/0/23706/coverbig.jpg?v=a9e0ee62cd54e38e7293f9d954e1df4a)
Langkah Olivia terasa berat saat ia menyusuri trotoar dengan map coklat yang mulai lecek di tangannya. Matanya yang letih terus menelusuri setiap pos keamanan yang ia temui, berharap menemukan kesempatan kerja. "Permisi, Pak. Apakah ada lowongan di perusahaan ini?" tanyanya dengan suara lirih pada seorang satpam yang berjaga. Baru saja pria itu hendak menjawab, suara deru mesin halus menarik perhatiannya. Sebuah mobil hitam mengilap berhenti di depan gerbang utama. Dengan sigap, satpam itu segera meninggalkan Olivia dan bergegas membukakan gerbang. Dari dalam mobil, seorang pria melangkah keluar-tinggi, berwibawa, dengan aura yang membuat siapa pun menahan napas. Alexander Drake, pemilik perusahaan, bahkan tanpa sadar mengerutkan kening saat matanya menangkap sosok Olivia yang masih berdiri di dekat pos satpam. Tatapan mereka bertemu sekilas. Olivia segera menunduk, merasa tak pantas berada di tempat itu, sementara Alexander diam-diam mempertahankan pandangannya. Ada sesuatu pada gadis itu yang menarik perhatiannya-entah apa. Namun, tanpa kata, ia melangkah masuk ke gedung kantornya. Olivia menghela napas panjang, tak menyadari bahwa dalam hitungan detik, hidupnya akan berubah selamanya.
Olivia memandang kosong ke depan, langkahnya terhuyung-huyung di atas trotoar yang terbuat dari batu pualam. Sejak pagi tadi, perasaan cemasnya tidak juga mereda. Map coklat yang ia pegang terasa semakin berat, meskipun hanya berisi berkas lamaran kerja dan CV sederhana yang ia tulis dengan harapan tinggi. Kaki-kaki sepatu bututnya melangkah lambat, sesekali menginjakkan telapak kaki yang terasa lelah di jalanan kota yang sibuk. Di tengah hiruk-pikuk jalanan ini, dunia tampak begitu luas dan tak terjangkau.
Ia melirik ke kiri, melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang, mencerminkan dunia yang berbeda. Dunia yang penuh kemewahan dan kekuasaan. Olivia sendiri berasal dari keluarga biasa. Keluarganya tidak pernah bisa memberikan apa yang ia impikan-pendidikan yang layak, kehidupan yang nyaman, atau bahkan peluang untuk mengejar impian yang lebih besar. Namun, ia memiliki tekad yang kuat, dan itu yang membuatnya terus berjalan meskipun tubuhnya lelah.
"Berapa banyak lagi yang harus aku coba?" gumamnya pelan, matanya menatap langkahnya sendiri yang terasa begitu berat.
Ia berhenti sebentar di dekat sebuah kafe, mengatur napas. Wajahnya yang cantik namun lelah dipenuhi dengan garis-garis keletihan yang tak bisa disembunyikan. Rambut hitamnya yang semula terikat rapi kini sudah terlepas sedikit, beberapa helai rambut menempel di wajahnya yang basah oleh keringat. Matanya yang biasanya cerah kini tampak kusam, refleksi dari perjuangan yang tak pernah berhenti.
Olivia selalu merasa dirinya berlari mengejar sesuatu yang tak pernah bisa dijangkaunya. Pekerjaan. Uang. Kehidupan yang lebih baik. Semuanya terasa seperti mimpi yang sulit diraih.
Dengan sebuah napas berat, ia melanjutkan perjalanannya. Langkahnya membawanya ke jalan yang tidak terlalu ramai, tepat di depan sebuah gedung perkantoran yang cukup besar. Di depan gerbang utama, ada pos penjaga yang biasanya dijaga oleh dua satpam. Mungkin ini adalah kesempatan terakhirnya, pikirnya. Jika kali ini pun gagal, ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
Ia menatap map coklat di tangannya, berisi berkas yang ia harap bisa mengubah nasibnya. Meskipun hanya perusahaan kecil, setiap kesempatan yang datang adalah peluang emas yang tidak boleh dilewatkan.
"Permisi, Pak. Apakah ada lowongan di perusahaan ini?" suara Olivia sedikit bergetar, meskipun ia berusaha menyembunyikan kecemasannya. Satpam yang duduk di pos itu menoleh dengan tatapan bingung.
"Lowongan kerja, ya?" Satpam itu menatap Olivia sebentar, sepertinya sedang berpikir. "Sebaiknya kamu langsung ke bagian HRD, di dalam gedung sana," jawabnya sambil menunjukkan arah dengan tangan.
Olivia mengangguk, berterima kasih dengan tulus. Namun, baru saja ia hendak berbalik, suara deru mesin mobil yang halus mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh, melihat sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depan pos penjagaan.
Mobil itu begitu mencolok-berkilau seperti permata, dengan desain elegan yang tidak bisa disangkal lagi. Olivia memandangnya dengan rasa kagum yang tertahan, meskipun ia tahu mobil seperti itu bukan untuk orang sepertinya. Dengan cepat, satpam yang tadinya berbicara dengannya berdiri tegak, lalu bergegas membuka gerbang dengan sigap.
"Ada apa, Pak?" tanya Olivia, sedikit bingung dengan sikap mendadak satpam itu.
