Dunia Alana seolah runtuh dalam sekejap. Cermin kehidupannya yang selama ini ia kira utuh dan indah, kini pecah berkeping-keping. Setiap pecahan memantulkan bayangan dirinya yang hancur, dikelilingi oleh puing-puing kepercayaan yang tak bersisa. Tenggorokannya tercekat, napasnya memburu, dan denyut di pelipisnya bertalu-talu seperti genderang perang.
"Tidak mungkin," bisiknya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. Ia ingin menolak, berteriak bahwa ini semua adalah lelucon kejam, fitnah belaka. Namun, hatinya tahu. Ada rasa sakit yang begitu familiar, firasat buruk yang selama ini ia abaikan, kini menjelma menjadi monster yang melahap jiwanya.
Kenzo. Nama itu terucap pahit di bibirnya. Enam tahun pernikahan mereka, enam tahun yang ia pikir dipenuhi cinta dan kebahagiaan. Kenzo adalah pria impian. Tampan, karismatik, sukses dalam kariernya sebagai arsitek terkemuka. Ia selalu memperlakukan Alana dengan penuh perhatian, selalu ada di setiap momen penting, dan yang terpenting, ia adalah ayah yang luar biasa bagi Arya dan Luna, buah hati mereka. Kenzo adalah segalanya bagi Alana. Ia adalah jangkar dalam badai, pelabuhan saat lelah, dan bintang penuntun di kegelapan. Bagaimana mungkin pria seperti itu tega mengkhianatinya?
Dan Risa. Adik tiri Alana. Adik yang sejak kecil selalu ia lindungi, ia sayangi. Meskipun mereka bukan saudara kandung, Alana selalu memperlakukan Risa seperti adik kandungnya sendiri. Ibu Alana meninggal saat ia kecil, dan ayahnya menikah lagi dengan ibu Risa ketika Alana berumur delapan tahun. Sejak saat itu, Risa, yang setahun lebih muda darinya, menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Mereka berbagi kamar, berbagi rahasia, berbagi tawa dan tangis. Alana bahkan rela mengalah dalam banyak hal demi Risa. Saat Risa kesulitan membayar kuliah, Alana yang baru saja bekerja keras mengumpulkan uang untuk membantu. Saat Risa sakit, Alana yang selalu siap sedia menemaninya di rumah sakit. Mengapa Risa, orang yang ia sayangi seperti darah dagingnya sendiri, tega menikamnya dari belakang?
Kilasan-kilasan masa lalu berkelebat dalam benak Alana, menyakitkan seperti pecahan kaca yang menusuk-nusuk ingatannya. Ia teringat bagaimana Kenzo selalu memuji masakan Risa saat mereka makan malam bersama. Ia teringat bagaimana Kenzo seringkali menawarkan diri untuk mengantar Risa pulang jika sudah terlalu larut, alasannya sederhana, "Demi keamanan Risa." Alana selalu melihat itu sebagai bentuk perhatian seorang kakak ipar. Bahkan, ia seringkali merasa terharu melihat keakraban Kenzo dengan Risa, berpikir betapa beruntungnya ia memiliki suami dan adik yang saling menyayangi. Kebodohan apa ini? Kebodohan yang justru menuntunnya pada jurang kehancuran.
Pernah suatu ketika, sekitar setahun yang lalu, Alana memergoki Kenzo dan Risa sedang tertawa terbahak-bahak di dapur, Risa bahkan menyandarkan kepalanya di bahu Kenzo. Alana merasa sedikit tidak nyaman saat itu, tapi Kenzo segera menjelaskan, "Risa baru saja menceritakan lelucon lucu, Sayang. Dia butuh hiburan, dia kan baru putus cinta." Alana percaya begitu saja. Ia selalu percaya. Ia tidak pernah punya alasan untuk meragukan Kenzo, apalagi Risa.
Air mata akhirnya tumpah, mengalir deras membasahi pipinya yang dingin. Ia jatuh terduduk di lantai kamar, memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha menahan dirinya agar tidak hancur berkeping-keping. Isakannya tertahan, tak ingin membangunkan Arya dan Luna yang pulas di kamar mereka masing-masing. Mereka adalah alasan mengapa Alana harus tetap kuat, alasan mengapa ia tidak boleh runtuh.
Arya, putra sulungnya yang berusia lima tahun, dan Luna, putrinya yang berusia tiga tahun, adalah anugerah terindah dalam hidupnya. Wajah polos mereka yang damai dalam tidur, senyum ceria mereka yang selalu berhasil menghapus segala lelah, kini menjadi satu-satunya cahaya di tengah kegelapan yang menyelimutinya. Bagaimana ia akan menjelaskan ini pada mereka? Bagaimana ia bisa menghadapi tatapan polos mereka sementara hatinya sendiri hancur?
