/0/23409/coverbig.jpg?v=20250501191847)
Kian tak sengaja melihat benda kecil yang tergeletak begitu saja di bawah meja di samping tempat tidur. Diraihnya benda itu dan ia lihat dua garis merah tercetak dengan rapi di sana. Kian lantas bertanya-tanya tentang siapa pemilik test pack itu. Sempat ia mencurigai istrinya hamil. Namun, ia sadar bahwa dirinya tak bisa mendapatkan momongan. "Test pack siapa ini? Apakah istriku sedang hamil? Ah, bagaimana bisa hal itu terjadi? Aku kan hanya laki-laki mandul." Lalu, siapakah pemilik test pack itu? Benarkah benda itu milik Aurelie?
"Bagaimana? Sudah siap?"
Kian menoleh ke belakang dan mendapati ibunya sudah berdiri di ambang pintu kamar. Ia lantas bergerak mendekati wanita itu. Di depan ibunya, Kian hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan sang ibu.
"Kian bisa pergi sendiri, Ma," ucap Kian seraya melangkah menuruni satu per satu anak tangga itu dengan tangan yang digandeng oleh ibunya. "Lagipula, kalau Mama ikut nanti di sana tidak ada yang bisa dikerjakan," sambungnya.
"Mama akan menemanimu, Nak," sahut Tania dengan cepat. Bukan ia tidak mempercayai Kian untuk menjaga diri. Hanya saja, ia takut jika di jalan akan terjadi hal buruk pada putra bungsunya. Dan jika hal itu terjadi, jelas Tania tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.
Kian terkekeh sejenak sebelum ia meraih kedua tangan Tania dan menggenggamnya dengan sangat erat. Ia putar tubuh ibunya hingga berdiri berhadapan. Sepasang bola mata sipit yang terlihat lebih sayu itu menatap lekat wajah tua Tania. "Mau sampai kapan Mama tidak bisa mempercayai Kian?" tanya Kian dengan suara yang sangat lembut. Tak lupa senyum tipis, tetapi manis itu.
"Selama do'a Mama masih mengalir, percayalah kalau Kian akan selalu baik-baik saja," sambung laki-laki itu masih dengan suara lembutnya.
Helaan napas panjang Tania terdengar. Mendengar ucapan putranya, ia memang selalu berhasil kalah. Meskipun rasa khawatir itu tidak akan pernah sirna jika Kian bepergian tanpa dirinya. Akan tetapi, Tania juga tidak ingin memaksa Kian. Sebab, ia tahu jika putranya memang butuh ruang dan waktu untuk melakukan aktivitasnya sendiri. Baik, Tania harus menyadari bahwa Kian kini sudah tumbuh dewasa. Bukan lagi Kian yang seperti dianggapnya, Kian kecil yang menggemaskan.
"Trust me, Ma."
Tania mengangguk dan tersenyum. "Ya sudah. Kau hati-hati. Setelah dari rumah sakit, kau akan langsung pulang?"
Kian mengangguk cepat.
"Mama buatkan makanan favoritmu."
Kian langsung mengangkat ibu jarinya. "Ok!"
Tania melepaskan kepergian Kian setelah putra sulungnya itu berpamitan. Dengan tatapan sendu ia menatap punggung lebar Kian hingga benar-benar menghilang dari pandangan. "Maafkan Mama kalau belum bisa membuatmu nyaman dengan kekhawatiran Mama," bisik Tania hingga tanpa sadar air matanya lolos dari kelopak mata yang sudah mulai ditumbuhi keriput halus.
°°°
Langkah Kian melaju perlahan menapaki ubin-ubin putih bersih gedung putih itu. Seperti biasa, akan ada beberapa petugas rumah sakit yang menyapanya. Ya, Kian merupakan salah satu orang yang terbilang rutin mengunjungi bangunan itu. Bahkan, setiap minggunya. Tidak heran jika banyak petugas yang mengenalnya.
