Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Sugar Baby
Sugar Baby

Sugar Baby

5.0
45 Bab
679 Penayangan
Baca Sekarang

Vanya mendaftar jadi sugar baby karena terdesak biaya kuliah, bertemu Erick-CEO tampan yang muak dengan cinta palsu-di situs elite dating. Chemistry tak terduga mengubah kontrak bisnis menjadi permainan cinta yang berbahaya.

Konten

Bab 1 Dilema Dua Hati

Layar laptop memantulkan cahaya putih pucat ke wajah Vanya yang kusut. Email dari universitas terbuka di hadapannya, huruf-huruf hitam yang seolah menari mengejek di atas latar putih. "Kami menyesal harus menginformasikan bahwa permohonan beasiswa Anda tidak dapat kami setujui untuk periode ini..."

"Sialan!" Vanya memukul meja hingga cangkir kopinya bergetar. Kopi dingin yang tersisa sedikit tumpah, meninggalkan noda coklat di atas kertas tugas yang belum selesai.

Jemarinya yang gemetar mengklik tab browser lain. Sistem pembayaran universitas menampilkan angka yang membuat perutnya mual-lima belas juta rupiah untuk semester depan. Deadline pembayaran: dua minggu lagi.

Vanya menjatuhkan kepalanya ke meja, hidungnya mencium aroma kayu lapis murah yang bercampur dengan bau kopi basi. Rambutnya yang kusut menutupi wajah, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata.

"Kenapa sih selalu gini..." bisiknya pada dinding kamar kos yang mengelupas catnya.

Ponselnya bergetar. Pesan dari mama.

"Vanya sayang, papa baru dapat resep dokter lagi. Ada obat yang gak dicover asuransi. Obatnya mahal sekali. Maaf ya nak, bulan ini mama belum bisa kirim uang untuk kamu."

Vanya menggigit bibir bawahnya sampai terasa asin darah. Dia tidak bisa, dan tidak akan menambah beban orang tuanya. Papa sudah cukup menderita dengan penyakit diabetesnya yang semakin parah. Mama sudah bekerja dari pagi sampai malam di warung.

Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak.

"Van? Kamu di dalam?" Suara Riska terdengar khawatir.

Vanya cepat-cepat menghapus air mata dengan punggung tangan. "Masuk aja, Ris. Nggak dikunci."

Riska melongokkan kepala, rambut bob burgundy-nya berayun. "Wah, mukamu kenapa? Kayak orang habis nonton drama Korea tiga episode berturut-turut."

"Beasiswa ditolak." Vanya menunjuk layar laptop dengan dagu.

"Anjir, yang bener?" Riska masuk dan menutup pintu. Dia menjatuhkan diri di kasur Vanya yang berderit protes. "Padahal IPK-mu kan 3,8?"

"3,85." Vanya tertawa pahit. "Tapi tetep aja kalah sama anak-anak yang punya 'prestasi non-akademik'. Alias yang bapaknya pejabat."

"Kampret emang sistem negara ini." Riska meraih tas keripik singkong dari meja Vanya dan mulai mengunyah dengan berisik. "Terus gimana? Semester depan?"

Vanya memutar laptopnya menghadap Riska, menunjukkan halaman pembayaran. Riska tersedak keripik.

"Lima belas juta?! Itu mah bisa buat beli motor!"

"Makanya." Vanya menutup laptop dengan kasar. "Dua minggu lagi deadline-nya. Kerjaan part-time di kafe cuma dapat tiga juta sebulan. Mau ngutang ke siapa coba?"

***

Sementara itu, di sisi lain Jakarta yang gemerlap, Erick Wijaya melempar ponselnya ke sofa kulit Italia yang empuk. iPhone terbarunya mendarat tanpa suara di permukaan yang lembut. Suara ibunya masih terngiang di telinga.

"Erick, kamu sudah 32 tahun! Anak teman mama yang umurnya 28 aja sudah punya dua anak. Kamu kapan? Mama mau cucu!"

Erick mengusap wajah dengan telapak tangan. Parfum Tom Ford yang dipakainya tercium samar, bercampur dengan aroma whisky yang baru dituangnya. Liquid emas itu berputar pelan di dalam gelas kristal saat dia mengangkatnya.

Jendela floor to ceiling apartemennya menampilkan pemandangan Jakarta malam hari. Lampu-lampu gedung berkelap-kelip seperti bintang buatan. Dari lantai 45 ini, semua masalah terlihat kecil. Kecuali satu masalah yang terus menghantuinya.

Kesendirian.

"Persetan," gumamnya, meneguk whisky sampai tenggorokannya panas.

Ponselnya bergetar lagi. Kali ini email dari sekretarisnya.

"Pak Erick, pengingat untuk makan malam dengan Ms. Clarissa Tanujaya besok malam di Amuz. Reservasi sudah saya buatkan untuk pukul 19.00."

Clarissa. Anak pengusaha properti yang sudah tiga kali di set up sama tantenya. Cantik? Jelas. Pintar? Lulusan Wharton. Tapi Erick sudah tahu endingnya. Sama seperti yang lain-lain.

Minggu lalu, dia tidak sengaja mendengar Clarissa telepon sama temannya. "Gila, Erick Wijaya lho! Net worth-nya triliunan. Gue harus bisa dapetin dia. Lo bayangin, jadi nyonya Wijaya..."

Erick memutar kursinya menghadap koleksi foto di meja. Satu-satunya foto yang ada dirinya bersama Jonas di hari wisuda MBA mereka. Dua orang bodoh yang percaya mereka bisa mengubah dunia. Sekarang perusahaannya memang mengubah landscape teknologi Indonesia, tapi hidupnya? Tetap kosong.

Dia membuka laptop. Email dari investor, proposal merger, laporan kuartalan, semua menunggu perhatiannya. Tapi malam ini, Erick tidak peduli. Jarinya malah mengetik sesuatu yang lain di search bar.

"Cara mengatasi kesepian"

Hasil pencarian membuatnya mendengus. Artikel-artikel klise tentang hobi baru, adopsi hewan peliharaan, atau... online dating?

"Yang bener aja," Erick menutup laptop.

Tapi pikirannya terus berputar. Setiap hubungan yang dia jalani selalu berakhir sama. Begitu tahu siapa dia sebenarnya, topeng-topeng mulai terlepas. Yang tersisa hanya keserakahan dan kepalsuan.

***

Vanya menatap layar laptopnya dengan mata sembab. Riska sudah pulang sejak sejam lalu, meninggalkannya sendirian dengan pikiran yang kacau. Jari-jarinya bergerak tanpa sadar, scrolling media sosial tanpa tujuan.

Sebuah iklan muncul di timeline-nya. Banner merah muda dengan font elegan.

"Elite Companionship - Where Successful People Meet"

"Raih impianmu bersama partner yang tepat. Pendidikan? Karir? Lifestyle? Kami hubungkan Anda dengan mereka yang bisa membantu mewujudkannya."

Vanya hampir scroll melewatinya, tapi kata "pendidikan" membuatnya berhenti. Jarinya ragu-ragu di atas trackpad. Dia tahu apa ini. Sugar dating. Fenomena yang lagi marak di kalangan mahasiswi yang butuh biaya kuliah.

"Nggak, nggak, nggak." Vanya menggeleng keras. "Gue gak serendah itu."

Tapi tab pembayaran kuliah masih terbuka di browser. Lima belas juta. Dua minggu.

Vanya menggigit kuku ibu jarinya-kebiasaan buruk saat stress. Rasa pahit cat kuku murah tercecap di lidah. Pikirannya berkelana ke teman-teman seangkatannya. Putri yang tiba-tiba punya iPhone terbaru. Mela yang posting foto dari Bali tiap bulan. Semuanya punya "sponsor".

