Hari itu terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Hujan turun deras, membuat jalanan di luar tampak kabur dan suram. Alesha memutuskan untuk membersihkan ruang tamu, berharap tugasnya malam ini akan cepat selesai agar ia bisa segera pulang. Namun, nasib berkata lain.
"Alesha!" suara keras dari dalam rumah membuatnya terkejut. Itu adalah suara Reiner Arsanta, putra tunggal keluarga kaya itu. Alesha menoleh dengan gugup, mencoba menenangkan diri. Reiner sering tampak begitu tenang dan berwibawa, tapi malam itu, dia datang dengan wajah yang jauh berbeda-rambut acak-acakan, mata yang merah, dan langkahnya goyah.
"Alesha," ucapnya lagi, kali ini suaranya serak, hampir seperti berbisik. "Aku butuh kamu."
Alesha merasa ada yang tidak beres. Reiner, yang selalu tampak penuh percaya diri, kini terlihat rapuh. Sebelum bisa berkata-kata, dia sudah berada di hadapannya, terlalu dekat. Alesha mundur sedikit, takut. "Tuan... ada apa? Anda tampak..."
"Aku... aku baru saja dikhianati," Reiner berkata, suaranya bergetar. "Kekasihku menikah dengan sahabatku. Semuanya hancur. Semua yang aku percayai..."
Alesha merasa cemas. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, ia mencoba berkata dengan lembut, "Tuan, Anda harus tenang. Mungkin Anda perlu beristirahat dulu..."
Namun, kata-kata Alesha tak bisa menghentikan amarah yang sudah lama terpendam dalam diri Reiner. Dalam keadaan mabuk, dia tampaknya tak bisa mengendalikan dirinya. Tanpa peringatan, dia mendekati Alesha dengan gerakan yang begitu cepat. Alesha tidak punya waktu untuk melangkah mundur. Segalanya terjadi begitu cepat. Dalam semalam, dunia Alesha berubah.
Beberapa bulan kemudian...
Alesha duduk di kursi tua di ruang tamu rumah kakek-neneknya, memegang perutnya yang mulai membesar. Air matanya menetes, dan dia merasakan kekosongan yang begitu dalam. Kehidupan yang ia bangun selama ini rasanya sudah hancur. Semua rasa takut, malu, dan bingung bercampur aduk.
"Alesha?" suara lembut dari Neneknya membuatnya terkejut. "Kau baik-baik saja?"
Alesha mengangguk pelan, meski hatinya terasa berat. Neneknya duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian. "Alesha, apa yang sebenarnya terjadi? Kau terlihat begitu terpuruk belakangan ini."
Alesha menghela napas panjang. "Nenek, aku... hamil. Dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak ingin membawa ini ke dalam hidup keluarga kita. Tapi aku juga tidak bisa mengubah kenyataan."
Nenek Alesha meraih tangannya dengan lembut. "Kau tidak perlu menanggung ini sendirian. Kakek dan nenek akan selalu ada untukmu. Tapi... apakah kamu tahu siapa yang bertanggung jawab?"
Alesha menunduk, suaranya serak. "Reiner... Dia, dia yang melakukannya. Tapi aku tidak tahu apakah dia ingat atau tidak. Dia dalam keadaan mabuk waktu itu. Aku tidak tahu harus menghadapinya bagaimana."
Nenek Alesha menghela napas panjang. "Kamu harus memutuskan, Alesha. Apakah kamu ingin menuntut pertanggungjawaban darinya? Atau apakah kamu akan menjalani hidup ini sendiri? Jangan biarkan orang lain menentukan jalan hidupmu."
Alesha terdiam. Hatinya berat. Di satu sisi, dia ingin mendapatkan keadilan. Di sisi lain, dia tidak tahu apakah Reiner akan peduli, apalagi setelah semua yang telah terjadi.
Sementara itu, di sisi lain kota, Reiner Arsanta duduk termenung di ruang kerjanya yang mewah, menatap foto kekasihnya yang sekarang menjadi istri sahabatnya. Rasa sakit itu masih menggerogoti hatinya. Namun, tak lama kemudian, pikirannya terganggu oleh sebuah pesan yang muncul di layar ponselnya-sebuah foto yang membuat jantungnya berhenti sejenak.
"Alesha..." bisiknya pelan.
Apakah ini mungkin? Apakah anak itu benar-benar miliknya?
Alesha, satu-satunya pilihan yang ada padanya, kini tak hanya berkutat dengan rasa sakit dari masa lalu, tapi juga dengan keputusan besar yang harus diambil.