Hanya beberapa kali mengetuk pintu. Kian langsung memasuki sebuah ruangan yang sudah menjadi ruang wajib yang dikunjungi.
"Maaf, ya, aku terlam ...." Kalimat Kian tergantung begitu saja ketika yang ia temukan di dalam ruangan itu bukanlah orang biasanya. Namun, sosok perempuan yang duduk manis di kursi seraya menatapnya dengan kedua alis terangkat sempurna.
"Oh, maaf. Aku kira Dokter Aiman," ucap Kian seraya menundukkan kepalanya sedikit. Lalu, ia melihat perempuan itu hanya mengangguk dan tersenyum dengan manis. Dalam beberapa detik, Kian terpaku di tempat. Bohong jika Kian tidak terpesona dengan senyuman perempuan yang begitu manis itu. Apalagi, tatapannya begitu teduh.
Kian dengan cepat tersadar dan hendak beranjak ke luar.
"Tunggu saja di sini."
Suara perempuan itu berhasil menghentikan langkahnya. Tak hanya laju sepasang tungkai milik Kian saja yang terhenti. Akan tetapi, detak jantungnya juga seakan ikut berhenti. Suara itu ... Ah, terdengar sangat lembut dan sampai ke hati.
"Sepertinya, Dokter Aiman sebentar lagi balik," sambung perempuan itu dengan suara yang tak disadari berhasil membuat dunia Kian berubah.
Kian menoleh ke belakang setelah semuanya kembali normal. "Tidak apa-apa tunggu di sini?" tanya Kian dengan nada suara ragu-ragu.
"Ya, memangnya kenapa kalau tunggu di sini sama-sama?"
Kian pun hanya bisa tersenyum. Ia kemudian mendekat ke arah perempuan itu. Tangannya menyeret pelan kursi lain dan duduk.
Hening dalam beberapa saat. Hingga suara perempuan itu kembali terdengar. Namun, terdengar sedikit ragu.
"Hm, mau konsultasi, ya?"
Kian mengangkat kepala dan menatap perempuan itu. Lalu, mengangguk seraya mengulum senyum. "Konsultasi wajib," jawabnya.
Perempuan itu mengangguk. Ia paham maksud Kian.
"Kau juga?"
Perempuan itu menggeleng pelan. "Aku di sini hanya praktik," balasnya.
Kian mengulurkan tangan tanpa ragu. "Aku, Kian," ucapnya memperkenalkan diri seraya menunggu uluran tangannya disambut oleh lawan bicaranya. Ya, meskipun Kian sendiri tidak tahu apakah uluran tangan itu akan bersambut atau bahkan sebaliknya.
Akan tetapi, Kian merasakan tangannya tergenggam. Ia pandangi tangan putih mulus yang kini sudah berjabat dengannya itu.
"Namaku, Aurelie. Aurelie Razeta Giovandra," jawab perempuan itu seraya menunjuk sebuah name tag yang ada di bajunya.
Kian pun langsung menatap ke arah jari telunjuk perempuan yang sudah memperkenalkan dirinya dengan panggilan Aurelie itu. "Aurelie," ulang Kian.
Aurelie hanya tersenyum mendengar Kian menyebut namanya.
Lalu, tak lama pintu ruangan terbuka. Sosok yang kedua manusia di dalam ruangan itu tunggu datang juga.
"Maaf, ya, Rel, sudah membuatmu menunggu lama," ucap Aiman. Lalu, ia menatap Kian. "Sudah lama?"
Baik Kian maupun Aurelie hanya tersenyum.
"Dok, saya bisa tunggu sampai pekerjaan Dokter selesai dulu," ucap Aurelie yang paham, bahwa Aiman saat ini sedang kedatangan salah satu pasiennya.
"Maaf, ya, harus membuatmu menunggu lagi," ucap Aiman merasa tidak enak hati.
"Tidak apa-apa, Dok," balas Aurelie. "Kalau begitu saya permisi dulu."
