/0/24459/coverbig.jpg?v=623395aa599b9abeebc96defbb164ace)
Khusus Bacaan Mereka Yang Sudah Punya Tetangga Dewasa
BRAK!
Suara benturan keras mengiringi terbukanya pintu kamar mandi.
"ADUH!" seru seorang remaja pria terperanjat dan panik. Tubuh telanjangnya tak mampu bergerak, hanya bisa menatap pintu.
"Eh, maaf! dikira nggak ada orang," sergah seorang wanita berpakian serba tertutup yang tampak juga terkejut. Meski suaranya terdengar terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang tak sengaja masuk ke kamar mandi saat ada orang lain.
Wanita itu berdiri mematung di ambang pintu, wajahnya tegang, mata terbelalak dan mulut sedikit terbuka. Tapi sejurus kemudian, ekspresinya berubah kendur dan tenang, bahkan seulas senyum tersungging samar. Wanita itu sangat tahu apa yang sedang dilakukan anak tirinya.
"Astagfitullah!" Remaja pria itu kembali berseru tersadar dari terkejutnya.
Tangannya refleks meraih handuk yang tergantung di kapstok, lalu melilitkannya di pinggang, menutupi bagian tubuh yang seharusnya tak boleh terlihat oleh siapa pun, apalagi ibu tirinya. Dia tak peduli dengan tangan dan batang senjatanya yang penuh dengan busa sabun.
"Maaf, Hafiz!" Wanita yang oleh kebanyakan warga kampung dijuluki 'Ustazah Susan' itu kembali berucap dengan nada lebih lembut.
"Bu, mau ngapain?" tanya Hafiz, mencoba tenang, meski kesal. Jantungnya masih berdebar, malu dan canggung menjadi badai kecil yang berkecamuk dalam dadanya.
Susan tidak langsung menjawab. Matanya tetap memandangi selangkangan anak tirinya yang tampak menyembul di balik handuknya. Lalu ia menoleh ke belakang memastikan tak ada siapa-siapa di luar sana. Kemudian kembali menatap Hafiz dengan sorot mata yang sulit diartikan. Bersalah, kagum, atau malah berhasrat?
"A-anu..., ibu mau ambil sabun cuci," katanya pelan, tersenyum manis dengan mata tetap tidak beralih dari handuk yang melilit pinggang Hafiz.
"Ambilah, lalu segera keluar, Bu!" kata Hafiz, berusaha tetap sopan meski suara meninggi.
Susan mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangganya mengambil sabun cuci. Namun tidak langsung keluar, malah bersandar pada kusen pintu kamar mandi yang sempit.
"Hafiz..." panggilnya lirih.
Hafiz mengerutkan dahi dan menatapnya. "Ya?" jawabnya singkat.
"Ternyata kamu sudah dewasa dan makin gagah..." ucap Susan lirih dan manja.
Deg!
Jantung Hafiz makin berdegup tak karuan.
Sebelum ia sempat bicara lebih jauh, Susan sudah membalikkan badan dan menutup pintu perlahan, menyisakan udara yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Hafiz berdiri kaku, tak bersuara. Kedua tangannya erat menggenggam handuk di pinggangnya seolah takut direbut atau terlepas.
Tak lama kemudian dia mulai menggayung air dan membasahi sekujur tubuhnya. Namun meski semuanya telah basah dan penuh busa sabun. Sebagian tubuhnya masih gemetar karena sangat kaget. Pikirannya terombang-ambing, mencari penjelasan rasional.
'Kenapa dia masuk tanpa ketuk pintu dulu? Jangan-jangan memang sengaja?' pikir Hafiz cemas. Ia bahkan menduga kalau ibu tirinya, mengintip dulu sebelum masuk. "Dan bodohnya kenapa aku juga lupa mengunci pintu."
Setelah mandi Hafiz keluar dengan tubuh berbalut handuk di pinggangnya. Saat masuk rumah, ia sedikit tertegun karena mendapati ibu tirinya sedang duduk di kursi tamu, sibuk dengan ponselnya, dalam pakaian yang tak biasa. Daster mini sangat kontras dengan pakaian syar'i yang biasa dikenakannya. Padahal tadi saat masuk kamar mandi, masih mengenakan gamis dan jilbab.
