/0/2468/coverbig.jpg?v=a385a086c9b718f6b69898d0994f96af)
Aku
Angin berembus menekan kulit membuatnya kembali merapatkan jaket. Lalu ia menolehkan kepala ke belakang kala mendengar suara langkah.
Alicia Middleton sudah merasa di ikuti sejak keluar dari kelap malam tapi, ia terus berpikir positif hingga sampai di rumah.
Namun kali ini, ia tak bisa berpikir positif lagi karena mendengar langkah di belakangnya semakin jelas. Maka dari itu, Alicia semakin mempercepat langkahnya bersamaan dengan langkah seseorang di belakangnya.
Alicia panik lalu, berlari tanpa menolehkan kepala untuk sekedar memastikan wajah seseorang yang mengikutinya. Tapi, ia sangat yakin kalau yang mengikutinya adalah salah satu pria mabuk di kelap.
"Tuhan, tolong aku." Alicia bicara dengan terus berlari melewati toko demi toko yang sebagian sudah di tutup karena sudah lewat tengah malam.
"Agh!"
Alicia tersentak lalu, menghentikan langkah. Ia menolehkan kepala ke asal suara dan ia melihat pria itu sedang membersihkan celananya maka tanpa pikir panjang, Alicia memacu langkahnya dengan cepat.
"Ah, sial!"
"Tolong!" Alicia berteriak sambil terus memacu kakinya lebih cepat. Ia benar-benar takut dengan pria mengejar di belakangannya.
Banyak risiko bekerja di kelap malam salah satunya di ikuti oleh pria hidung belang yang sedang mabuk. Ada satu kejadian di mana seorang wanita hampir di perkosa oleh pria yang mengikutinya tapi, untung saja wanita itu selamat dengan cara melukainya.
"Hai, jangan berlari atau meninta pertolongan! Aku bukan orang jahat."
Jangan pikir kalau Alicia akan percaya dengan kata-kata dari pria di belakangnya. Maling saja tidak mengaku sudah mengambil barang yang ada di tangannya, apa lagi orang di belakangnya. Jadi dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, ia mempercepat larinya.
Kini ia sungguh menyesal karna menolak ajakan rekan kerjanya untuk tidur di kamar khusus pekerja. Meski pihak kelap dan rekannya sudah mengatakan keamanan tempat itu tapi, ia memilih pulang.
Jam sudah menunjukkan angka tiga menjelang pagi dan seperti biasa, ia bersama rekan kerjanya di bolehkan untuk pulang atau menempati kamar tak jauh dari kelap. Namun, Alicia berbeda. Ia lebih suka tidur di rumah alih-alih di tempat yang di sediakan.
Alicia masih ingat saat melangkahkan kaki pertama kali untuk melihat kamar di sediakan, ia langsung tidak suka dan memilih untuk pulang meski selalu di bayangi rasa takut.
Ia tinggal sudut kota Las Vegas sementara tempat kerjanya ada di pusat kota. Perjalanan hingga sampai di rumah memakan waktu cukup lama dan selama tidak ada yang pria mabuk yang mengikutinya, maka ia akan baik-baik saja.
Setiap selesai kerja, ia selalu memastikan semuanya aman, terutama membuka wig hitamnya.
"Dapat!"
"Aaa, lepaskan aku! A–aku ngga punya apa-apa untuk kau ambil!" jeritnya kala merasakan tangan pria itu menyentuh lengannya.
"Hai, aku mohon jangan berteriak! Aku bukan orang jahat!"
Alih-alih menurut, Alicia malah semakin berteriak membuat pria itu terpaksa menutup mulutnya dengan salah satu tangan. "Aku bilang jangan berteriak! Aku mengikutimu untuk memberikan ini."
Alicia melotot melihat buku yang berisi semua rahasianya ada di depan wajahnya lalu, ia melirik pria yang menutup mulutnya. Siapa pria ini? Tanyanya dalam hati.
Ketika tangannya akan meraih buku itu tiba-tiba saja orang asing itu menjauhkannya. Alicia kembali memberontak, membuat si pria kewalahan menahannya.
"Aku akan melepaskanmu akan tetapi, kau harus berjanji untuk tidak berteriak?"
Alicia terus berontak, tidak peduli perkataan orang asing yang menutup mulutnya dengan menggunakan salah satu tangan.
"Astaga, kenapa kau keras kepala sekali? Aku mengikutimu hanya untuk memberikan buku diari ini dan kau harus percaya kalau aku bukan orang jahat!"
Bukan orang jahat? Alicia bicara dalam hati kemudian, menggigit tangan pria asing yang menutupi mulutnya.
Pria itu kesakitan membuat Alicia tersenyum puas lalu, dengan cepat mengambil diarinya dan berlari menjauh dari pria itu.
"Sial!"
Dengan masih berlari, Alicia menolehkan kepala untuk melihat pria asing itu. Lalu, ia mengalihkan pandangan saat mendapati pria itu malah memandanginya.
"Sial! Kenapa kau malah lari! Padahal, aku ingin minta maaf, karena sudah membaca semua isi bukunya."
"Max, apa kau menungguku?" Alicia berjalan mendekati, Max, anjing peliharaannya dan mengelus kepala Max dengan sayang yang di balas dengan jilatan di tangannya.
"Apa ayah sudah memberikanmu makan?" lalu mengalihkan pandangan pada tempat makan Max dan tersenyum senang. "Tentu saja sudah, kalau ayah sampai lupa memberimu makan maka–"
"Kau masih bermain judi yang tidak pernah menghasilkan uang itu?"
"Aku yakin kau sudah tahu jawabannya."
Alicia menghela nafas mendengar suara dari dalam rumah lalu, tersentak mendengar Max tiba-tiba menggonggong. Kemudian, dengan cepat ia meletakkan salah satu jari di depan bibirnya.
"Jangan mengeluarkan suara, Max!" perintahnya meski kadang di katakan orang gila tapi ia yakin, kalau Max mengerti karena anjingnya berhenti menggonggong.
"Ini waktunya orang tidur!" Lalu ia tersenyum, melihat Max menunduk. Lantas satu tangannya terulur untuk kembali mengelus kepala anjingnya dengan sayang.
"Anjing pintar."
"Astaga! Uang dari mana lagi? Kemarin putriku baru gajian dan uangnya langsung di bayar untuk mengangsur hutangmu dan sekarang? Kau–"
"Dia juga putriku dan sudah sepantasnya untuk melunasi hutangku! Kau pikir aku banting tulang mencari uang dulu untuk siapa? Dia dan.."
Alicia menutup telinga agar tidak mendengar perkataan ayahnya lebih jauh lagi seolah-olah dirinya bukan anak kandung.
Memang ada seorang Ayah yang menjadikan perjuangan untuk membesarkan sebagai hutang budi untuk anaknya di masa depan? Tidak, mungkin hanya ayahnya yang melakukan itu.
Tapi, seburuk-buruknya pria itu, Alicia tidak bisa membencinya. Kecewa mungkin ada tapi, semua itu hilang saat mengingat bagaimana pria itu menyayanginya. Dulu, sebelum ayahnya mengenal meja perjudian dan menjadikannya candu.
Matanya tidak sengaja melirik Max seperti sedang mencari perhatian membuatnya tersenyum dan mengelus kepala anjing itu dengan sayang. "Aku tidak apa-apa."
Tiba-tiba ia menguap dan kembali menatap Max. "Aku mengantuk sekali. Max, aku masuk dulu ya! Kau jangan berisik!"
Alicia mengelus kembali kepala anjing keturunan Doberman miliknya itu dengan sayang. Kemudian, memberikan ciuman selamat malam dan bangkit dari berjongkok untuk berjalan memasuki rumah.
"Jadi, semua hal yang kau lakukan pada kami selama ini tidak tulus? Astaga, aku tidak percaya sudah menikahi pria sepertimu!"
Saat membuka pintu, ayah dan ibunya langsung berhenti bertengkar. Kemudian, mereka meliriknya dengan wajah pucat basi apa lagi ibunya.
"Aku pulang, maaf, membuat ibu menunggu." Tuturnya tanpa melihat kedua orangnya dan berjalan mendekati tempat sepatu dan meletakkan sepatunya di sana.
Kemudian ia berbalik hendak melanjutkan langkah tapi tidak di lakukanya karena mengingat sesuatu. "Kalau mau berdebat jangan keras-keras nanti, orang yang masih tidur terganggu."
Setelahnya ia melanjutkan langkah menuju pintu kamar dan menutupnya. Alicia terdiam dengan duduk di ranjang sambil menatap dinding dengan tatapan kosong.
Hampir setiap hari orang tuanya bertengkar dengan masalah yang sama yaitu kebiasaan ayahnya. Di tambah lagi dengan pria itu pulang ke rumah saat menjelang pagi membuat ibunya semakin emosi.
Alicia menghela nafas kasar dan tiba-tiba saja, mengingat buku diarinya. Ia membuka tas dan mengeluarkan buku yang sudah hilang dari lima hari lalu.
"Pria asing yang tidak sopan." Ucapnya ketika mengingat perkataan pria tadi lalu, ia berdiri dan berjalan menuju nakas. Setelah menyimpan bukunya, ia melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Saat lelah, ia tak ingin mengatakan apapun. Hanya ada dua hal yang ingin ia lakukan saat ini adalah membersihkan tubuh dengan air dan tidur.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Evelyn, yang dulunya seorang pewaris yang dimanja, tiba-tiba kehilangan segalanya ketika putri asli menjebaknya, tunangannya mengejeknya, dan orang tua angkatnya mengusirnya. Mereka semua ingin melihatnya jatuh. Namun, Evelyn mengungkap jati dirinya yang sebenarnya: pewaris kekayaan yang sangat besar, peretas terkenal, desainer perhiasan papan atas, penulis rahasia, dan dokter berbakat. Ngeri dengan kebangkitannya yang gemilang, orang tua angkatnya menuntut setengah dari kekayaan barunya. Elena mengungkap kekejaman mereka dan menolak. Mantannya memohon kesempatan kedua, tetapi dia mengejek, "Apakah menurutmu kamu pantas mendapatkannya?" Kemudian seorang tokoh besar yang berkuasa melamar dengan lembut, "Menikahlah denganku?"
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?