Kemarahan kembali menyeruak, lebih kuat dari sebelumnya. Amarah pada Kenzo, yang telah merusak janji suci pernikahan. Amarah pada Risa, yang telah mengkhianati kepercayaan dan kasih sayangnya. Ingin rasanya ia bangun, berteriak, melabrak keduanya tanpa mempedulikan apa pun. Memecahkan semua perabot di rumah ini, menuntut penjelasan, melampiaskan segala rasa sakit yang menghimpit dadanya.
Namun, bayangan Arya yang dengan wajah berseri bercerita tentang cita-citanya menjadi astronot, dan Luna yang manja memeluk lehernya sambil tertawa, tiba-tiba muncul di benaknya. Tidak. Ia tidak bisa. Ia tidak boleh bertindak gegabah. Emosi sesaat hanya akan membawa mereka pada kehancuran yang lebih parah. Jika ia melabrak mereka sekarang, apa yang akan terjadi? Kekacauan. Perdebatan sengit. Perceraian yang menyakitkan dan penuh drama di mata anak-anaknya. Alana tidak ingin Arya dan Luna tumbuh besar dengan bayang-bayang perpisahan orang tua yang penuh drama. Mereka berhak atas kehidupan yang lebih baik, masa depan yang stabil.
Alana memaksa dirinya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan badai di dadanya. "Tenang, Alana. Tenang," ia berbisik pada dirinya sendiri. Ini bukan waktunya untuk panik. Ini waktunya untuk berpikir.
Ia menyeka air matanya dengan kasar, matanya sembab, namun ada percikan api di sana, api tekad yang baru saja menyala. Ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban yang tak berdaya. Ia tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja setelah menghancurkan hidupnya. Jika Kenzo dan Risa berpikir mereka bisa hidup bahagia di atas penderitaannya, mereka salah besar.
Pembalasan. Kata itu berdengung di kepalanya. Bukan pembalasan yang kasar, bukan tindakan impulsif yang akan merugikannya. Tapi pembalasan yang cerdas, terencana, dan efektif. Pembalasan yang akan membuat mereka merasakan sedikit saja dari rasa sakit yang sedang ia alami.
Alana bangkit perlahan, kakinya terasa kaku, namun pikirannya mulai bekerja. Jika ia ingin membalas dendam, ia harus cerdik. Ia harus berpikir seperti musuh, melihat celah, mencari kelemahan.
Langkah pertama adalah pengumpulan bukti. Pesan dan foto yang ia terima adalah permulaan. Ia membutuhkan lebih banyak. Lebih detail. Lebih tak terbantahkan. Ia harus mencari tahu seberapa jauh hubungan mereka, berapa lama mereka sudah melakukannya, di mana dan kapan. Apakah ini hanya perselingkuhan sesaat atau hubungan yang serius? Pertanyaan-pertanyaan itu menusuknya, tapi ia harus tahu.
Mata Alana menyapu sekeliling kamar tidur mereka. Kamar yang dulunya menjadi saksi bisu cinta dan kebahagiaan mereka, kini terasa dingin dan asing. Parfum Kenzo yang masih tercium samar di bantal, boneka beruang dari hadiah ulang tahun pernikahannya di sudut ruangan, semua terasa mengolok-oloknya. Ia harus menyingkirkan semua emosi yang mengganggu. Ia harus menjadi pribadi yang rasional.
"Oke, Alana. Pikirkan. Apa yang Kenzo pedulikan paling utama?" ia bermonolog. Tentu saja, citranya. Kenzo adalah pria yang sangat menjaga citranya di mata publik, di hadapan rekan kerja, di hadapan keluarganya, dan terutama di hadapan klien-kliennya yang terhormat. Ia adalah arsitek yang terkenal dengan integritas dan profesionalismenya. Sebuah skandal perselingkuhan, apalagi dengan adik iparnya sendiri, akan menghancurkan karier yang telah ia bangun dengan susah payah. Itu adalah titik lemah pertamanya.
Lalu, Risa. Apa yang Risa pedulikan? Risa selalu mendambakan kehidupan yang mapan dan mewah. Ia selalu cemburu pada Alana yang "lebih beruntung" karena menikahi Kenzo. Risa bekerja sebagai desainer interior junior di sebuah firma kecil, penghasilannya tidak seberapa. Alana tahu, Risa sangat menginginkan gaya hidup yang bisa diberikan oleh Kenzo. Itu adalah titik lemah kedua. Risa tidak punya apa-apa untuk dipertaruhkan selain "cintanya" pada Kenzo, atau lebih tepatnya, obsesinya terhadap Kenzo dan kehidupannya.
