah menikah kembali bertemu dengan cinta pertamanya yang belum pernah ia lupakan. Hubungan ini membuatnya meragukan pernikahannya dan mempertanyakan apa itu cinta sejati.
Seorang wanita yang merasa hampa dalam pernikahannya memulai hubungan dengan mantan kekasihnya. Namun, ia tak menyadari bahwa kebahagiaan sesaat itu dapat membawa bencana bagi hidupnya yang sudah stabil.
Seorang pria yang merasa terabaikan oleh istrinya karena kesibukan pekerjaan, mulai mencari kenyamanan dari wanita lain. Perselingkuhan ini membuatnya harus memilih antara keluarga yang ia cintai atau perasaan egoisnya sendiri.
Seorang wanita menemukan bahwa suaminya berselingkuh dengan rekan kerjanya. Sambil mencoba mencari tahu alasan di balik perselingkuhan tersebut, ia dihadapkan pada rahasia gelap suaminya yang jauh lebih besar.
Seorang istri yang selalu setia menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Saat kebenaran terungkap, ia harus memutuskan apakah akan memperjuangkan pernikahannya atau melepaskan semuanya.
Rachel dulu berpikir bahwa kesetiaannya akan membuat Brian jatuh hati suatu hari nanti, tetapi ternyata dia salah ketika cinta sejati pria itu kembali. Rachel telah menanggung semuanya-mulai dari berdiri sendirian di altar pernikahan hingga menyeret dirinya sendiri ke rumah sakit untuk perawatan darurat. Semua orang mengira dia gila karena menyerahkan begitu banyak dirinya untuk seseorang yang tidak membalas perasaannya. Namun ketika Brian menerima berita tentang penyakit terminal Rachel dan menyadari bahwa wanita itu tidak akan hidup lama lagi, dia benar-benar hancur. "Aku melarangmu mati!" Rachel hanya tersenyum. Dia tidak lagi membutuhkannya. "Aku akhirnya akan bebas."
Ciumannya kini turun ke perut yang mulus dan rata, lidahnya bermain di pusarnya, dan tangannya lalu menurunkan celana dalam yang jadi kain terakhir yang menempel ditubuh Endah, dan wanita itu mengangkat pantatnya agar Asaln dengan leluasa membuka celana dalamnya. Rimbunan semak belukar hitam menyapa tatapan Aslan, dan mata yang malu terlihat diatas sana agak samar dirundung birahi, apalagi saat dengan lembut Aslan membuka lebar pahanya, sehingga aroma kewanitaan yang segar dan alami pun menyeruak membuat nafsu kelakilakian seorang Aslan semakin membara Dengan lembut bibirnya mencium gundukan bukit rimbun dan hitam itu….. Belahannya kemudian terlihat memerah mengintip, serta bagian daging kecil yang memancing bibir Aslan untuk menyentuhnya “Auhg,,,,,, abang…..”
18+, hampir tiap bab memiliki unsur kedewasaan, jadi tidak di peruntukan pembaca di bawah 18 tahun ke bawah. Cerita ini berlatar belakang seorang mahasiswa yang memiliki prestasi cukup lumayan. Iapun hanya seorang pria yang memiliki perekonomian yang tidak terlalu mendukung, namun bisa melanjutkan pendidikannya di salah satu kampus ternama, di karenakan ia memiliki kecerdasan hingga dia bisa mendapatkan beasiswa. Awalnya ia tak pernah menyangka kalau dirinya akan menjadi pria yang di lirik banyak wanita, berhubung parasnya tidak terlalu mendukung. Namun sepeninggalnya sahabat terbaiknya, di saat itulah dia mendapatkan semuanya.
Siska teramat kesal dengan suaminya yang begitu penakut pada Alex, sang preman kampung yang pada akhirnya menjadi dia sebagai bulan-bulannya. Namun ketika Siska berusaha melindungi suaminya, dia justru menjadi santapan brutal Alex yang sama sekali tidak pernah menghargainya sebagai wanita. Lantas apa yang pada akhirnya membuat Siska begitu kecanduan oleh Alex dan beberapa preman kampung lainnya yang sangat ganas dan buas? Mohon Bijak dalam memutuskan bacaan. Cerita ini kgusus dewasa dan hanya orang-orang berpikiran dewasa yang akan mampu mengambil manfaat dan hikmah yang terkandung di dalamnya
Yahh saat itu tangan kakek sudah berhasil menyelinap kedalam kaosku dan meremas payudaraku. Ini adalah pertama kali payudaraku di pegang dan di remas langsung oleh laki2. Kakek mulai meremas payudaraku dengan cepat dan aku mulai kegelian. “ahhhkkk kek jangannnhh ahh”. Aku hanya diam dan bingung harus berbuat apa. Kakek lalu membisikkan sesuatu di telingaku, “jangan berisik nduk, nanti adikmu bangun” kakek menjilati telingaku dan pipiku. Aku merasakan sangat geli saat telingaku di jilati dan memekku mulai basah. Aku hanya bisa mendesah sambil merasa geli. Kakek yang tau aku kegelian Karena dijilati telinganya, mulai menjilati telingaku dengan buas. Aku: “ahhkkk ampunnn kek, uddaahhhhh.” Kakek tidak memperdulikan desahanku, malah ia meremas dengan keras payudaraku dan menjilati kembali telingaku. Aku sangat kegelian dan seperti ingin pipis dan “crettt creettt” aku merasakan aku pipis dan memekku sangat basah. Aku merasa sangat lemas, dan nafasku terasa berat. Kakek yang merasakan bila aku sudah lemas langsung menurunkan celana pendekku dengan cepat. Aku pun tidak menyadarinya dan tidak bisa menahan celanaku. Aku tersadar celanaku sudah melorot hingga mata kakiku. Dan tiba2 lampu dikamarku menyala dan ternyata...
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
© 2018-now Bakisah
TOP