Selama ini aku selalu diam demi menjaga perasaannya, tapi sekarang aku benar-benar nggak kuat lagi. Sudah dua tahun menikah, tapi aku nggak pernah merasakan puasnya berhubungan badan. Aku pingin, sekali saja merasakan bagaimana rasanya klimaks.
"Aku beneran capek, Dek. Kerjaan di kantor banyak banget hari ini," ucap Mas Agung dengan suara yang semakin lemah.
"Kalau udah tahu capek, kenapa minta jatah? Itu namanya egois, Mas. Enak di kamu, tapi nggak enak di aku. Emangnya cuma kamu doang yang pingin ngerasain nikmatnya ngeseks? Aku juga pingin, Mas."
Dan seperti biasa, Mas Agung hanya bisa meminta maaf.
"Ya udah, aku janji nanti bakalan lanjut ronde dua. Tapi biarkan aku istirahat sebentar."
Mas Agung memeluk dan mencium keningku. Dan dalam hitungan detik, aku mendengar dengkuran halus Mas Agung. Dengan kekesalan yang menumpuk di hati, aku menyingkirkan tangan Mas Agung dari perutku, lalu bangkit dengan mengenakan sarung ke kamar mandi buat membersihkan diri. Mas Agung bahkan nggak bangun dengan gerakanku yang agak kasar.
Apa perlu aku kasih obat kuat dimakanan dan minuman Mas Agung, ya? Biar dia kuat dan perkasa. Supaya aku bisa merasakan bagaimana rasanya klimaks.
Jujur saja, aku capek harus melayani Mas Agung hampir setiap hari, tapi nggak pernah sekali pun aku merasakan bagaimana rasanya klimaks. Jangankan klimaks, merasakan kejantanan Mas Agung saat mengobrak abrik kewanitaanku saja aku nggak pernah. Aku benar-benar nggak merasakan apa-apa waktu Mas Agung menyetubuhiku.
Aku nggak tahu, apakah aku yang punya kelainan, atau Mas Agung yang memang punya kelainan, yaitu ejakulasi dini. Yang jelas, aku ingin sekali saja merasakan bagaimana nikmatnya klimaks.
Setelah selesai membersihkan diri, aku kembali ke kamar. Aku terkejut mendapati Mas Agung yang sudah duduk sambil bersandar di sandaran kepala tempat tidur. Tapi karena aku masih kesal, aku mengabaikan dia dan langsung berbaring, memunggungi Mas Agung.
Aku merasakan kasur bergerak, nggak lama kemudian tangan Mas Agung merayap di punggungku yang memang terbuka, sebab aku yang tidur sambil membelit tubuhku dengan sarung.
Buluku meremang saat Mas Agung menciumi belakang leherku, lalu berjalan ke belakang telingaku dan berbisik, "Masih marah, Dek?"
Aku hanya diam saja. Pura-pura tidur. Aku tahu Mas Agung nggak akan bisa memuaskanku, jadi lebih baik aku tidur saja daripada harus melayani dia.
Tangan Mas Agung semakin bergerak menggerayangi tubuhku. Dia meremas buah dadaku dari luar sarung. Dia meremas bergantian payudaraku yang memang berukuran besar. Sementara mulut Mas Agung terus menciumi belakang leherku. Sesekali menjilatinya.
Perlahan, aku merasakan kewanitaanku berkedut. Aku hanya bisa memaki. Karena aku yakin, aku nggak akan bisa mendapatkan kepuasan bercinta.
Tubuhku sedikit tegang diiringi kenikmatan atas remasan Mas Agung di payudaraku saat Mas Agung melepas belitan sarungku, sehingga telapak tangannya yang hangat dan besar langsung bersentuhan dengan kulitku. Mas Agung memainkan putingku dengan mencubit dan memelintirnya bergantian. Meski sedikit sakit, tapi semakin lama, aku merasa keenakan. Bahkan putingku sudah mencuat kaku akibat perbuatan Mas Agung.
Lubang kewanitaanmu berkedut dengan liarnya. Perlahan, aku juga merasakan lubang kewanitaanku mulai basah.
"Mas, hentikan," pintaku sambil menahan tangannya yang bermain di dadaku.
Mas Agung menghentikan gerakan tangannya dan juga ciumannya di belakang leherku. "Kenapa, Dek? Bukannya kamu mau aku puaskan? Lagian kan aku udah janji mau memuaskan kamu, Dek."
