Unduh Aplikasi panas
Beranda / Lainnya / CINTA DAN PENGORBANAN
CINTA DAN PENGORBANAN

CINTA DAN PENGORBANAN

5.0
20 Bab
34 Penayangan
Baca Sekarang

Vanezha Dynazka, yang akrab disapa Nezha, tumbuh dalam pahitnya hidup tanpa kasih sayang keduaorangtuanya. Kehilangan nenek tercinta di tengah pencariannya akan ibu kandung, Nezha dipaksa melangkah sendiri menghadapi kerasnya takdir. Sebuah kecelakaan mempertemukannya dengan Aretha, wanita penuh pesona yang memberi warna baru dalam hidupnya. Namun, kebahagiaan itu diuji ketika Nezha dihadapkan pada pilihan yang menghancurkan hati, melepas cintanya demi melunasi hutang budi. Hingga sebuah rahasia besar terungkap dan mengubah segalanya dalam hidup Nezha. Apakah Nezha mampu melawan badai yang menghempas hidupnya, atau takdir justru akan menjatuhkannya lebih dalam? Yuk, ikuti kisahnya ini.

Konten

Bab 1 Keputusan Besar

Siti Saudah, seorang wanita tua berusia 70 tahun, duduk di kursi plastik di sudut ruang praktik dokter. Tubuhnya yang ringkih sesekali menggigil, meski ruangan itu tidak ber-AC. Tangannya yang keriput menggenggam erat tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan di tengah rasa cemas yang menghantui.

Di hadapannya, seorang dokter muda dengan raut wajah penuh simpati tengah membaca hasil laporan medis yang baru saja dicetak.

"Bu Siti." suara dokter itu terdengar lembut, namun tegas, "hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi kesehatan Ibu sudah cukup serius."

Siti menatap dokter dengan mata cemas, meski ia sudah menduga kabar buruk itu, tapi hatinya tetap tak siap. "Apa penyakit saya masih bisa disembuhkan, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar.

Dokter itu menarik napasnya dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang paling tepat.

"Penyakit Ibu sudah memasuki tahap lanjut. Berdasarkan hasil medis, usia Ibu mungkin hanya tersisa sekitar enam bulan. Tapi, ini hanyalah prediksi medis. Hidup dan mati seseorang hanya Allah yang menentukan. Saya menyarankan agar Ibu mempersiapkan diri dan fokus menjalani sisa waktu dengan tenang."

Kata-kata itu menghantam Siti seperti badai. Ia terdiam. Wajahnya yang biasanya tegar kini tampak rapuh. Pandangannya mengarah ke jendela, menembus tirai tipis yang bergoyang lembut diterpa angin. Ia mencoba mencari ketenangan dalam pikirannya yang kalut.

"Terima kasih, Dok," ucap Siti akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Dengan langkah gontai, ia meninggalkan ruang praktik.

Siti berjalan dengan langkah gontai menyusuri jalanan menuju rumah kecilnya. Langit sore di desa itu berwarna jingga keemasan, memberikan kehangatan yang kontras dengan dinginnya hati Siti. Tas kain usang yang digenggamnya terayun perlahan mengikuti langkahnya. Sepanjang perjalanan, pikirannya tak lepas dari wajah cucunya, Vanezha, gadis yang menjadi satu-satunya alasan ia bertahan hidup.

"Bagaimana nasibmu nanti, Nezha? Tanpa Nenek, siapa yang akan menjaga dan melindungimu?" batinnya. Air matanya jatuh tanpa ia sadari, membasahi pipinya yang telah dipenuhi kerut usia.

Setelah berjalan cukup jauh, Siti tiba di halaman rumahnya yang sederhana. Rumah berdinding kayu dengan pekarangan kecil yang dipenuhi bunga liar itu adalah saksi dari perjuangan hidup mereka selama ini.

Begitu masuk ke dalam, aroma nasi yang baru matang menyambutnya. Nezha, gadis mungil berusia tiga belas tahun, tampak sibuk mengaduk lauk sederhana di atas kompor kecil.

"Nenek! Sudah pulang? Aku udah masak nasi sama goreng tahu. Tapi sayurnya cuma kangkung, nggak apa-apa, kan?" ucap Nezha ceria sambil membawa piring ke meja kayu tua mereka.

Vanezha, atau yang akrab disapa Nezha, adalah gadis belia dengan tubuh mungil dan wajah cerah yang selalu memancarkan keceriaan. Rambutnya hitam legam dan diikat rapi ke belakang. Matanya berbinar, penuh semangat hidup meskipun kondisi mereka serba pas-pasan. Dalam keterbatasan, Nezha tumbuh menjadi gadis mandiri dan tak pernah mengeluh, membuat Siti semakin menyayanginya.

Siti duduk di kursi reyot di dekat meja, memperhatikan Nezha yang sibuk menyiapkan makanan. Senyumnya muncul, meski hatinya terasa berat. Pikirannya berkecamuk, bingung mencari cara untuk memastikan masa depan cucunya sebelum ajal menjemput.

"Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku tak sanggup membayangkan Nezha hidup tanpa aku," gumamnya pelan.