"Maaf, Miss, saya harus membuka gerbang," jawab satpam itu sambil memberi isyarat agar Olivia menunggu. "Ini Bos dari perusahaan," tambahnya, tampaknya tidak berniat memberikan penjelasan lebih lanjut.
Saat satpam membuka gerbang, sebuah sosok tinggi keluar dari mobil tersebut. Olivia hanya bisa menatap sekilas-seorang pria dengan aura yang kuat dan tegap. Ia mengenakan jas hitam dengan ikatan dasi rapi, terlihat sangat sempurna dalam setiap langkahnya. Namun, yang paling menarik perhatian Olivia bukan hanya penampilannya yang sangat tampan, tetapi juga cara ia bergerak-dengan kepastian dan kekuatan yang bisa dirasakan oleh siapa pun yang ada di sekitarnya.
Pria itu melangkah menuju gedung, tanpa menyadari ada seorang gadis muda yang hanya bisa mengamati dari kejauhan. Namun, ketika ia melewati pos satpam, matanya secara tidak sengaja bertemu dengan mata Olivia. Hanya dalam hitungan detik, dunia terasa berhenti. Ada sesuatu dalam tatapan itu-sesuatu yang sulit dijelaskan, seperti sebuah koneksi yang tak terucapkan.
Olivia merasa seperti disambar petir, tubuhnya kaku sejenak. Namun, ia segera mengalihkan pandangan, merasa canggung dan tidak pantas berada di sana. Matanya menatap tanah, berusaha menghindari perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Dalam sekejap, pria itu sudah memasuki gedung, meninggalkan Olivia yang masih berdiri di sana.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Apa yang sedang aku pikirkan?" pikirnya dalam hati, merasa tidak percaya pada dirinya sendiri. Tidak mungkin pria seperti itu memperhatikan seseorang sepertinya.
Dengan langkah yang sedikit terhuyung, Olivia kembali berbalik, dan tanpa berpikir panjang, ia melanjutkan langkahnya menuju pintu masuk gedung. Hari ini mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkannya, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti mencoba.
Namun, ada satu hal yang membuatnya tidak bisa mengusir perasaan itu: sekejap tadi, pria itu melihatnya. Dan dalam tatapan itu, ia merasa seolah-olah dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan keputusasaan ini mungkin bisa sedikit berbeda. Tapi hanya sedikit, dan itu cukup membuat hatinya berdebar kencang.
Lilith bukan wanita biasa. Saat malam datang, ia menjalani kehidupan yang tak pernah ia inginkan-bukan karena pilihan, melainkan karena keadaan yang memaksanya. Dunia tidak pernah berpihak padanya, dan ia pun berhenti berharap. Ibunya, Margaret, selalu menundukkan kepala, malu dengan jalan hidup yang kini ditempuh putrinya. Ayahnya, Henry, memilih untuk diam, seolah keberadaannya pun tak lagi berarti. Keluarga yang hancur, kepercayaan yang rapuh-Lilith terjebak dalam lingkaran yang bahkan tidak pernah ia rancang. Namun, ada sesuatu dalam kegelapan malam yang membuatnya tetap bertahan. Kebebasan. Kendali. Saat cahaya redup dan dunia terlelap, Lilith menemukan ketenangan di antara bayang-bayang dosa. Sejenak, ia bisa melupakan semua luka yang ditorehkan oleh hidup yang kejam. Tapi sampai kapan? Bisakah Lilith menemukan jalan keluar dari kehidupan yang terus menyeretnya ke jurang yang lebih dalam? Ataukah ia akan menyadari bahwa gelapnya malam telah menjadi bagian dari dirinya selamanya?
Celeste terpaksa menikah dengan pria yang dipilih keluarganya, seorang pengusaha berpengaruh bernama Dominic Mercer. Namun, pernikahan itu menjadi mimpi buruk ketika Celeste menyadari bahwa Dominic adalah ayah kandung dari pria yang telah menjadi kekasih rahasianya selama tiga tahun terakhir-Adrian Mercer. Terjebak dalam pernikahan yang dingin dan dipenuhi rahasia, Celeste dihadapkan pada pilihan sulit. Haruskah ia mengungkap kebenaran pada suaminya dan menghancurkan keluarganya? Ataukah Adrian yang akan menyerah dan merelakan wanita yang selama ini ia cintai? Sementara itu, Dominic bukan pria yang bisa dikhianati begitu saja. Jika kebenaran terungkap, Celeste dan Adrian mungkin akan menghadapi konsekuensi yang jauh lebih kelam dari yang mereka bayangkan.
Di malam yang gelap dan tenang, suasana pesantren itu sepi. Hanya suara desiran angin yang terdengar di antara tembok-temboknya. Di satu sisi pesantren, seorang wanita muda dengan wajah penuh kemarahan dan tekad, melompat ke arah tembok tinggi. Namanya adalah Alina, seorang gadis dari keluarga kaya yang merasa tertekan dengan kehidupan barunya di pesantren.
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Naya Agustin, "aku mencintaimu, tapi cintamu untuknya. Aku istrimu, tapi kenapa yang memberi segalanya ayah mertuaku?" Kendra Darmawan, "kau Istriku, tapi ayahmu musuhku. Aku mencintamu, tapi sayang dosa ayahmu tak bisa kumaafkan." Rendi Darmawan, "Jangan pedulikan suamimu, agar aman dalam dekapanku."
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”