Hafiz memalingkan muka dan mempercepat langkahnya menuju kamar. Begitu sampai di dalam, ia menghela napas lega, merasa sedikit aman. Tetapi, belum sempat mengambil pakaian untuk dipakainya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Hafiz lagi-lagi lupa mengunci pintu kamar itu.
Hafiz sedikit melonjak, darahnya serasa berhenti mengalir saat melihat ibu tirinya berdiri di ambang pintu menatapnya nanar sulit dijelaskan.
"Boleh ibu masuk sebentar?" tanya Susan lembut, terkesan ganit.
Hafiz terdiam, detak jantungnya kembali tak beraturan. Ia mencoba untuk tetap tenang, meski rasa cemas dan bingung terus menghantui.
"Mau apa, Bu?" tanya Hafiz dengan suara pelan, mencoba terdengar biasa.
Susan menatapnya, lalu maju selangkah, sementara Hafiz refleks mundur beberapa langkah dengan sorot mata curiga yang semakin dalam. Ia berusaha menahan diri untuk tidak berteriak atau melawan, tetapi perasaan risih semakin membuncah.
"Jangan takut, Fiz." Suara Susan terdengar lebih pelan, hampir seperti berbisik. Namun, kata-kata itu justru semakin membuat jantung Hafiz berdegup lebih kencang.
Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri, merasa terjebak dalam situasi yang tidak bisa dikendalikan.
"Kamu nggak suka ibu masuk kamar ini?" tanya Susan.
"Tapi aku belum pakai baju, Bu!" Hafiz berusaha menetralisir keadaan. "Memangnya mau apa sih?" Nadanya mulai terdengar lebih tegas.
Susan mendekat lagi, tangannya terulur ke arah Hafiz, seakan ingin menyentuhnya. Refleks, Hafiz meloncat ke atas ranjang, berdiri dengan kedua lututnya di atas kasur. Tubuhnya gemetar, dan rasa takut mulai menguasai dirinya.
"Kamu sudah gila ya, Bu?" bentak Hafiz hampir berteriak, kesal dan tidak tahu harus bicara apa lagi.
"Jangan berteriak begitu, Hafiz, aku ini ibumu!" bentak Susan dengan nada yang penuh tekanan dan wajah mendongak.
"Ibu hanya mau bilang, ayahmu sudah loyo, sudah lama nggak bisa memberi nafkah batin pada istrinya. Sedangkan aku sebagai istrinya masih membutuhkan itu!" Suara Susan bergetar, seperti hendak menangis.
Namun Hafiz tak merasakan empati, semua yang dikatakannya terdengar janggal dan mengada-ada. Hafiz merasa cukup banyak mengenal ayahnya. Bahkan seminggu yang lalu, tak sengaja dia masih sempat mendengar ayah dan ibu tirinya sedang melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri dengan sangat bergairah.
"Bu, aku memang anak tirimu!" ujar Hafiz, dengan suara yang lebih tegas namun agak bergetar. "Tapi maaf, bukan berarti harus menuruti semua keinginanmu yang aneh itu. Apapun adanya ayahku, beliau tetaplah suamimu!"
Susan sedikit mencibir, "Daripada kamu ngocok sendiri di kamar mandi, bukankah berbagi itu lebih baik? Kita bisa sama-sama puas dan jaga rahasia, Hafiz!"
Hafiz mendengus kesal, malu dan risih. Suasana seketika menjadi tegang, dingin dan membeku. Tatapan Susan berubah sangat mengerikan, laksana pemburu yang mengunci mangsanya.
"Hafiz, kamu mau bantu ibu, kan?" pinta Susan lembut.
"TIDAK!" bentak Hafiz spontan penuh amarah.
"Kalau begitu, lebih baik kamu pergi dari rumah ini!" balas Susan tiba-tiba dengan suara yang mulai meninggi.
"Ya, aku akan segera pergi. Tadi mampir ke sini hanya sekedar numpang mandi, tidak lebih!" jawab Hafiz makin tegas.
"Cepetan keluar! Kalau kamu tidak mau membantu ibumu, jangan pernah datang lagi ke sini!" bentak Susan sambil cepat-cepat keluar dari kamar.
Ia baru tersadar, andai Hafiz menyerang secara fisik, tentu dirinya akan celaka. Selain fisiknya lebih tinggi, besar dan kuat, Hafiz juga menguasai ilmu bela diri yang diajarkan ayah dan kakeknya sejak masih kecil.
Hafiz tak buang waktu. Usai berpakaian, ia langsung pergi dengan motor matiknya ke rumah neneknya, tempat yang selalu terasa aman dan menenangkan.
Di saung kecil di tengah sawah, Hafiz duduk memeluk lutut, menatap padi yang mulai menguning. Siang tampak cerah, tapi hatinya gelap. Perasaannya campur aduk: malu, marah, jijik dan kecewa.
"Ustazah Susan..." gumamnya pelan, "Julukan dan penampilanmu nggak sesuai sama kelakuanmu, Bu," gumamnya lirih.
Hafiz bukan anak polos. Sejak SMP, ia sudah kenal sisi gelap dunia dewasa walau hanya melalui internet. Tapi sejauh apapun dia melenceng, masih punya batasan. Susan tetaplah istri ayahnya, ibu tirinya - yang sangat tabu untuk disentuh secara seksual, apapun alasannya.
Hafiz mengusap wajah dengan sebelah tangannya. Sorot mata dan bisikan menggoda dari ibu tirinya masih terbayang jelas. Ia menunduk lesu, tubuh bongsornya terasa kecil di tengah sawah luas.
Ia sadar, kini rumah ayahnya tak lagi terasa surga, tapi sudah menjadi neraka. Namun andai pun ia mau bicara terbuka, siapa yang akan percaya? Ayahnya pun pasti tidak akan percaya.
"Kalau sama anak tiri saja berani begitu, bagaimana dengan lelaki lain?" bisiknya. "Ayahku sudah loyo? Omong kosong!" lanjutnya geram.
Angin berhembus, menerbangkan daun-daun kering. Hafiz tahu, ini belum akhir. Tapi untuk sekarang, ia memilih menjauh dan memang sebenarnya sudah sejak lama menjauh. Tadi Hafiz datang ke rumah ayahnya benar-benar hanya buat numpang mandi, setelah main bola dengan teman-temannya. Dan saat dia datang rumah memang dalam keadaan sepi.
Sementara itu di rumahnya, Susan duduk termangu di kamarnya, merenungi apa yang baru saja terjadi.
Di satu sisi dia sangat bersyukur Hafiz tidak berontak dan menyerang dirinya, namun di sini lain dia juga merasa marah karena telah ditolak dan dilecehkan oleh bocah yang sejak enam tahun terakhir menjadi anak tirinya.
Walau Hafiz tinggal dengan nenek dari almarhum ibunya, namun sedikit banyak Susan merasa sudah ikut merawat dan membesarkannya.
Sebenarnya, sebelum nekat menerobos masuk kamar mandi, Susan sudah lama mengintip Hafiz dari luar. Ia tahu semua apa yang dilakukan anak tirinya di kamar mandi saat itu. Dan karena itulah ia sangat berhasrat, lalu masuk ke kamar mandi tanpa permisi, dengan harapan Hafiz bisa melayani atau melampiaskan hasratnya, daripada onani. Namun ternyata berakhir mengecewakan.
"Tunggu saja pembalasanku, Hafiz. Kamu pasti akan menyesal telah merendahkan ibu tirimu. Kamu belum tahu siapa aku sebenarnya!" geramnya.
Susan Nuraeni, 35 tahun, kini dikenal sebagai 'Ustazah Susan' di lingkungannya. Sebutan yang lahir karena status pernikahannya, bukan karena kedalaman ilmu agamanya. Ia bukan lulusan pesantren, tak hafal banyak ayat atau hadits. Hanya memang pakaiannya selalu tertutup rapi. Terlebih lagi setelah menikah untuk yang kedua kalinya dengan Ustaz Hasbi. Seorang guru ngaji dan penceramah agama yang sederhana.
Sejak dulu Susan belajar cepat, bukan dari kitab, tapi dari pergaulan dan kebiasaan di lingkarannya. Kapan harus menundukkan pandangan, menyelipkan "Masya Allah", atau diam untuk terlihat shalihah. Peran itu ia lakoni laksana panggung sandiwara yang menutupi siapa dirinya yang sejati. Dalam sepuluh tahun ini Susan sukses bertranformasi.
