Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Lelah ku mencintaimu
Lelah ku mencintaimu

Lelah ku mencintaimu

5.0
25 Bab
1.4K Penayangan
Baca Sekarang

Aku bernama Maya, aku mencintai seorang laki-laki bernama Dimas dalam diam dan sendiri. Sampai suatu ketika orang tuaku ingin menjodohkan aku dengan anak dari teman kerja ayahku. Ternyata anak dari teman ayahku itu adalah Dimas. Sungguh aku sangat bahagia sekali karena tanpa berusaha aku sudah mendapatkannya. Tapi tidak dengan Dimas karena dia sudah mempunyai kekasih hati. Apakah Dimas mau dijodohkan dengan ku? Apakah aku dan Dimas bisa bersama sesuai dengan keinginan ku?

Konten

Bab 1 Diam-diam Suka

Namaku Maya.

Aku bukan siapa-siapa di kampus ini. Hanya mahasiswi biasa dengan dunia kecil yang kutempati bersama buku, catatan, dan kopi sachet yang kuminum di sudut perpustakaan. Aku tak pandai bersosialisasi, tak menonjol, dan lebih nyaman memerhatikan dunia dari kejauhan.

Lalu ada Dimas.

Namanya saja sudah sering terdengar di aula, di kantin, di mading organisasi. Dia seperti magnet yang menarik perhatian semua orang. Tampan, cerdas, dan selalu tahu cara membuat orang tertawa. Dimas bukan hanya populer, dia juga seolah tak memiliki celah. Mahasiswa teladan, pemain basket kampus, dan entah bagaimana, selalu tampak ramah pada siapa saja.

Termasuk aku.

Kadang dia menyapaku saat kami berpapasan di lorong. "Hai, Maya."

Itu saja cukup untuk membuat detak jantungku melompat tak karuan.

Tapi aku tahu, dunia kami terlalu berbeda.

Dia cahaya terang. Aku hanya bayang-bayang yang bersembunyi di balik rak buku perpustakaan.

Tak banyak yang tahu bahwa diam-diam, aku mencintainya. Cinta yang tak pernah berani kutunjukkan. Tak pernah kuucap. Aku hanya mengaguminya dari jauh-saat dia tertawa dengan teman-temannya, saat dia berdiri di depan kelas memberi presentasi, atau saat dia menunduk membaca buku di taman kampus.

Kadang aku menulis namanya di pojok catatan, seolah itu bisa membuatnya nyata dalam hidupku. Tapi kenyataannya, aku bukan siapa-siapa baginya. Bukan seperti gadis-gadis yang terang-terangan menggoda dan menarik perhatiannya.

Aku hanya Maya. Gadis pendiam yang duduk di bangku paling belakang.

Namun hari itu berbeda.

Saat aku duduk sendirian di perpustakaan, tenggelam dalam buku, seseorang menarik kursi di depanku.

Dimas.

"Perpustakaan selalu sepi ya kalau udah sore," katanya, menatapku dengan senyum hangat.

Aku hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata.

"Aku sering lihat kamu di sini," lanjutnya. "Kamu suka baca, ya?"

Aku mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit senyum. Dalam hati aku bertanya, apakah mungkin... dia memperhatikanku?

Dia tak mengatakan hal lebih lanjut, hanya membaca bukunya dalam diam bersamaku. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti dunia berhenti berputar sejenak. Mungkin dia tak akan pernah tahu perasaanku. Mungkin aku tak akan pernah cukup berani mengatakannya.

Tapi hari itu, duduk di hadapannya, untuk pertama kalinya aku merasa cukup.

Diam-diam mencintai tak selalu menyakitkan. Kadang, ia hanya butuh sedikit ruang untuk tumbuh walau hanya dalam diam.

***

Sejak hari itu, Dimas beberapa kali duduk bersamaku di perpustakaan. Awalnya aku pikir itu kebetulan, tapi semakin lama... rasanya terlalu sering untuk disebut kebetulan.

"Aku suka suasana tenang," katanya suatu sore, sambil membuka laptopnya di meja tempat aku biasa duduk. "Dan kamu, Maya... kamu tenang. Kayak tempat ini."

Aku menunduk, pura-pura membaca ulang baris yang sama di buku, padahal otakku berhenti bekerja.

Aku? Tenang?

Mungkin dia tidak tahu, bahwa dalam diriku sedang terjadi badai yang sulit kupadamkan. Kehadirannya saja sudah cukup membuatku gugup, apalagi ketika ia mulai membuka percakapan kecil.

"Kamu jurusan Sastra, ya?" tanyanya sekali waktu.

Aku mengangguk. "Iya..."

Dia tersenyum. "Aku sering lihat kamu baca novel. Rekomendasi dong, yang bisa bikin mikir tapi juga bikin baper."

Aku mengerjapkan mata, kaget karena dia begitu tertarik.