"Mereka bisa lulus tepat waktu," bisik Vanya pada dirinya sendiri. "Nggak kayak gue yang harus cuti semester depan."

Tangannya bergerak sendiri, mengklik iklan itu.

Website-nya terlihat profesional. Bukan seperti situs murahan. Testimoni dari member yang sudah berhasil menyelesaikan S2 di luar negeri. Foto-foto couple yang terlihat bahagia-meski Vanya tahu itu semua pasti rekayasa.

Sebuah pop up muncul. "Daftar sekarang dan dapatkan verification badge GRATIS!"

Vanya menutup laptop dengan keras. Dia merebahkan diri di kasur. Spring bed murahan berdecit di bawah berat badannya. Dari celah gorden, lampu jalanan menerangi poster motivasi di dinding-hadiah dari papa saat dia diterima kuliah.

"Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia - Nelson Mandela"

Air mata mengalir lagi. Papa yang rela jual motor untuk bayar uang pangkal kuliah. Mama yang nggak pernah beli baju baru demi bisa kirim uang bulanan. Dan sekarang dia mempertimbangkan untuk...

"Maafin Vanya, Pa, Ma," isak tangisnya teredam bantal.

***

Erick terbangun dari lamunan saat ponselnya berdering. Jonas.

"Bro, lagi ngapain? Suara lo tadi di telepon kayak orang mau loncat dari balkon."

"Gue baik-baik aja." Erick menyalakan speaker phone sambil menuang whisky lagi.

"Baik-baik aja pantat lo. Gue kenal lo dari jaman masih miskin, inget? Cerita aja."

Erick tersenyum tipis. Jonas memang satu-satunya orang yang berani ngomong frontal ke dia. "Nyokap nelpon lagi. Maksa gue nikah."

"Ya udah nikah aja. Clarissa kan lumayan. Cantik, pinter, tajir juga."

"Dan cuma pengen duit gue."

"Lah, semua juga gitu kan?" Jonas tertawa. "Sorry bro, tapi dengan status lo sekarang, susah cari yang bener-bener tulus. Kecuali lo mau nyamar jadi tukang fotokopi dulu."

"Gue serius, Jon."

Hening sebentar. Suara Jonas berubah serius. "Lo kesepian ya?"

Erick tidak menjawab. Dia tidak perlu. Jonas sudah tahu.

"Dengerin gue," kata Jonas. "Lo butuh sesuatu yang... berbeda. Nggak usah yang conventional. Cari yang jujur dari awal. No bullshit. No drama."

"Maksud lo?"

"Pernah denger Elite Companionship?"

Erick mengerutkan kening. "Sugar dating?"

"Jangan judgemental dulu. Ini beda. Professional. Mereka screen membernya ketat. Dan yang penting, semua jelas dari awal. Nggak ada yang pura-pura cinta, nggak ada yang bohongin niat. Lo dapet companion, mereka dapet support. Win-win."

"Jon, lo gila?"

"Gue cuma kasih opsi. Daripada lo stress terus tiap kali ketemu cewek yang cuma mau duit lo tapi pura-pura nggak. Ini at least lebih jujur."

Setelah Jonas tutup telepon, Erick duduk terdiam. Layar laptopnya masih menyala. Jarinya bergerak mengetik.

"Elite Companionship"

Website yang sama yang dilihat Vanya muncul di layarnya. Erick membaca dengan seksama. Professional. Discreet. Mutual benefit.

"Ini gila," gumamnya.

Tapi tangannya tetap scrolling. Membaca testimoni. Melihat-lihat prosedur. Semua tampak... masuk akal? Tidak ada drama. Tidak ada kebohongan. Semua clear dari awal.

Chat dari sekretarisnya masuk. Reminder untuk makan malam dengan Clarissa besok.

Erick menatap bergantian antara email dan website Elite Companionship. Antara kebohongan yang dibungkus cantik dan kejujuran yang telanjang.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY