Dua hari lalu, dia muncul di acara gala rekanan vendor. Dasi longgar. Kemeja abu-abu. Lengan digulung. Tato samar menjulur dari bawah pergelangan tangan. Dan mata itu... mata yang sama seperti 12 tahun lalu-saat Nadira masih gadis SMA yang ditelanjangi di ruang audio sekolah dan membuat sprei kasur kost berbau cinta pertama yang lengket dan liar.
Sekarang, lelaki itu kembali.
Dan gila sialnya, Nadira langsung basah saat melihatnya.
________________________________________
Pintu kantor diketuk dua kali. "Bu Nadira, ada tamu interview posisi direktur pemasaran senior, sesuai jadwal."
Nadira merapikan blouse sutra biru langitnya, berdiri. Tumit hak tingginya berdetak pelan menuju pintu. "Silakan masuk," katanya, membuka daun pintu kaca besar.
Satu langkah keluar, lalu-
Deg.
Wajah itu. Senyum itu. Mata itu.
Reyhan.
Dengan sialan santainya, dia berdiri, menyodorkan tangan. "Selamat pagi... Bu CEO. Wah, beda ya, dari terakhir kali kita... ngapain ya waktu itu?" ujarnya lirih, seolah hanya mereka berdua yang ada di dunia.
Nadira terpaku, jantungnya menubruk tulang rusuk seperti kereta tabrakan.
"Aku ingat kau pergi ke luar negeri. Tanpa pamit."
Senyum Reyhan miring. "Aku cuma pamitnya di antara paha kamu malam itu."
Sial. Gairah langsung menyeruak dari bawah pusarnya. Dia menyumpah dalam hati, tapi tidak bisa menahan gerakan tangan saat menyisir rambutnya ke belakang-gesture yang hanya keluar ketika dia ingin diperhatikan.
"Masuk." Suaranya dingin, tajam, tapi terdengar serak.
________________________________________
Ruangannya kembali sunyi. Nadira duduk di kursi kulit hitamnya, Reyhan di seberang. Tapi udara di antara mereka bukan udara kerja-itu hawa bekas ciuman liar dan sentuhan gila yang tak pernah selesai.
"Aku kira kau akan lamar jadi model iklan, bukan direktur," kata Nadira, melempar berkas CV ke atas meja.
"Aku bisa dua-duanya. Tapi aku lebih suka posisi... di atasmu."
Lidah Reyhan menjilat bibir bawahnya singkat. Nadira menahan napas. Tubuhnya memberi respons lebih dulu dari otaknya. Payudaranya mengencang, celana dalamnya mulai lembab.
"Mengapa kamu balik?" suaranya lebih pelan.
"Karena aku lihat kau di berita. Dan aku tahu... tak ada yang bisa memuaskanmu selain aku."
Brengsek. Nadira berdiri, memutar badan agar tak terlihat mukanya memerah, entah karena marah, terangsang, atau dua-duanya. Tapi Reyhan tidak diam. Dia berdiri juga, dan... berjalan mengitari meja. Lalu berdiri tepat di belakangnya.
"Masih ingat suara kamu saat aku jilat kamu di bangku mobil ayahmu?" bisiknya. Nafasnya menyentuh tengkuk. "Kamu gemetar. Nangis, sambil bilang 'lebih dalem... Rey... lebih dalem...'"
Tangannya menyentuh pinggang Nadira. Ringan. Tapi cukup untuk membuat tubuhnya menegang dan lututnya nyaris goyah.
"Berani kamu sentuh aku sekarang, kamu bisa aku pecat," ucap Nadira tajam.
Reyhan tertawa pelan. "Tapi kamu gak mau aku berhenti."
Dan dia benar. Nadira menutup mata, mencoba melawan, tapi pahanya saling menggesek sendiri. Tubuhnya mengkhianatinya.
Satu sentuhan Reyhan di pinggul membuatnya menoleh cepat-wajah mereka nyaris bersentuhan.
"Minggu malam. Apartemenku," katanya singkat, lalu melangkah keluar tanpa izin.
Meninggalkan aroma parfum, dan memori basah di antara kaki Nadira.
________________________________________
Minggu malam. Nadira berdiri di depan cermin. Lingerie tipis, transparan, hanya dua tali dan sepotong renda. Putingnya terlihat jelas, mengeras. Bibirnya diberi merah tua, rambut dikuncir ekor kuda, seperti malam pertama mereka dulu.
Dia ingin ditelanjangi. Disobek. Diingatkan siapa yang pernah membuatnya muncrat sampai lututnya tak bisa berdiri.
Dia datang ke apartemen Reyhan. Dan begitu pintu dibuka...
Tanpa banyak kata, Reyhan menarik tangannya, mencium bibirnya-keras, liar, penuh gigitan. Lalu melemparkannya ke sofa. Dia membuka lingerie itu seperti membongkar kado, lalu membenamkan wajahnya ke antara paha Nadira yang sudah basah tanpa ampun.
"Ohhh... Rey... sial... JANGAN BERHENTI..." Nadira menggeliat, tangan mencengkeram rambut lelaki itu, punggung melengkung, payudaranya memantul di tiap embusan lidah.
Dia memekik. Klimaks pertama dalam lima menit. Tapi Reyhan tak berhenti. Dia naik ke atas tubuhnya, mengarahkan batang tebalnya, dan...
PLAK.
Dimasukkan kasar. Sekali sodok langsung penuh.
Nadira menggigit bibir, menjerit. Tangannya mencakar punggung Reyhan saat pria itu mengguncangnya seperti binatang liar.
"Lebih keras... bikin aku lupa suami aku!"
"Udah lupa. Sekarang kamu punya Tuan Baru."
Dan malam itu, Nadira tidak hanya berselingkuh.
Dia menjual seluruh tubuhnya pada cinta lama yang kini menjadikan dia pelacur sukarela.