Susan tak jahat, hanya belum kuat. Ilmu agamanya masih dangkal, keteguhan imannya masih setipis ari dan hatinya masih mudah tergoda oleh bayang-bayang masa lalunya yang terasa kelam. Tapi status barunya sebagai istri Ustaz, memaksanya tetap berdiri sebagai wanita shalihah, seolah benar-benar telah hijrah. Bersama Ustaz Hasbi dia telah dikaruniai seorang anak berusia 6 tahun.
Namun, di balik pakaian syar'I, sikap lemah lembut dan ucapan ramah nan santun pada semua tetangganya, ada sisi lain Susan yang tak diduga oleh semua orang yang dengan mudahnya memanggilnya 'Bu Ustazah' hanya karena pakaian dan menyandang status sebagai istri Ustaz Hasbi.
Pada awalnya Susan merasa risih dengan julukan tersebut namun entah mengapa, lama-lama dia justru merasa senang. Merasa lebih seksi dan bisa berkamuplase dengan sempurna, setidaknya dia bisa mengubur dalam-dalam sisi liar dalam dirinya. Namun dalam beberapa bulan terakhir ini sisi gelap itu muncul kembali seperti jamur di musim hujan.
Susan senantiasa menekan gairah liar itu, agar tidak sampai khilaf apalagi ketahuan suami dan keluarganya. Namun Hafiz, anak tirinya yang gagah dan tampan terlalu sukar untuk diabaikan.
Dan yang pasti Susan ingin merasakan bagaimana nikmatnya bercinta dengan lelaki muda, kata orang brondong jauh lebih menggairahkan.
^*^
Seorang gadis SMA bernama Nada dipaksa untuk menyusui pria lumpuh bernama Daffa. Dengan begitu, maka hidup Nada dan neneknya bisa jadi lebih baik. Nada terus menyusui Daffa hingga pria itu sembuh. Namun saat Nada hendak pergi, Daffa tak ingin melepasnya karena ternyata Daffa sudah kecanduan susu Nada. Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Kaluna Evelyn sudah menikah Dengan Eric Alexander Bramastyo selama kurang lebih 10 tahun. Namun, Eric sama sekali tidak mencintai Luna. Ia memiliki kebiasaan yang sering bergonta-ganti wanita. Itulah yang menyebabkan Luna semakin sakit hati, namun ia tidak bisa bercerai dengan Eric karena perjanjian kedua keluarga. Ditengah keterpurukannya, ia mengalihkan rasa sakit hatinya kepada minuman keras. Dan disaat, ia mabuk, ia melakukan kesalahan dengan tidur bersama ayah mertuanya sendiri. Seorang pria dewasa bernama Brian Edison Bramastyo. Yang tidak lain dan tidak bukan, adalah ayah dari Eric sendiri. Brian yang berstatus duda, tidak bisa berkutik ketika Luna mulai menggodanya karena pengaruh minuman keras. Dan setelah kesalahan di malam itu, Luna dan sang papa mertua saling mengulangi kesalahan nikmat yang sama. Brian yang mampu memberikan nafkah batin pada Luna, harus menahan rasa perih karena mengkhianati putranya sendiri, dan menjadi tidak bermoral karena bermain gila dengan sang menantu. Namun apa boleh buat, semua sudah terlanjur dan mereka berdua sama-sama kesepian. Hubungan mereka tetap berlanjut, hingga akhirnya Eric mengetahui hubungan mereka dan menceraikan Luna. Namun, beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa alasan Eric menceraikan Luna adalah dia sudah menghamili kekasihnya, yang bernama Bianca. Mereka menjalani hidup masing-masing. Eric pergi jauh dari kehidupan Brian dan Luna. Brian dan Luna pun memilih untuk bersama.
Semua ada hikmahnya. Belajarlah dari cerita ini agar terhindar dari berselingkuh atau diselingkuhi pasangan
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
"Janus, jangan ceraikan aku, ya?" Rengeknya. "Begini aja udah cukup. Aku ga minta lebih." Katanya dengan suara yang memelas. Ketika mendengar rengekan itu, tangan Janus berhenti dan keinginan di matanya berangsur-angsur mendingin. Suaranya yang agak serak masih lembut. "Fay, mengapa kau jadi lupa dengan kesepakatan yang sudah kita buat?" "Ingat perjanjian kita, jika Uke kembali, hubungan ini selesai sampai disini," imbuhnya lagi. Suara itu terdengar begitu tegas meskipun sedikit gemetar.