Di dunia yang serba cepat ini, setiap hari adalah perjuangan, dan Liana sudah lelah. Berpindah-pindah tempat tinggal adalah rutinitas yang tak terhindarkan, seperti sebuah takdir yang selalu membuntutinya. Dia harus bertahan hidup, dan itu berarti mencari cara untuk menyelesaikan masalah sewa yang tak terbayar.
"Aku harus bisa bertahan," gumamnya pelan, berusaha menenangkan diri. Tangannya meraih tas kecil di samping tempat tidurnya. Hanya beberapa lembar pakaian dan barang-barang pribadi yang dia bawa ke tempat ini. Sebuah perjalanan yang tak berujung-selalu berpindah, tak pernah memiliki tempat yang benar-benar bisa disebut rumah.
Pekerjaan apa pun yang bisa menghasilkan uang, akan dia ambil. Mulai dari menjadi pelayan restoran hingga pekerjaan paruh waktu di kedai kopi, semuanya sudah pernah dijalani. Bahkan, dia terpaksa menjadi pacar kontrak untuk pria-pria kesepian yang menawarkan uang hanya untuk menemani mereka makan malam atau pergi ke acara sosial.
"Tidak ada yang peduli, Liana. Hanya uang yang penting," pikirnya. Di kota besar ini, hanya ada satu aturan: bertahan atau tersingkir. Dan dia sudah terbiasa dengan kenyataan itu.
Hari itu, Liana merasa lelah sekali. Matahari yang terik dan jalanan kota yang penuh hiruk-pikuk membuatnya semakin merasa kecil. Dengan langkah pelan, ia menuju kedai kopi tempatnya bekerja, namun ada sesuatu yang menghalangi langkahnya. Di depan kost yang selama ini dia tempati, sebuah mobil hitam yang tampak mewah berhenti. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria dengan penampilan rapi melangkah keluar.
Pria itu menatapnya sekilas, lalu berjalan menuju pintu kost. Liana sempat terpaku, mengenali pria tersebut. Arsen, pemilik kost yang tinggal di lantai paling atas-seorang pria yang dikenal tegas dan tidak banyak bicara. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mungkin hanya perasaan Liana, atau mungkin memang ada sesuatu yang tak bisa dia jelaskan.
"Kenapa dia ke sini?" Liana bergumam, matanya mengikuti langkah pria itu.
Di dalam kost, suasana berubah tegang begitu Arsen memasuki ruang utama. Liana tahu, ini pasti bukan kebetulan. Seperti biasanya, dia harus menghadapi kenyataan bahwa masalah yang satu selesai, tapi yang lain selalu datang.
Setelah beberapa saat, Arsen muncul dari ruangannya dan melihat Liana yang tengah duduk di kursi dekat pintu. Matanya tajam, penuh tanda tanya. "Liana, kamu harus bicara dengan saya," katanya, nada suaranya tak terlalu keras namun penuh tekanan.
Liana mengerutkan kening. "Apa yang harus saya bicarakan, Tuan Arsen?" jawabnya dengan hati-hati, meskipun dalam hatinya, rasa cemas mulai membayangi.
Arsen memandangnya, lalu duduk di kursi di depannya. "Tunggu, kita bicara dengan jelas. Saya tahu masalah kamu dengan sewa kost." Liana terdiam, tak tahu harus berkata apa. "Kamu sudah lama tidak bayar, Liana. Ini bukan sekadar masalah uang," lanjut Arsen.
Liana menundukkan kepala, merasa malu dan terpojok. "Saya berusaha mencari uang, Tuan, tapi semuanya tidak berjalan seperti yang saya harapkan," jawabnya, suara sedikit gemetar.
Arsen menghela napas panjang. "Saya tidak ingin menjadi orang yang memperparah keadaanmu. Tapi, ada hal lain yang perlu kita bicarakan." Matanya menatap tajam, seolah menunggu reaksi dari Liana. "Kamu akan tinggal di sini, bersama saya."
Liana terkejut. "Apa maksud Anda?" tanya Liana dengan suara tercekat, meskipun jantungnya berdegup kencang. Arsen tidak menjawab langsung, melainkan hanya tersenyum dingin. "Tunggu, kamu akan tahu nanti," ujarnya.
Liana merasa ada sesuatu yang tak beres, tapi entah kenapa, dia tak bisa menarik diri. Ada tarikan aneh di dalam dirinya yang membuatnya ingin tahu lebih jauh. Apa yang sebenarnya Arsen inginkan darinya? Apakah ini hanya masalah sewa, atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini?
Keputusan yang diambilnya pada malam itu akan mengubah segalanya. Dan dia tak tahu apakah itu keputusan terbaik atau justru kesalahan terbesar dalam hidupnya. Tapi, satu hal yang pasti, hidupnya tak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Arsen.