Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Surga di Balik Hijab Bu Nisa
Surga di Balik Hijab Bu Nisa

Surga di Balik Hijab Bu Nisa

5.0
3 Bab
405 Penayangan
Baca Sekarang

Khairunnisa, guru ngaji dan pendidik moral di pesantren modern, adalah janda 39 tahun yang ditinggal mati suaminya. Di balik hijabnya yang anggun dan suara lembut saat mengajarkan tauhid, ada tubuh dan jiwa yang lapar cinta-atau setidaknya, sentuhan. Pesantren tempatnya mengajar dipenuhi anak muda laki-laki penuh hormon, dan godaan muncul dari setiap celah: mulai dari anak-anak santri, guru muda, hingga anak kyai. Dalam diam, Bu Nisa menciptakan semacam "pengajian rahasia"-sesi malam yang membelok dari syariah menjadi syahwat.

Konten

Bab 1 Mukena Lembab dan Kenangan yang Membasahi

Malam turun perlahan seperti sajadah dibentang sunyi. Udara Yogyakarta yang biasanya hangat kini terasa basah, lembab, menggantung di langit-langit kamar Bu Nisa, seperti doa-doa yang tertunda naik ke langit karena terlalu berat membawa beban tubuh. Hujan belum turun, tapi aroma tanah sudah mengambang di udara, bercampur dengan aroma kapur barus dari lemari dan sisa parfum oudh di lipatan gamis.

Khairunnisa-dalam panggilan santri dan guru, Bu Nisa-baru saja menyelesaikan dzikirnya. Bibirnya masih menggumam pelan "astaghfirullah... astaghfirullah..." seperti orang yang baru saja menyesali sesuatu, meski tak tahu pasti apa. Atau pura-pura tak tahu. Mukena putihnya masih membalut tubuh semok itu, lembut tapi ketat di bagian dada karena terlalu sering dicuci namun enggan diganti.

Janda empat tahun. Usia 39. Masih elok. Terlalu elok, malah, untuk sekadar mengajar mengaji di pesantren kecil ini, di ujung Kabupaten Sleman. Wajah ovalnya bersih, tanpa bedak malam ini, tapi tetap merekah seperti bulan sabit yang tak pernah benar-benar hilang di langit hati lelaki. Bibirnya penuh, merah muda alami, dan selalu tampak basah seperti habis disesap diam-diam.

Bu Nisa berdiri menghadap cermin, menatap bayangannya sendiri.

"Kenapa masih begini, ya..." bisiknya lirih, entah ditujukan pada Tuhan, atau pada tubuhnya sendiri yang berdiri gagah di balik kain putih.

Tangannya bergerak pelan membuka mukena, dan saat kain itu meluncur ke lantai seperti air wudhu terakhir, tubuhnya berdiri telanjang hanya dalam lingerie satin tipis warna emas. Dadanya mengayun berat, putingnya menegang seperti ingin bicara, tapi ia diam. Perutnya ramping, pinggulnya lebar-postur ibu muda ideal yang bahkan gadis SMA tak bisa saingi.

Ia menatap tubuhnya lama. Lalu tertawa kecil, getir.

"Kata siapa wanita religius tak punya hasrat?"

Tangannya menyusuri garis leher, turun ke dada, menekan perlahan-bukan untuk syahwat, bukan untuk kenikmatan, tapi untuk mengingat bahwa dirinya masih hidup. Bahwa di balik semua hafalan ayat dan senyum ramah saat mengajar tauhid, ada yang masih mendesis panas, seperti bara di balik kerudung syar'i.

Lalu pikirannya melayang. Ke masa itu.

Suaminya-Almarhum Ustadz Hafidz-adalah lelaki yang alim dan sangat mencintai ilmu, tapi tidak tahu caranya mencintai tubuh istri. Selalu kaku, selalu takut dosa, selalu dengan baju tetap dikenakan. "Jangan lama-lama, Nisa. Malaikat sedang mencatat." Katanya, malam pertama dulu. Bahkan di malam terakhir sebelum ia meninggal karena stroke, suaminya hanya minta didoakan, bukan disentuh.

Semenjak itu, tubuh Bu Nisa jadi seperti kitab tua-tertutup, berdebu, tapi menyimpan ilmu paling sakti tentang kenikmatan yang belum sempat dibuka.

Tiap malam seperti ini, Bu Nisa mendekam dalam sepi yang mendesak dari sela-sela mukena dan kerudung panjang. Santri-santri sudah tidur. Aula pesantren sudah gelap. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus terjaga-seperti jin yang menolak masuk botol.

Tangannya turun perlahan ke perut bawah, lalu berhenti.

"Tidak malam ini..." bisiknya, walau ia tahu ia berbohong. Selalu begitu. Selalu.

Tapi malam ini ada yang berbeda. Ketukan pelan di jendela. Tok. Tok. Tok.

Tiga kali. Halus. Seperti kode.

Bu Nisa menggenggam dada, degup jantungnya tak seperti biasanya. Ia berjalan pelan ke jendela, membuka tirai renda, dan di luar... ada wajah.

Raka.

Santri senior. 19 tahun. Kulit sawo matang, mata galak, tapi tunduk padanya seperti anak kucing. Masih mengenakan sarung dan baju koko, tapi matanya menatap lekat seperti laki-laki yang sudah tahu bagaimana tubuh wanita bekerja.

Ia tak berkata apa-apa. Hanya menyodorkan buku catatan tafsir, dengan jari yang sedikit gemetar.

Bu Nisa membukakan jendela sedikit, menyelipkan tangannya untuk mengambil buku itu. Tangannya menyentuh tangan Raka-dingin, lembab, muda.

"Kenapa malam-malam begini, Raka?"

Raka menunduk sebentar, lalu menatap mata Bu Nisa.

"Saya mimpi buruk, Bu. Mimpi... tentang Ibu."

Deg.

Deg.

Deg.

Tubuh Bu Nisa seperti disengat. Ia menarik buku itu cepat, lalu menutup jendela, menyandarkan punggungnya ke dinding, napasnya tak beraturan.

Buku tafsir di tangannya ternyata kosong. Tak ada tulisan. Hanya satu kertas terlipat di dalamnya, dengan tulisan tangan Raka yang rapi:

"Maaf Bu, saya nggak bisa berhenti mikirin suara Ibu waktu ngajarin kami tentang surga. Ibu bilang di surga ada bidadari. Tapi saya cuma pengen satu: Ibu."

Mukena di lantai. Lingerie emas melekat di kulit yang mulai berkeringat. Bibirnya terbuka, lidahnya menjilat pelan ujung gigi.

"Ya Allah..."

Tapi malam itu, Allah diam. Hanya langit yang tahu, bahwa di balik kamar guru ngaji, surga sedang digambar ulang-dengan warna-warna yang tak ditemukan di dalam Al-Qur'an.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY