Lilith menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang dingin menusuk paru-parunya. Angin di Manhattan selalu membawa aroma yang sama-campuran aspal basah, alkohol, dan dosa yang mengendap di sudut-sudut kota yang tak pernah tidur. Ia berdiri di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip, menyesap udara dengan getir sebelum melangkah ke dalam dunia yang telah menjadi realitasnya.
Rok mini hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, sedangkan tumit tingginya mengetuk trotoar dengan ritme yang sudah terlalu akrab di telinganya. Rambut cokelat keemasannya menjuntai, bergelombang sempurna seperti yang diinginkan para pria yang datang mencari hiburan di tengah malam. Wajahnya tak menunjukkan emosi-sebuah topeng yang sudah lama ia kenakan.
Bar tempatnya biasa bekerja sudah mulai ramai. Musik berdentum keras, cahaya merah kebiruan berkelap-kelip di antara meja-meja yang dipenuhi pria-pria berjas mahal dan wanita-wanita dengan senyum penuh tipuan. Lilith melangkah masuk, menyapa dengan anggukan singkat beberapa wanita lain yang sudah lebih dulu ada di sana.
"Akhirnya datang juga," suara berat pria di balik bar menyapanya. Jonathan, pemilik tempat ini-pria paruh baya dengan wajah kasar dan mata tajam yang selalu mengawasi. "Kupikir kau tidak akan muncul malam ini."
Lilith hanya tersenyum kecil. "Aku tak punya pilihan."
Jonathan tertawa pendek. "Kita semua tak punya pilihan."
Ia berjalan ke belakang panggung kecil di sudut ruangan, tempat di mana ia akan memulai perannya malam ini. Panggung itu bukan sekadar tempatnya menari atau menghibur pria-pria yang kehausan akan perhatian. Itu adalah panggung di mana ia menanggalkan identitas aslinya, menenggelamkan dirinya dalam sosok yang hanya ada saat malam tiba.
Seorang pria duduk di meja dekat panggung, matanya tak lepas dari Lilith. Ia mengenakan setelan mahal, dasinya sedikit longgar, dan gelas whisky di tangannya berembun. Sorot matanya tajam, tapi ada sesuatu di baliknya-bukan sekadar nafsu murahan seperti kebanyakan pria yang datang ke tempat ini.
Lilith tahu betul tipe pria seperti dia. Pria yang datang bukan hanya untuk mencari hiburan sesaat, tapi juga pelarian dari hidup yang mereka benci.
Musik berubah. Lampu sorot menyorot ke arahnya. Inilah saatnya. Lilith tersenyum samar, lalu melangkah ke tengah panggung.
Malam baru saja dimulai.