img PEMUAS TETANGGA  /  Bab 6 Pemuas | 100.00%
Unduh aplikasi
Riwayat Membaca

Bab 6 Pemuas

Jumlah Kata:1507    |    Dirilis Pada: 25/05/2025

tua. Di wajahnya tak ada ekspresi jelas-bukan senyum, bukan pula kesedihan. Matanya kosong, langkahnya b

empertebal sesak yang mulai menggumpal di kerongkongan. Di halte kecil, ia naik angkot jurusan Tanah Merah. Tiga penump

aroma terapi dan parfum murahan, tempat ia dipaksa bukan hanya memijat, tapi juga melayani. Tes pra

ngiang, Isinya, satu juta lima ratus ribu. Jumlah ya

etap s

air mata yang mulai menggenang. Hatinya penuh luka. Ia t

Ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa seperti beban telah diangkat. Hasrat yang l

a dari samping mem

ajahnya bersih, rahang tegas, senyum tipis di ujung bibir

a kenal?" Susan m

itu," katanya, menunjuk ke arah ruko dari jendel

a, sih. Tapi cuma nanya-nanya aja," jawabnya cepat,

tertawa kecil. "Tempat itu terkenal

angkot semakin sempit, udara semakin pa

a tidak bertanya lagi, hanya menyandarkan punggung ke kursi dan m

urun perlahan, mengetuk kaca jendela seperti iram

putih itu seperti bara

masih harus naik ojek untuk sampai ke rumahnya. Tapi hujan turun mak

n Padang tampak hangat dan menggoda dengan lampu kuning temaram serta aroma gulai

ang mengembun karena hawa hangat dari dapur. Seorang pelayan datang, dan Susan memesan sepiring nasi denga

pertama, dua sosok yang fami

k, berharap mereka tak melihat. Tapi

tanya Azam sambil mena

engangguk pelan, menyembunyikan gelisahnya di balik

jalanan Jakarta yang makin kacau. Tapi telinga Susan hanya setengah mendengar. Ia sibuk membaca ger

melontarkan kalimat yang membuat S

lho," ucapnya pelan. "Biasanya ada orang dal

nya. "Mas ser

ukup banyak soal tempat-tempat kayak gitu. Apalagi yang buka di ru

begitu tuh... pakai seleksi k

bawah meja. Mereka tahu. Atau setidaknya... curiga. Jangan-jangan mereka b

sa seperti batu api. Setiap kali ia ingat is

aja, Mbak. Kami bukan orang jahat. Cuma... ya, kadang

jan di luar masih belum reda. Ia terjebak. Bu

a. Dan dua orang di depannya, entah d

r basa-basi tentang makanan yang mereka pesan dan kondisi jalanan. Tapi pelan-p

sini?" tanya Azam sambi

uk pelan. "Iya

i?" sam

langsung menjawab. Tapi Azam

saya, suaminya

i warung itu tiba-tiba mendingin. "Di Jakart

ah," celetuk teman Azam yang

ang terasa... menggoda tapi samar, menguji tapi dibungkus dengan tawa ringan.

emua benar-benar kebetulan? Atau justru ini

masih menari pelan di jalanan. Tapi langit mulai memb

ngit sebentar, lalu

a," ucapnya, membayar cepat ke kasir

nggil, "Eh, hati

keluar, menyusuri trotoar basah menuju pra

Susan memilih satu tanpa banyak bicara, hanya menyebut nama kam

un wajah Azam dan ucapannya tadi masih t

i. Ia bisa pulang. Meski tak tahu apa yang menantinya eso

udah benar-benar reda, namun genangan air masih menampung langit yang kelabu. Jalan tanah becek,

tu rumahnya. Begitu membuka pintu, udara lembap menyambutnya. Rumah mungil itu t

n mulai melepaskan pakaiannya satu per satu dengan gerakan tergesa, seperti ingin men

nghapus noda yang terasa menempel di seluruh dirinya. Di bawah guyuran itu, tubuhn

mintanya untuk tidak bekerja. "Aku sanggup nafkahin kamu, walau nggak mewah. Tapi cukup, Sus. Aku cuma ngga

dirinya... atas nama kebutuhan. Atau lebih jujur lagi: karena kesepian dan kelemahan

r, namun rasa kot

an mata mereka kembali terlintas jelas-tajam, dalam, seolah bisa menelanja

ali datang. Bukan hanya karena tempat pijat itu, tapi karena

Tak mengeringkan rambut, tak berpakaian lengkap. Ia han

hnya sampai ke kepala. Gemetar. Dingin tak berasal dari udara, tapi dari

ada rasa takut, dan ada sepasang mata

*

Sebelumnya
Selanjutnya
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY