Di atas ranjang yang biasa menjadi tempat mereka berbincang dan merajut masa depan, Ardi tengah bercumbu dengan seorang wanita. Bukan wanita asing. Melainkan Nadine-sepupu yang sudah Nayla anggap sebagai saudara kandungnya sendiri.
Darahnya seakan berhenti mengalir. Jantungnya mencelos saat mendengar suara tawa kecil Nadine, disusul dengan bisikan manja, "Bagaimana jika Nayla tahu?"
Ardi justru terkekeh tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Dia terlalu bodoh untuk menyadari ini. Lagipula, aku hanya bertunangan dengannya demi perusahaannya."
Sesuatu dalam diri Nayla hancur seketika. Tangannya yang masih menggenggam kotak hadiah mulai gemetar. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Kotak kecil itu jatuh ke lantai, menciptakan suara yang akhirnya membuat pasangan pengkhianat itu tersentak.
"Nayla..." Ardi tergagap, matanya melebar saat menyadari kehadiran tunangannya di ambang pintu.
Namun, Nayla tak ingin mendengar alasan atau kebohongan lain. Dengan tatapan kosong, ia berbalik dan berlari keluar. Hujan turun deras saat ia berlari menuju mobilnya, air mata bercampur dengan air hujan, tetapi hatinya terlalu hancur untuk peduli.
Saat ia menginjak pedal gas, pikirannya dipenuhi dengan satu hal: aku harus pulang... ke rumah.
Namun, saat ia tiba, pemandangan yang menyambutnya justru jauh lebih buruk dari yang ia bayangkan.
Rumah keluarganya yang besar dan megah kini dipenuhi cahaya lampu merah-biru polisi. Orang-orang berkerumun di depan pagar, wajah mereka penuh ketakutan dan bisik-bisik ngeri terdengar di antara gemuruh hujan.
Nayla bergegas keluar dari mobil dan menerobos masuk. Namun, langkahnya terhenti saat melihat kedua orang tuanya-terbaring tak bernyawa di lantai ruang tamu, tubuh mereka berlumuran darah.
Dunia Nayla yang sudah retak kini benar-benar runtuh.
Ia tidak tahu bagaimana ia bisa melarikan diri malam itu. Yang ia ingat hanyalah suara polisi yang berusaha menenangkannya, wajah-wajah asing yang menatapnya dengan kasihan, dan suara seorang detektif yang berkata, "Hanya dia satu-satunya saksi."
Namun, Nayla tahu lebih baik. Jika seseorang telah membunuh orang tuanya, maka mereka juga akan memburunya. Dan ketakutannya menjadi kenyataan saat, keesokan harinya, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya:
"Kau seharusnya mati bersama mereka."
Nayla tidak berpikir dua kali. Ia mengambil tasnya, mengambil semua uang tunai yang ia miliki, dan berlari tanpa tujuan.
Selama tiga hari, ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menghindari setiap wajah asing yang tampak mencurigakan. Namun, pada akhirnya, tubuhnya menyerah. Lelah, lapar, dan syok yang belum reda membuatnya kehilangan fokus.
Ia bahkan tidak melihat mobil hitam yang melaju kencang ke arahnya.
Ketika ia membuka mata, tubuhnya terasa berat, kepalanya pening. Ruangan asing menyambutnya, dengan aroma kayu dan parfum maskulin yang samar-samar tercium.
Seseorang duduk di kursi dekat ranjangnya-seorang pria dengan rambut hitam yang sedikit berantakan, tatapan tajam yang menusuk, dan ekspresi dingin yang tak bisa dibaca.
"Siapa namamu?" Suaranya berat dan datar.
Panik mulai menyelinap di dada Nayla. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Jika orang yang membunuh orang tuanya masih mencarinya, maka ia tidak boleh mempercayai siapa pun.
Maka, dengan suara lemah, ia berbohong.
"Namaku... Dinda."
Pria itu menyipitkan matanya, seolah tahu ia sedang berbohong. Namun, ia tidak berkata apa-apa.
Ia hanya menatap Nayla-atau Dinda, seperti yang baru saja ia katakan-dengan cara yang membuat bulu kuduknya meremang.
Dan tanpa ia sadari, pertemuan ini akan mengubah hidupnya selamanya.