Akhirnya aku memberanikan diri merekomendasikan satu judul. Novel kesukaanku. Novel yang diam-diam pernah kubayangkan aku dan dia jadi tokohnya.

Dan sejak saat itu, dia mulai meminjam buku dari daftar yang kuberi. Kadang dia datang hanya untuk bertanya, kadang untuk diskusi kecil, kadang... hanya untuk duduk bersamaku dalam diam.

Satu-satunya yang tetap sama adalah aku. Tetap diam.

Tak pernah mengungkapkan apa yang sesungguhnya kurasa. Bahkan ketika senyumnya seperti musim semi yang datang setelah musim dingin panjang. Bahkan ketika aku tahu, aku makin tersesat dalam rasa yang tak berani kurawat.

Lalu datang hari ketika aku melihatnya bersama perempuan lain.

Namanya Nadine. Cantik, percaya diri, dan tentu saja-terkenal. Mereka tertawa bersama di koridor kampus. Nadine menepuk bahu Dimas, dan Dimas tak menolak. Mereka terlihat dekat. Terlalu dekat.

Seketika aku merasa kecil. Sangat kecil.

Aku pulang lebih awal hari itu. Tak ke perpustakaan. Tak membuka buku. Tak menyentuh catatan. Hanya duduk di kamar kos, menatap langit-langit yang seolah tak pernah menjawab apa pun.

Apa aku terlalu berharap?

Mungkin aku memang hanya bagian kecil dari harinya. Mungkin dia hanya senang punya teman tenang yang bisa diajak berbagi bacaan, bukan hati.

Tapi aku tetap datang ke perpustakaan keesokan harinya.

Dan dia tetap duduk di hadapanku, seperti biasa.

Namun kali ini, aku menyembunyikan satu hal yang tak bisa ku baca di buku mana pun yaitu perasaan kehilangan yang belum sempat benar-benar kumiliki.

***

Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca.

Aku masih duduk di tempat yang sama di perpustakaan, membuka halaman demi halaman buku yang bahkan tak benar-benar kubaca. Tapi setiap kali Dimas datang dan duduk di hadapanku, aku kembali membentuk senyum kecil yang tidak sepenuhnya utuh.

"Novel yang kemarin, keren banget, May," katanya sambil menyesap kopi kaleng. "Ending-nya... bikin nyesek, ya."

Aku mengangguk pelan. "Kadang yang nyesek justru yang paling nyata," ucapku lirih, mungkin terlalu lirih untuk ia dengar.

Tapi Dimas menatapku sejenak, seolah sedang menerjemahkan sesuatu yang lebih dari sekadar kalimat.

Namun sebelum aku bisa membaca makna dari tatapan itu, suara notifikasi dari ponselnya berbunyi. Ia melihat layarnya, lalu tersenyum.

"Nadine ngajak ketemu sebentar. Dia lagi nunggu di kantin." Ia berdiri, dan menepuk ringan meja. "Nanti aku balik lagi, ya."

Aku hanya bisa mengangguk.

Lalu dia pergi membawa sebagian dari detak jantungku bersamanya.

Aku membenci kenyataan bahwa aku selalu menunggu. Menunggu dia datang, menunggu dia duduk, menunggu percakapan kecil yang tak pernah membahas tentang kami. Karena kami... memang tidak pernah ada.

Kadang aku bertanya pada diri sendiri, sejak kapan aku sepenuh ini mencintainya?

Apa sejak senyumnya pertama kali menyapa namaku? Atau sejak dia berkata aku adalah tempat yang tenang? Atau sejak aku mulai menaruh harapan dalam diam yang tak pernah ia tahu?

Malam itu, aku tak bisa tidur.

Ku pandangi layar ponselku, jari-jariku ragu membuka media sosial. Lalu kutemukan unggahan Nadine, foto mereka berdua di acara kampus semalam. Dimas terlihat bahagia, menatap kamera dengan senyum yang... bukan untukku.

Komentar-komentar mengalir.

"Cocok banget kalian!"

"Pasangan kampus!"

"Finally bareng juga!"

Aku menelan ludah. Pahit. Perih. Hampa.

Seketika aku merasa bodoh. Terlalu bodoh karena telah menjatuhkan hati pada seseorang yang tak pernah benar-benar kudekati. Terlalu bodoh karena membiarkan rasa tumbuh tanpa akar, tanpa tempat berlabuh.

Aku memejamkan mata.

Besok aku tak akan datang ke perpustakaan, batinku.

Besok, aku harus mulai belajar melepaskan. Bahkan kalau dia tidak pernah tahu aku mencintainya.

Tapi saat pagi datang, aku tetap berjalan ke kampus. Tetap melangkah ke perpustakaan. Tetap duduk di tempat yang sama.

Karena meskipun aku ingin berhenti, perasaanku tak pernah mengizinkannya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY