i langit-langit kamar Bu Nisa, seperti doa-doa yang tertunda naik ke langit karena terlalu berat membawa beban tubuh. Hujan belum tu
ullah... astaghfirullah..." seperti orang yang baru saja menyesali sesuatu, meski tak tahu pasti apa. Atau pura-pura tak tahu. Mu
Kabupaten Sleman. Wajah ovalnya bersih, tanpa bedak malam ini, tapi tetap merekah seperti bulan sabit yang tak pernah benar-b
hadap cermin, menata
ntah ditujukan pada Tuhan, atau pada tubuhnya
rdiri telanjang hanya dalam lingerie satin tipis warna emas. Dadanya mengayun berat, putingnya menegang seperti ingin
ya lama. Lalu ter
ita religius ta
nikmatan, tapi untuk mengingat bahwa dirinya masih hidup. Bahwa di balik semua hafalan ayat dan seny
nya melayang
. Selalu kaku, selalu takut dosa, selalu dengan baju tetap dikenakan. "Jangan lama-lama, Nisa. Malaikat sedang mencatat." Katany
a-tertutup, berdebu, tapi menyimpan ilmu paling s
na dan kerudung panjang. Santri-santri sudah tidur. Aula pesantren sudah gelap. Tapi
rlahan ke perut ba
ya, walau ia tahu ia berboh
berbeda. Ketukan pelan d
Halus. Se
seperti biasanya. Ia berjalan pelan ke jendela,
a
seperti anak kucing. Masih mengenakan sarung dan baju koko, tapi matanya men
nyodorkan buku catatan tafsir, dan tangannya untuk mengambil buku itu. Tangan
am-malam be
bentar, lalu men
uk, Bu. Mimpi..
e
e
e
itu cepat, lalu menutup jendela, menyandarkan
ada tulisan. Hanya satu kertas terlipat di d
u waktu ngajarin kami tentang surga. Ibu bilang di
kulit yang mulai berkeringat. Bibirnya te
Alla
a di balik kamar guru ngaji, surga sedang digambar ulang