"Kau bisa tunggu di sofa saja, Rel. Setelah ini, kita bisa lanjutkan," ujar Aiman dan langsung diiyakan oleh Aurelie.
Hening setelah Aurelie beranjak menyisakan Kian dan Aiman yang duduk berhadapan kini. Terlebih Kian, laki-laki itu hanya diam memperhatikan Aiman yang fokus melihat sebuah hasil pemeriksaan dan sesekali menatapnya dengan tatapan datar.
"Bagaimana?" tanya Kian yang sebenarnya paham arti tatapan dokter sekaligus temannya itu. Kian sudah terlalu sering melihat ekspresi tersebut yang menandakan ada yang tidak beres.
"Kau pasti tahu, 'kan?" Aiman menatap Kian dengan serius. Ia melihat laki-laki itu hanya tersenyum sumbang. "Ki, kali ini saja dengarkan aku," sambung Aiman dengan nada memelas.
Hening.
"Jika kau tidak bisa mendengarku sebagai dokter. Dengarkan aku sebagai temanmu. Kondisimu saat ini ...."
"Yes. I know. Kau tidak perlu lanjutkan," ucap Kian dengan cepat memotong kalimat Aiman.
"Jika kau sudah tahu, kau bisa pikirkan matang-matang jalan keluar yang pernah aku katakan waktu itu."
Kian mengangguk. Lalu, tersenyum untuk memecah suasana yang terlampau serius itu.
"Aku serius."
"Aku juga tidak menganggapmu sedang bercanda," balas Kian cepat seraya tertawa kecil. "Gantengmu hilang jika terllu serius seperti itu."
Aiman hanya bisa menghela napas panjang melihat kelakuan pasien sekaligus temannya itu. Namun, ia tahu apa yang dilakukan Kian hanya untuk mengalihkan kesedihannya. Aiman paham itu.
Kian mendekatkan wajah. Lalu, berbisik, "Juniormu cantik juga. Apa kau bisa memperkenalkanku dengannya?"
"Sialan!" umpat Aiman. "Bisa-bisanya kau berpikir sejauh itu."
Kian tertawa kecil. "Tapi, aku serius."
"Jika kau serius, aku bisa atur."
Kian sejenak terdiam. "Tapi, sepertinya tidak mungkin. Tidak akan ada perempuan secantik dia yang mau denganku."
"Itu hanya pikiranmu saja," balas Aiman. "Kau terlalu psimis."
Sebelum Kian kembali angkat suara. Aiman lebih dulu berucap lagi, "Tidak ada yang sempurna, Ki. Kau harus ingat itu."
Kian hanya terdiam. Lalu, tersenyum tipis. Setelah itu, Kian meminta undur diri.
Langkah Kian terhenti tepat di depan Aurelie yang masih setia menunggu Aiman. Ia layangkan sebuah senyum bersi terbaiknya. "Aku duluan, ya."
Aurelie membalas senyuman itu seraya mengangguk. Setelah Kian benar-benar pergi. Aurelie hanya bisa terdiam. Perbincangan Kian dan Aiman tentang kondisi Kian bisa ia dengar. Meski tidak dijelaskan dengan sangat rinci, Aurelie tahu ada sesuatu yang serius tengah terjadi. Akan tetapi, ia tidak bisa juga mencampuri hal itu, karena itu bukan ranahnya.
"Separah itu," monolog Aurelie dengan berbisik.
Elora Marta Maheswari. Perempuan cantik yang ditinggalkan oleh suaminya—Aaron—untuk selama-lamanya. Perginya Aaron tak hanya meninggalkan seorang putra untuk Elora. Namun, meninggalkan juga sebuah wasiat, yaitu Elora harus menikah dengan Hesta—teman Aaron. Tentu saja Elora menolak mentah-mentah keinginan Aaron. Kendati demikian, tepat di hari ke empat puluh kematian Aaron. Elora harus menikah dengan Hesta. “Dan jangan pernah lupa satu hal. Aku menikah denganmu karena permintaan Aaron. Jadi, kau jangan pernah merasa bahwa aku milikmu. Karena, sampai kapan pun aku adalah milik Aaron. Ya, hanya Aaron. Suamiku,” ucap Elora dengan tegas di hadapan Hesta. “Aku tidak akan menyerah sampai kapan pun, El. Karena, kau adalah istriku. Kau adalah milikku seutuhnya,” lirih Hesta. Lantas, bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Elora dan Hesta? Akankah Hesta mampu membuat Elora luluh dan jatuh cinta padanya?
