Tok, tok, tok!
"Masuk," suara berat dan dalam terdengar dari dalam ruangan.
Jantungnya semakin berdebar. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan melangkah masuk.
Saat matanya bertemu dengan pria yang duduk di balik meja kerja besar, dunia terasa berhenti berputar.
Liana tercekat.
Pria itu...
Ethan Alvaro.
Pria yang pernah bersamanya di malam itu.
Pria yang tanpa ia sadari... adalah ayah dari anaknya.
---
Lima tahun lalu...
Liana masih ingat malam itu dengan jelas. Pesta perusahaan yang diadakan di hotel mewah, suasana hangat dengan alunan musik jazz yang lembut. Ia tidak berniat tinggal lama, tetapi rekan-rekannya memaksanya untuk ikut.
Saat ia keluar untuk mencari udara segar di balkon, seorang pria datang menghampirinya.
"Tampaknya kau juga tidak suka keramaian," katanya dengan suara rendah.
Liana menoleh. Pria itu tinggi, mengenakan jas hitam yang elegan. Cahaya lampu membuat fitur wajahnya terlihat tajam dan sempurna-rahang tegas, mata tajam, dan bibir tipis yang membentuk senyum samar.
"Aku hanya tidak terlalu suka pesta yang berisik," jawab Liana dengan canggung.
Pria itu menyandarkan tangannya di pagar balkon, menatap langit malam. "Begitu juga aku," gumamnya.
Liana menoleh, mengamati wajah pria itu lebih lama. Ada sesuatu yang berbeda darinya. Cara ia berbicara, cara ia menatapnya...
"Apa kau sering datang ke pesta seperti ini?" tanyanya, mencoba memecah keheningan.
"Tidak. Ini pertama kalinya aku merasa ingin tinggal lebih lama." Pria itu meliriknya, sudut bibirnya sedikit tertarik.
Liana merasakan kehangatan menjalar di pipinya.
Mereka mengobrol untuk beberapa saat, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Liana merasa nyaman dengan seseorang. Pria itu memiliki aura yang kuat, namun ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Liana merasa aman.
Satu hal mengarah ke hal lain.
Malam itu berakhir dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dan keesokan paginya, pria itu menghilang tanpa jejak.
Liana mencoba mencari tahu siapa dia, tetapi satu-satunya hal yang ia tahu hanyalah namanya-Ethan.
Beberapa minggu kemudian, hidupnya berubah selamanya. Ia hamil.
Dan sekarang, setelah bertahun-tahun, pria itu berdiri di depannya...
Yang lebih buruk, Ethan sama sekali tidak mengenalinya.
---
"Siapa kau?" suara Ethan terdengar tegas, membuyarkan lamunannya.
Liana berusaha menguasai dirinya. "Liana Evans. Saya sekretaris baru Anda, Tuan Alvaro."
Ethan menyipitkan mata, mengamati wanita di depannya. Ada sesuatu yang terasa familiar, tapi ia tidak bisa mengingatnya. Namun, ia bukan tipe pria yang membuang waktu untuk hal-hal sepele.
"Baik," katanya akhirnya. "Aku tidak suka kesalahan. Aku menuntut kesempurnaan. Jangan buat aku kecewa."
Liana mengangguk. "Saya mengerti, Tuan."
Hanya itu?
Liana tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau kecewa karena pria itu benar-benar tidak mengingatnya.
Ethan menutup dokumen di mejanya, lalu bersandar di kursinya. "Apa kau punya pengalaman menjadi sekretaris eksekutif sebelumnya?"
Liana menelan ludah, mencoba mengalihkan pikirannya dari keterkejutan barusan. "Saya pernah bekerja sebagai asisten manajer di perusahaan sebelumnya, jadi saya cukup familiar dengan tugas-tugas administratif," jawabnya dengan nada setenang mungkin.
Ethan menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Mata pria itu mengintimidasi, tajam, dan seakan mampu membaca kebohongan sekecil apa pun.
"Aku tidak butuh seseorang yang hanya 'cukup familiar'," katanya dingin. "Aku butuh seseorang yang sempurna."
Liana mengepalkan tangannya di balik map yang ia bawa. Ia tahu betapa kerasnya dunia korporat. Tidak ada tempat bagi orang yang lemah.
"Saya akan melakukan yang terbaik," jawabnya mantap.
Ethan tidak mengatakan apa-apa selama beberapa detik, lalu akhirnya mengangguk. "Baik. Mulai hari ini, kau bekerja di bawah kendaliku. Aku tidak suka orang yang lamban atau ceroboh. Jika kau membuat kesalahan, kau bisa keluar dari sini kapan saja."
Liana menelan ludah. "Saya mengerti, Tuan Alvaro."
"Bagus."
Ethan menatap layar laptopnya, mengisyaratkan bahwa percakapan mereka telah selesai.
Liana mengangguk sopan dan berbalik menuju pintu. Namun, sebelum ia bisa keluar, ponselnya bergetar di dalam tasnya.
Ia merogoh tasnya dengan cepat dan melihat pesan dari pengasuh putranya, Noel.
"Noel demam. Aku sudah memberinya obat, tapi dia terus memanggil 'Papa' dalam tidurnya."
Liana berhenti di tempat.
Tangannya sedikit gemetar saat menggenggam ponselnya.
Papa...
Kata itu menghantam hatinya lebih keras dari yang ia bayangkan.
Dalam sekejap, pikirannya melayang ke wajah mungil Noel-mata bulatnya yang jernih, hidung kecilnya, dan senyum khasnya yang mirip dengan...
Liana mencuri pandang ke arah Ethan.
Pria itu masih menatap layar laptopnya, tampak tidak peduli dengan keberadaannya.
Jika ia memberi tahu pria itu sekarang... apa yang akan terjadi?
Tapi tidak, Liana tidak bisa.
Tidak semudah itu.
Ia menggigit bibirnya dan segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
Tidak ada yang boleh tahu. Terutama Ethan Alvaro.
Namun, satu hal yang tidak ia sadari... sejak tadi, Ethan sempat meliriknya sekilas.
Alis pria itu sedikit berkerut.
"Apa yang sebenarnya disembunyikan wanita ini?"