mantulkan cahaya lampu kota yang buram. Di dalam, ayahnya, lelaki yang dulu gagah dan selalu memberinya semangat untuk menjelajahi dunia, kini terbaring lemah, terhubung dengan selang-s
. Sejak kecil, ia tak pernah takut kotor, lebih suka mendaki pohon daripada bermain boneka, dan selalu memimpikan perjalanan tanpa batas. Pekerjaannya sebagai fotografer
ir. Bu Rita bukan sekadar tetangga atau kenalan biasa; ia adalah mak comblang, perantara dari sebuah tawa
k-baik?" suara Bu Rita terdengar lembu
ya yang pucat. "Apa... apa tidak ada jalan lain, Bu?" suara
t sudah mulai menagih. Dan ini satu-satunya jalan tercepat. Dhimas itu orang kaya,
a. Risa tak pernah membayangkan hidupnya akan berakhir seperti ini. Ia selalu berpikir akan menikahi seseorang yang ia cintai, yang b
. Risa memperhatikan Dhimas. Lelaki itu tampak... biasa saja. Mengenakan kemeja rapi berwarna pastel dan celana kain yang disetrika licin, rambutnya tersisir rapi ke samping,
ratnya. Setelah menikah, kamu harus tinggal di rumah kami. Dan... jangan pernah berpikir untuk menola
ndak hatinya sendiri. Kini, ia harus patuh pada orang asing, pada sebuah janji yang terasa seperti rantai yang tak terlihat. Ia meliri
" Nyonya Pramudya m
las dengan pandangan kosong. "Terserah Mama,"
adakah sesuatu yang lain di balik tatapan kosong itu? Risa merasa ada sesuatu yang jan
dominasi oleh kehadiran Nyonya Pramudya. Risa mengenakan kebaya sederhana yang dipinjamkan tetangga, rambutnya disanggul seadanya. Ia tidak mer
s dan jelas. Untuk sesaat, Risa merasakan denyutan ane
ansion mewah di kawasan elit Jakarta, dengan gerbang tinggi dan taman yang lua
amarmu. Dhimas akan tinggal di kamar sebelah. Kalian bisa berinteraksi di ar
yang baru terasa seperti diatur dal
mar Risa setelah Nyonya Pramudya memastikan mereka berdua ada di sana. Risa duduk di
pi yang sama. "Ehm... maaf," katanya pelan, "Mama
an di matanya. "Aku baik-ba
esekali melirik pintu. "Kalau be
. Risa menahannya. "Dhimas, kenapa
ahunya sedikit merosot. "Seperti yang
Atau untuk Ibumu?" Risa tak bisa menah
esuatu di tatapan itu, sesuatu yang tidak Risa lihat saat Nyonya Pramudya a
i sebelumnya, "hidupku tidak sesederhana yang kam
langkah keluar kamar dan menutup pintu. Risa terdiam. Ra
ap kata yang keluar dari bibirnya. Ia diatur harus bangun jam berapa, sarapan apa, bahkan pakaian apa yang
adi sosok pria kalem dan patuh. Mereka makan bersama di meja makan besar yang terasa
menemukan sebuah bangku di bawah pohon rindang. Ia mengeluarkan buku sketsanya, mencoba mencari inspi
tam. Rambutnya sedikit gondrong, jaket kulit hitam membalut tubuhnya yang tegap, dan sepatu boots kulit kasar tampak di kakinya. Ia memakai kacamata hit
s yang berbeda. Tanpa kacamata berbingkai tipis, rambutnya tampak sedikit acak-acakan namun tetap menar
i Dhimas yang selalu bersama Nyonya Pramudya. Ia tamp
. Ia ternyata menyadari keberadaan R
"Aku... aku han
lebar. "Hati-hati. Mama tidak suka k
"Tapi... kam
apannya kini lebih serius. "Aku berbeda, Risa. D
menahan rasa penasarannya. "Yang mana Dhimas yang
Yang ini," bisiknya, menunjuk dirinya dengan jempol, "adalah aku saat aku bisa
entang apa yang mungkin terjadi pada Dhimas. Ia terjebak. Terjebak dala
emasang helmnya kembali. "Jangan
n motornya, meninggalkan Risa dengan segudang pertanyaan dan
i mana Dhimas yang "lain" akan muncul. Kadang, ia melihat Dhimas menyelinap keluar rumah di malam har
wati ruang tamu, ia mendengar suara piano yang lembut dari arah ruang musik. Nada-nada itu
ata Dhimas terpejam, wajahnya menunjukkan ekspresi damai yang belum pernah Risa lihat sebelumnya. Aura yang dipancarkannya sangat berbeda dari Dh
Suara piano berhenti. Dhimas membuka matanya, dan pandangannya langsung bertemu
di sini?" suaranya ke
... aku hanya... men
engan langkah cepat. "Sudah kubilang, janga
" Risa merasa kesal. "Kenapa kamu sela
tap tajam. "Karena sisi itu... bu
u saja ini urusanku! Apa yang kamu sembuny
kan wajah, menyugar rambutnya dengan fru
"Bagaimana aku bisa hidup dengan seseorang yang
lebih lembut, namun masih penuh kesedihan. "Ada hal
ubah. Ia memundurkan langkahnya, mengambil posisi seolah ia baru saja hendak
mengantuk namun tetap waspada. "Ada
enjawab dengan suara pelan dan patuh. "
a. "Risa, kamu kenapa? Jangan membuat mas
g ibunya, seolah tak ada apapun yang terjadi beberapa detik sebelumnya. Perubahan itu begi
pa ia harus bersembunyi dari ibunya sendiri? Rasa penasaran Risa kini berubah menjadi
ak Dhimas yang lain, namun nihil. Dhimas yang ia temui di meja makan a
ribadinya. Ruangan itu didominasi oleh buku-buku tebal dan
a tenang namun dingin, "sudah dua bulan
n kening. "Kaba
hamilan. Kamu tahu kan, tujuan pernikahan i
tahu. Ia tahu ini akan datang. T
mudya. "Keturunan. Untuk melanjutkan nama keluarg
k. "Tapi... ini tid
mpai ke matanya. "Kamu tidak tahu seberapa besar harga yang sudah kami
irawat, utang-utangnya sudah ditanggung, dan kini ia diwajibkan untuk memenuhi tuntutan lain. Tuntutan yan
mengakhiri. "Jika tidak ada kabar baik dalam enam
awatan, utang-utangnya akan kembali membelit, dan ia
ulan. Bagaimana ia bisa hamil jika suaminya sendiri seperti orang asing, dengan dua sisi
pantulan dirinya yang berbeda. Bukan lagi Risa si petualang yang b
kan niatnya. Bagaimana ia bisa menceritakan semua ini pada Maya? Tentang pernikahan kontraknya, te
ing jauh, ia melihat Dhimas. Bukan Dhimas yang rapi dan patuh, melainkan Dhimas dengan kaus oblong dan celana training, sedang berlatih bela diri
ak terduga? Dhimas ini, sang ahli bela diri, adalah Dhimas yang paling berbeda dari semuanya. Ia ad
yak sisi tersembunyi, mungkin ia juga menyimpan rahasia lain.
elaskan. Tidak sekarang." Dan ucapan Nyonya Pramudya: "Keturunan. Untuk
arapan terakhir? Bukankah
k beres, sesuatu yang lebih besar dari sekadar pernikahan kontrak biasa. Ia merasa seper
ng-dinding mansion megah ini? Dan yang terpenting, mampukah ia menemukan kebahagiaannya sendiri di tengah badai yang tak berkes