tua. Di wajahnya tak ada ekspresi jelas-bukan senyum, bukan pula kesedihan. Matanya kosong, langkahnya b
empertebal sesak yang mulai menggumpal di kerongkongan. Di halte kecil, ia naik angkot jurusan Tanah Merah. Tiga penump
aroma terapi dan parfum murahan, tempat ia dipaksa bukan hanya memijat, tapi juga melayani. Tes pra
ngiang, Isinya, satu juta lima ratus ribu. Jumlah ya
etap s
air mata yang mulai menggenang. Hatinya penuh luka. Ia t
Ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa seperti beban telah diangkat. Hasrat yang l
a dari samping mem
ajahnya bersih, rahang tegas, senyum tipis di ujung bibir
a kenal?" Susan m
itu," katanya, menunjuk ke arah ruko dari jendel
a, sih. Tapi cuma nanya-nanya aja," jawabnya cepat,
tertawa kecil. "Tempat itu terkenal
angkot semakin sempit, udara semakin pa
a tidak bertanya lagi, hanya menyandarkan punggung ke kursi dan m
urun perlahan, mengetuk kaca jendela seperti iram
putih itu seperti bara
masih harus naik ojek untuk sampai ke rumahnya. Tapi hujan turun mak
n Padang tampak hangat dan menggoda dengan lampu kuning temaram serta aroma gulai
ang mengembun karena hawa hangat dari dapur. Seorang pelayan datang, dan Susan memesan sepiring nasi denga
pertama, dua sosok yang fami
k, berharap mereka tak melihat. Tapi
tanya Azam sambil mena
engangguk pelan, menyembunyikan gelisahnya di balik
jalanan Jakarta yang makin kacau. Tapi telinga Susan hanya setengah mendengar. Ia sibuk membaca ger
melontarkan kalimat yang membuat S
lho," ucapnya pelan. "Biasanya ada orang dal
nya. "Mas ser
ukup banyak soal tempat-tempat kayak gitu. Apalagi yang buka di ru
begitu tuh... pakai seleksi k
bawah meja. Mereka tahu. Atau setidaknya... curiga. Jangan-jangan mereka bsa seperti batu api. Setiap kali ia ingat is
aja, Mbak. Kami bukan orang jahat. Cuma... ya, kadang
jan di luar masih belum reda. Ia terjebak. Bu
a. Dan dua orang di depannya, entah d
r basa-basi tentang makanan yang mereka pesan dan kondisi jalanan. Tapi pelan-p
sini?" tanya Azam sambi
uk pelan. "Iya
i?" sam
langsung menjawab. Tapi Azam
saya, suaminya
i warung itu tiba-tiba mendingin. "Di Jakart
ah," celetuk teman Azam yang
ang terasa... menggoda tapi samar, menguji tapi dibungkus dengan tawa ringan.
emua benar-benar kebetulan? Atau justru ini
masih menari pelan di jalanan. Tapi langit mulai memb
ngit sebentar, lalu
a," ucapnya, membayar cepat ke kasir
nggil, "Eh, hati
keluar, menyusuri trotoar basah menuju pra
Susan memilih satu tanpa banyak bicara, hanya menyebut nama kam
un wajah Azam dan ucapannya tadi masih t
i. Ia bisa pulang. Meski tak tahu apa yang menantinya eso
udah benar-benar reda, namun genangan air masih menampung langit yang kelabu. Jalan tanah becek,
tu rumahnya. Begitu membuka pintu, udara lembap menyambutnya. Rumah mungil itu t
n mulai melepaskan pakaiannya satu per satu dengan gerakan tergesa, seperti ingin men
nghapus noda yang terasa menempel di seluruh dirinya. Di bawah guyuran itu, tubuhn
mintanya untuk tidak bekerja. "Aku sanggup nafkahin kamu, walau nggak mewah. Tapi cukup, Sus. Aku cuma ngga
dirinya... atas nama kebutuhan. Atau lebih jujur lagi: karena kesepian dan kelemahan
r, namun rasa kot
an mata mereka kembali terlintas jelas-tajam, dalam, seolah bisa menelanja
ali datang. Bukan hanya karena tempat pijat itu, tapi karena
Tak mengeringkan rambut, tak berpakaian lengkap. Ia han
hnya sampai ke kepala. Gemetar. Dingin tak berasal dari udara, tapi dari
ada rasa takut, dan ada sepasang mata
*