Nezha yang memperhatikan wajah neneknya tampak murung, segera menghampiri. "Nenek, kenapa? Kok sedih? Nenek lagi mikirin apa sih?" tanyanya polos sambil menatap wajah Siti.

Siti terkejut, lalu cepat-cepat menghapus air matanya. Ia tak ingin membuat Nezha khawatir. "Ah, nggak apa-apa, Sayang. Nenek cuma capek saja. Sudah, yuk kita makan. Nenek sudah lapar," ujarnya sambil tersenyum, berusaha mengalihkan perhatian Nezha.

Nezha mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan neneknya. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

Keduanya duduk bersama menikmati makanan sederhana di meja kecil itu. Suara sendok dan piring beradu menjadi latar suasana sunyi mereka. Siti sesekali memandang Nezha dengan mata yang basah.

"Aku tidak boleh menyerah. Sebelum waktuku habis, aku harus memastikan Nezha punya masa depan. Aku harus menemukan Winda," tekad Siti dalam hati.

Malam itu, setelah makan malam sederhana mereka, Siti duduk di ranjangnya, menatap kosong ke dinding kayu yang retak. Angin malam masuk melalui celah-celah jendela, mengantarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Pikirannya dipenuhi kenangan lama dan rencana besar yang kini menggantung di benaknya.

Ia masih ingat kabar yang pernah didapatnya dari Pak Darjo, tetangganya yang sering bepergian ke jakarta. Lelaki itu pernah memberitahunya kalau ia sempat melihat Winda, putrinya, di kawasan Pasar Senen, Jakarta. Winda bekerja menjaga toko sembako di sana, tapi Pak Darjo tak tahu pasti di mana anaknya tinggal.

"Jakarta itu luas. Kalau ia ingin mencari Winda, tentu butuh waktu, tenaga, dan keberanian'" ucap Pak Darjo kala itu.

Namun, hatinya sudah bulat. Cepat atau lambat, ia harus berangkat untuk mencari keberadaan putrinya.

Siti menoleh ke arah Nezha yang terlelap di atas kasur tipisnya. Gadis itu tidur nyenyak, memeluk bantal lusuh yang selalu setia menemani malam-malamnya. Wajah mungilnya tampak damai, meski hidupnya jauh dari kemewahan.

Air mata Siti kembali mengalir. "Nezha, kamu gadis yang kuat. Nenek nggak akan biarkan kamu hidup sendirian. Nenek akan berjuang untukmu, sampai napas terakhir," bisiknya dengan suara serak.

Kenangan pahit tentang Winda kembali menghantui pikirannya. Ia teringat malam itu, bertahun-tahun lalu, ketika Winda berdiri di depan pintu dengan bayi mungil di pelukannya, air matanya yang tak berhenti mengalir.

Flasback on.

"Mak, aku nggak bisa. Aku nggak sanggup. Nezha... Nezha lebih baik tinggal sama Emak," ujar Winda dengan suara bergetar.

Siti menatapnya dengan tatapan tajam. "Winda! Kamu ini bicara apa? Nezha Itu anakmu! Bagaimana bisa kau meninggalkannya?"

"Enggak, Mak! Aku nggak mau mengasuh bayi haram ini. Kalau Emak nggak mau, aku akan serahkan dia ke panti asuhan!" bentak Winda dengan nada putus asa.

Siti tercekat. Kata-kata itu bagai cambuk yang menghujam hatinya. "Winda, apa kamu sadar apa yang kamu ucapkan barusan! Anak ini darah dagingmu!"

Winda menangis tersedu-sedu. "Mak, aku malu. Tetangga-tetangga sudah mencibirku. Hidupku sudah hancur, Mak. Aku nggak sanggup hidup seperti ini. Aku mau ke Jakarta. Aku mau memulai hidup baru di sana."

"Dan kau tega meninggalkan Emak sendirian?" Suara Siti melemah.

"Maafkan aku, Mak. Aku janji, setelah sukses nanti, aku akan kembali. Tolong restui aku, Mak. Aku mohon..." Winda berlutut, memohon restu dengan air mata yang terus mengalir.

Siti hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu hatinya tidak bisa menahan Winda lebih lama. "Baiklah. Kalau kamu memang mau ke Jakarta, pergilah. Tapi ingat pesan Emak, jaga dirimu baik-baik. Jangan lupakan kami di sini."

Winda mengangguk. "Iya, Mak. Insya Allah, aku nggak akan lupa."

Sejak malam itu, Winda pergi dan tak pernah kembali, Bayi kecil yang ia tinggalkan kini tumbuh menjadi gadis ceria yang mengisi hari-hari Siti. Tapi rasa rindu dan harapan untuk bertemu Winda lagi tak pernah padam.

Falsback off.

Siti menghapus air matanya. Dengan sisa tenaga dan waktu yang ia miliki, ia bertekad untuk pergi ke Jakarta, mencari Winda, dan memastikan Nezha tidak akan terlunta-lunta tanpa arahan.

"Ya Allah, beri aku kekuatan untuk melindungi cucuku. Aku hanya ingin melihat dia punya masa depan yang cerah," doanya lirih sebelum akhirnya ia merebahkan tubuh lelahnya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY