"Pak, bertahanlah. Kami sudah hampir sampai rumah sakit," suara paramedis menembus lamunannya.
Bertahan? Untuk apa?
Semua sudah berakhir.
Safira-satu-satunya wanita yang ia cintai-telah pergi.
Dirga tidak ingat bagaimana kecelakaan itu terjadi. Hanya ada rem mendadak, suara benturan keras, kaca mobil pecah, lalu jeritan Safira yang menggema di telinganya. Setelah itu, semuanya gelap.
Saat ia sadar, tubuhnya hanya mengalami luka ringan, tetapi Safira... tidak seberuntung itu.
Dan bayi mereka-anak yang begitu dinantikan oleh istrinya-masih berada di dalam kandungan wanita itu, bertahan dalam keheningan yang mengerikan.
Tiga jam kemudian, Rumah Sakit Brawijaya
"Dia kehilangan terlalu banyak darah..."
"Saat ini kami hanya bisa menyelamatkan bayinya..."
"Kami mohon persetujuan operasi caesar segera."
Kata-kata dokter itu mengguncang Dirga, tetapi tubuhnya tidak bergerak. Ia berdiri di luar ruang operasi, tangannya terkepal, matanya memerah.
Orang tua Safira menangis tersedu-sedu di sudut ruangan, sementara ibu Dirga, Diah Mahendra, menggenggam tangannya erat.
"Dirga, tolong... izinkan mereka menyelamatkan cucu kita," suara ibunya bergetar.
Cucu?
Dirga ingin tertawa.
Dia tidak ingin bayi itu.
Bayi itu adalah alasan kenapa Safira berada dalam keadaan lemah. Bayi itu adalah alasan kenapa istrinya harus berjuang dengan nyawanya sendiri.
Namun, pada akhirnya, ia tetap menandatangani surat persetujuan operasi.
Dua jam setelahnya, suara tangisan bayi menggema di lorong rumah sakit. Tangisan yang nyaring, hidup, dan penuh harapan.
Tetapi Dirga tidak ingin mendengar.
Karena pada saat yang sama, dokter keluar dari ruang operasi dengan wajah penuh duka.
"Saya turut berduka, Tuan Dirga... Kami sudah berusaha semaksimal mungkin."
Safira telah tiada.
Dan bayi itu...
Bayi yang lahir dari nyawa istrinya, kini tergeletak di inkubator, menangis tanpa henti.
Tetapi Dirga tidak bergerak untuk mendekatinya.
Tidak sedetik pun.
Satu tahun kemudian
Rumah besar keluarga Mahendra terasa lebih sunyi dari biasanya. Dirga jarang pulang ke rumah utama, memilih tenggelam dalam pekerjaannya untuk menghindari kenyataan yang tidak ingin ia hadapi.
Bayi yang ditinggalkan Safira telah tumbuh menjadi gadis kecil yang sehat dan ceria. Tetapi, sejak hari kelahirannya, Dirga tidak pernah sekalipun menggendong atau melihat anak itu lebih dari sekadar tatapan sekilas.
Putrinya memiliki mata yang sama dengan Safira-dan itu semakin menghantui dirinya.
Melihat anak itu sama saja dengan mengingat kesalahan terbesarnya.
Orang tua Dirga, yang prihatin dengan kondisi cucu mereka, akhirnya mencari seseorang untuk merawat bayi tersebut. Mereka menghubungi berbagai agen pengasuh, hingga akhirnya menemukan satu kandidat yang mereka rasa tepat.
Dan hari ini, perempuan itu akan datang untuk pertama kalinya.
"Dirga, setidaknya berikan kesempatan pada pengasuh ini," kata Diah, ibunya, dengan nada lembut. "Kamu tidak bisa terus mengabaikan putrimu."
Dirga tidak menjawab. Ia hanya berdiri di dekat jendela, menatap langit yang mulai mendung.
Kemudian, bel rumah berbunyi.
Seorang wanita muda melangkah masuk dengan percaya diri, membawa tas di tangannya.
Saat mata mereka bertemu, dunia seakan berhenti berputar.
Dirga terdiam, wajahnya menegang.
Perempuan itu-pengasuh yang direkrut untuk merawat putrinya-bukan orang asing.
Dia adalah Keysha Adinata.
Mantan kekasihnya.
Wanita yang pernah ia cintai sebelum Safira.
Wanita yang dulu ia tinggalkan karena tuduhan perselingkuhan yang hingga kini masih membakar amarah di dadanya.
Keysha menatapnya tanpa ekspresi, seolah mereka adalah dua orang asing.
Tetapi Dirga tahu, takdir sedang memainkan permainan yang kejam.
Karena di antara semua orang di dunia...
Kenapa harus dia?