Suasana makan malam itu berjalan sebagaimana makan malam bersama seperti biasanya. Tidak terlalu spesial bagi Angkasa. Namun ia cukup terganggu dengan sepasang mata bulat yang tak henti menatapnya dengan binar aneh. Padahal seingat Angkasa ia tidak pernah mengenali gadis itu, berpapasan pun rasanya tidak pernah.
Abai. Iya, Angkasa cukup mengabaikannya, kan?
"Angkasa, disapa dong, Aurora." Seruni, Mama Angkasa menyenggol siku Angkasa. Pemuda itu mengangkat pandangannya yang sedari tadi fokus pada piring makan. Tatapan tidak tertarik.
"Hai," seru cowok itu dengan nada datar. Perutnya lebih memerlukan perhatian daripada cewek bermata bulat yang duduk di seberang sana.
"Haii!" Respons gadis bernama Aurora itu terlalu berlebihan. Senyumnya merekah semakin lebar dan tangannya melambai antusias. Angkasa mendecih dalam hati. Kalau diperhatikan, cewek itu bahkan tidak menghabiskan seperempat dari makanannya. "Lo Angkasa, kan?" suara Aurora terdengar lagi, kini satu tangannya menopang dagu, senyuman manisnya tidak lekas hilang dari bibir tipis itu.
Angkasa mendengus samar. Meladeni orang setipe Aurora adalah salah satu hal yang paling malas ia lakukan. Merepotkan.
"Hm." Angkasa hanya membalasnya dengan gumaman singkat.
"Lo tahu nama gue, gak?"
Mungkin terlihat tidak sopan, tetapi bola mata Angkasa refleks memutar malas mendengar pertanyaan basa-basi itu. "Aurora."
Gadis itu bertepuk tangan kecil. "Lo ingat-"
"Apa nggak sebaiknya lo habiskan makanan lo alih-alih terus mengoceh hal yang gak perlu?" Angkasa segera memotong tak sabar.
Aurora meringis malu lalu meraih kembali sendok dan garpu yang sempat ia taruh di piring. Padahal baginya, ini kesempatan emas mengajak lelaki bernama Angkasa itu mengobrol. Dari awal Aurora sudah merasa tertarik, dan ia tidak keberatan melupakan kebutuhan perutnya demi Angkasa.
Akhirnya suasana kembali hening. Namun hanya berlangsung untuk beberapa saat sebelum Angkasa berhasil menghabiskan makanannya.
"Sa, kami berencana menjodohkan kamu dengan Aurora. Gimana pendapat kamu?" suara berat Felix, lelaki paruh baya yang merupakan ayah Aurora, berhasil membuat sendok Angkasa berhenti di udara sebelum sempat menyuap.
Untuk beberapa saat Angkasa mengerjap mencoba paham.
"Menjodohkan?" Angkasa membeo. Sendoknya segera turun kembali ke piring. Dahinya mengernyit samar. Obrolan random macam apa ini? Dia bukan sedang berada di acara ragam lawak, kan?
"Iya. Sekarang memang masih terasa asing. Tetapi seiring berjalannya waktu, kalian mungkin akan saling suka kalau sudah kenalan nanti," balas Felix lagi. Nadanya datar seolah ini hanyalah obrolan ringan untuk mengisi kekosongan percakapan.
Angkasa perhatikan raut wajahnya tampak tidak bercanda, namun Angkasa tidak bisa menilai dengan serius. Ia tidak bisa menjawabnya. Ini pasti bercanda, kan? Mata gelapnya beralih memandang bergantian pada kedua orang tuanya, meminta penjelasan atas ucapan lelaki berkacamata itu.
"Iya, Angkasa. Kamu sama Aurora sepertinya bakalan cocok." Seruni, mama Angkasa tersenyum sumringah sambil bertepuk tangan kecil memandangi anaknya dan Aurora bergantian. Mata Angkasa semakin membulat tak percaya. Kalau ada lelucon paling lucu tahun ini, sudah pasti suasana sekarang adalah pemenangnya.
Angkasa melirik gadis bernama Aurora di depannya. Ada binar wajah cerah yang menurut Angkasa menyebalkan. Sekaligus juga raut kebingungan yang terpeta pada guratan ekspresi Aurora. Sepertinya gadis itu juga tidak tahu apa-apa. Apa ini rencana orang tua mereka? Perjodohan ini?
"Ma-"
"Kamu percaya, deh! Bertunangan enggak seburuk yang kamu pikirkan, apalagi dengan Aurora. She's the cutest girl for you. Mama punya firasat kalau kalian berdua akan cocok bersama."
Tunangan? Entah kenapa Angkasa merasa ini seperti jebakan dalam hidupnya. Pertunangan ataupun perjodohan atau apapun istilahnya -persetan! Angkasa tidak mau! Kemarahan yang nyata terpampang jelas di raut wajahnya.
"Tapi Angkasa baru kelas dua SMP! Mana ada yang udah tunangan di umur segitu?!"
"Angkasa, ini hanya masalah waktu. Kita juga tidak memaksa kamu untuk terlalu terbebani dengan perjodohan ini. Jalani saja keseharian kamu seperti biasa," pria paruh baya itu kembali berbicara dengan nada tegas.
"Tidak memaksa? Berarti Angkasa berhak menolak, kan? Siapa juga yang mau menerima perjodohan konyol dengan cewek asing yang bahkan baru dikenalkan malam ini?" Angkasa menatap berani pada semua orang yang ada di meja makan itu. Lalu tatapan terakhirnya jatuh pada Aurora, cewek antah berantah yang tiba-tiba ditakdirkan untuk mengusik hidup Angkasa.
Aurora melarikan pandangannya kesana kemari dengan jari-jari yang bertaut gugup. Pandangan Angkasa terasa mengulitinya dengan galak sehingga nyali Aurora menciut untuk balik menatap balik mata segelap langit malam itu.
"Hei, lo," suara Angkasa memanggil, memaksa bola mata Aurora untuk menangkap wajah yang kini menampilkan raut keruh dan kesal. "Bilang kalau lo juga nggak setuju dengan ide konyol ini," tuntut Angkasa, rahangnya mengeras tegas dengan alis menukik tajam.
Aurora membuka mulutnya. "Gue-"
"Angkasa, kemari." Arthur, ayah Angkasa, yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara. Sosok yang selalu Angkasa hormati itu berdiri dan berjalan menjauh dari meja makan dengan diam. Mata Angkasa terpejam beberapa saat, ada hembusan nafas samar yang mengartikan pemuda itu sedang mencoba mengendalikan kemarahannya.
Kekesalan Angkasa bukan di taraf biasa lagi sekarang. Baginya, perjodohan ataupun pertunangan bukan hal yang main-main dan bisa dijalani seperti biasa. Dengan dada mengembang, Angkasa mengikuti langkah ayah kandungnya yang menjauh dari meja makan.
Pemuda itu menatap berani seakan matanya berkata bahwa dia memang tidak setuju dengan ide gila ini. Tidak pernah setuju. Tidak akan. "Pa, Angkasa-"
"Sa, tolong. Kamu harapan kita satu-satunya. Suatu saat nanti, kamu pasti akan mengerti. Dan ingatlah bahwa kami akan selalu berterimakasih atas kesediaan kamu untuk mengikuti keputusan yang tidak mudah ini."
Angkasa menggelengkan kepalanya. "Pa, ini sulit. Sangat sulit dimengerti. Bahkan jika Papa beri alasan terlogis sekali pun, Angkasa tetap akan sulit mengerti."
Benar. Angkasa tidak mengerti. Kenapa harus dia yang mengalami lelucon ini. Takdir seperti apa yang sedang Tuhan rencanakan dengan memenjarakannya dalam suatu status hubungan bernama perjodohan?
Sialan! Umpatan itu tak hentinya lepas dalam hati Angkasa.
Arthur menepuk bahu sang anak beberapa kali. Lelaki paruh baya itu pun tahu ini tidak akan mudah. Usia anaknya bahkan masih tergolong belia. Tetapi selalu ada alasan dalam sebuah pengorbanan. Dan Angkasa yang sekarang mungkin terlalu labil jika tahu alasannya.
"Orang tua selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, Sa. Kamu percaya sama Mama dan Papa, kan?" Arthur bertanya sekaligus mencoba memberikan pengertian kepada sang anak. Kedua lelaki beda usia itu saling bertatapan dengan makna yang dalam.
Sorot mata Angkasa yang dalam saat ini tampak kecewa. Dia memang menghormati ayahnya, tetapi mengapa rasanya ini tidak benar? Angkasa merasa terjebak dalam skenario saat ini. Ini masih terlalu berat. Hatinya tidak terima. Namun tatapan penuh kasih dan keyakinan dari sang ayah mampu menggoyahkan Angkasa.
"Tapi Pa..."
"Kalau masih cukup sulit, tolong anggap ini sebagai permohonan. Perjodohan kamu dan Aurora adalah permohonan kami, para orang dewasa yang terlalu bingung untuk mencari jalan keluar hingga harus mengorbankan perasaan kamu."
Angkasa tidak bisa lagi mengelak. Pemuda itu hanya memiliki firasat bahwa, malam ini dan ke depannya tidak akan sama lagi seperti hari-hari sebelumnya. Dengan terpaksa ia menerima perjodohan dan berganti status sebagai tunangan seorang gadis yang tampak merepotkan. Aurora, huh? Arti dari namanya saja sudah kelihatan kalau kelak warna-warna itu bakal memenuhi dunia Angkasa, yang lebih menyukai rasa sepi dan tak ingin tersentuh.
Mari kita lihat, siapa yang akan bertahan. Aurora dengan warna-warna indah yang membawa nuansa cerah, atau Angkasa sang langit kelam yang menikmati dunia sepinya.