Kepulangan Ilona ke tanah air setelah menginjak usia di angka seperempat abad adalah untuk membalas dendam atas kematian Tuan Belvara—ayahnya. Kematian yang begitu tiba-tiba dan tragis. Kematian yang menghancurkan keluarga Ilona tak hanya dari sektor ekonomi saja. Akan tetapi, juga merenggut kewarasan sang ibu hingga berakhir di rumah sakit jiwa. Peluang balas dendam Ilona dapatkan ketika ia bisa masuk menjadi salah satu tenaga pendidik di sebuah sekolah bergengsi di mana salah satu generasi penerus dari keluarga Altaresh yang membuat ayahnya meninggal menempuh pendidikan di sana. Hal itu tidak disia-siakan oleh perempuan pemilik nama lengkap Ilona Roselani Belvania itu. "Jika rindu harus dibayar temu. Maka, dendam harus dibayar tuntas." -ILONA ROSELANI BELVANIA Lantas, bisakah Ilona membalas dendamnya dengan tuntas?
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Novel Cinta dan Gairah 21+ ini berisi kumpulan cerpen romantis terdiri dari berbagai pengalaman romantis dari berbagai latar belakang profesi yang ada seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, CEO, kuli bangunan, manager, para suami dan lain-lain .Semua cerpen romantis yang ada pada novel ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga bisa sangat memuaskan fantasi para pembacanya. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Setelah menikahi akhwat cantik yang lama diidam-idamkan, pria milyarder itu merasa sangat bahagia. Mereka menikmati kehidupan rumah tangga yang bahagia, meski baru seminggu. Namun, ada satu hal yang membuat sang istri merasa terganggu. Suaminya mempunyai kebiasaan yang cukup mengkhawatirkan. Hampir setiap saat, suaminya meminta jatah. Sebelum tidur, saat menyiapkan makanan, bahkan saat mereka sedang santai di ruang keluarga. Sang istri merasa kewalahan. Dia tidak pernah menyangka bahwa suaminya begitu rakus akan kepuasan duniawi. Suatu hari, ketika sang istri sedang memasak di dapur, sang suami mendekatinya dan mulai merayunya. "Sayang, ayo kita berduaan sebentar di kamar," bisik suaminya, sambil mencium leher istri. Dengan wajah merah padam, sang istri mencoba menolak. "Aku sedang memasak, nanti saja ya, Sayang," ujarnya lembut. Namun, suaminya tidak terima penolakan. Dia semakin mendesak, bahkan mulai meraba tubuh sang istri. "Aku tidak bisa menahan nafsu ini, Sayang," desahnya. Akhirnya, sang istri menyerah pada desakan suaminya. Mereka pun bergegas ke kamar untuk melampiaskan hasrat mereka. Sang istri merasa kewalahan menghadapi keperkasaan suaminya yang mencapai 27cm. Dia merasa tubuhnya terlalu lemah untuk mengimbangi nafsu suaminya yang tidak pernah habis. Setelah berhubungan intim, sang istri terkapar lemas di tempat tidur, sementara suaminya bangkit dengan senyum puas
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.
Cerita Khusus Dewasa... Banyak sekali adegan panas di konten ini. Mohon Bijak dalam Membaca. Basah, Tegang, bukan Tanggung Jawab Autor. Menceritakan seorang pria tampan, bekerja sebagai sopir, hingga akhirnya, seorang majikan dan anaknya terlibat perang diatas ranjang.