"Percuma aja kalau cuma kamu yang puas sendiri, Mas."
"Jangan bicara begitu, Dek. Aku janji, kali ini aku bakalan memuaskan kamu."
Setelah mengatakan itu, Mas Agung kembali meremas dadaku, kali ini sedikit kuat.
"Nggak usah janji-janji kalau nggak bisa menepati, Mas," ucapku yang sudah tahu akan berakhir sama saja seperti yang sudah-sudah.
Aku berusaha menghentikan Mas Agung, tapi Mas Agung justru membalikkan tubuhku hingga telentang. Sebelum aku sempat protes, Mas Agung menciumku. Ciuman yang begitu basah dan agresif.
Aku terkejut, sebab selama ini Mas Agung nggak pernah menciumku seagresif itu. Apalagi sampai memasukkan lidahnya ke mulutku dan memainkannya di dalam mulutku. Walau begitu, aku yang sudah mulai terangsang-karena tangan Mas Agung yang terus menerus bermain di dadaku-pun menikmatinya.
Cukup lama kami berciuman sebelum Mas Agung melepaskannya setelah aku memukulnya pelan akibat sulit bernapas. Saat aku menghirup oksigen, Mas Agung mengulum putingku. Lidahnya menari di putingku, sesekali Mas Agung menyedotnya seperti orang menyusu. Sementara tangannya mempermainkan payudaraku yang lainnya. Mas Agung melakukannya secara bergantian.
Meski Mas Agung sudah sering melakukan pemanasan seperti ini, tapi aku merasa kali ini berbeda. Nggak seperti biasanya, tubuhku bahkan sampai terlonjak dengan apa yang dilakukan Mas Agung. Bahkan kewanitaanku berkedut dengan sangat kencangnya, seolah-olah ingin segera dimasuki kejantanan Mas Agung.
Seperti dapat membaca pikiranku, tangan Mas Agung bermain di kewanitaanku. Meski bukan kejantanannya, tapi aku menggelinjang keenakan. Aku dapat merasakan Mas Agung memasukkan jarinya ke kewanitaanku dan menggerakkannya.
Ini benar-benar nikmat!
Ini pertama kalinya aku merasakan nikmatnya kewanitaanku dipermainkan. Meski aku sedikit terkejut dengan Mas Agung yang memasukkan jarinya ke dalam kewanitaanku. Sebab selama ini Mas Agung nggak pernah melakukannya. Biasanya dia cuma memainkan tanpa memasukkannya sebentar, sebelum akhirnya memasukkan kejantanannya.
"Gimana, Dek? Enak nggak?" tanya Mas Agung di sela-sela mengulum putingku.
"Enak, Mas," jawabku jujur. Bahkan aku tanpa sadar menggerakkan pinggulku, supaya jari Mas Agung masuk semakin dalam.
"Yakin? Jangan bohong lho, Dek."
"Iya, Mas. Enak banget."
Ini memang sangat enak. Biasanya, saat pemanasan, aku nggak pernah merasakan nikmat seperti ini. Biasanya baru mulai terangsang sedikit saja, Mas Agung sudah memasukkan kejantanannya ke kewanitaanku, dan kalau sudah begitu, walau aku sudah mulai terangsang, aku nggak bisa merasakan kenikmatan yang Mas Agung lakukan. Makanya aku nggak pernah puas setiap kali kami bercinta.
Aku semakin merasakan kenikmatan saat Mas Agung menggerakkan tangannya dengan cepat di kewanitaanku. Tanpa sadar, aku meremas rambut Mas Agung untuk menyalurkan rasa nikmatnya. Rasa nikmat akibat gerakan tangan Mas Agung di kewanitaanku semakin lama semakin meningkat. Saking nikmatnya, aku sampai mendesah.
Di saat aku merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa, Mas Agung tiba-tiba menghentikan aksinya. Seketika aku kecewa dan menatap Mas Agung kesal.
Mas Agung menatapku dengan senyum lebar. "Sabar, Sayang."
Aku berdecak kesal. Tapi Mas Agung justru tertawa.
Aku tersentak saat Mas Agung meraih tanganku dan membawa ke kejantanannya yang sudah keras. Hangat kejantanan Mas Agung terasa di telapak tanganku. Mas Agung menggerakkan tanganku di kejantanannya.