Strategi Alana mulai terbentuk. Ia tidak akan mencari kekerasan. Ia akan mencari keruntuhan. Keruntuhan finansial, keruntuhan sosial, keruntuhan moral. Ia ingin mereka merasakan kehilangan, kehilangan segala sesuatu yang paling mereka hargai.
Ponselnya kembali di genggamannya. Ia membuka galeri foto, melihat foto-foto Arya dan Luna. Senyumnya samar, diwarnai rasa pedih. "Demi kalian, Nak," bisiknya. "Mama akan kuat. Mama akan pastikan kalian tidak menderita."
Pagi itu, Alana bangun dengan perasaan hampa, namun pikirannya penuh dengan rencana. Ia berpura-pura seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk Kenzo dan anak-anak. Kenzo terlihat seperti biasa, ceria dan penuh perhatian. Ia mencium kening Alana, bertanya tentang tidurnya, bahkan bercanda dengan Arya dan Luna di meja makan. Setiap tawa Kenzo, setiap sentuhan tangannya, terasa seperti tusukan belati. Bagaimana bisa ia bersikap begitu normal setelah semua ini? Apakah ia tidak merasa bersalah sedikit pun? Atau memang ia adalah seorang aktor ulung?
Alana berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan emosinya. Ia mengangguk, tersenyum palsu, menjawab seadanya. Air kopi terasa pahit di lidahnya, namun ia tetap meneguknya. Ini adalah permulaan. Permulaan dari sebuah permainan, di mana ia harus menjadi pemain terbaik.
Setelah Kenzo berangkat ke kantor, dan anak-anak sibuk bermain di ruang keluarga, Alana segera membuka laptopnya. Ia mulai mencari informasi. Informasi tentang hukum perceraian, tentang hak asuh anak, tentang pembagian harta gono-gini. Ia ingin tahu semua opsi yang ia miliki. Ia juga mencari tahu tentang firma hukum terbaik yang spesialis dalam kasus perceraian berprofil tinggi. Ia tahu, Kenzo akan menggunakan pengacara terbaik, jadi ia juga harus siap.
Selain itu, ia mulai mempertimbangkan aset-aset Kenzo. Proyek-proyek besarnya, reputasinya di kalangan arsitek, bahkan saham-saham yang ia miliki di berbagai perusahaan. Alana ingat, Kenzo pernah menyebutkan memiliki beberapa properti atas namanya. Semua itu adalah target.
Ia juga teringat akan kebiasaan Kenzo yang seringkali menyimpan berkas-berkas penting di laci meja kerjanya di rumah, atau di laptopnya. Ia seringkali melihat Kenzo bekerja hingga larut malam di ruang kerjanya. Kemungkinan besar, ada banyak informasi berharga di sana.
"Risa," gumam Alana lagi. "Apa yang harus kulakukan padamu?" Kemarahan pada Risa mungkin lebih dalam, lebih pribadi. Pengkhianatan dari orang terdekat selalu lebih menyakitkan daripada pengkhianatan dari orang asing. Risa telah menghancurkan ikatan persaudaraan yang mereka miliki.
Alana memutuskan untuk mengumpulkan informasi tentang Risa juga. Di mana ia bekerja? Siapa teman-temannya? Gaya hidup seperti apa yang ia jalani? Apakah ia memiliki rahasia lain yang bisa Alana manfaatkan? Semakin banyak informasi yang ia miliki, semakin kuat posisinya.
Hari-hari berikutnya terasa seperti neraka yang dingin. Alana harus bersandiwara di hadapan Kenzo, berpura-pura menjadi istri yang bahagia dan tidak tahu apa-apa. Setiap kali Kenzo menyentuhnya, hatinya mencelos. Setiap kali ia melihat senyum Kenzo, ia merasa mual. Ia bahkan harus menahan diri untuk tidak menghardik Risa saat adik tirinya itu datang berkunjung, dengan senyum manis dan pertanyaan basa-basi tentang kabar Alana.
"Kak Alana, kok akhir-akhir ini sering terlihat melamun?" tanya Risa suatu sore, saat ia datang untuk menjemput Luna yang baru saja bermain di rumah teman. Risa mencoba menyentuh lengan Alana, namun Alana refleks menariknya.
"Tidak apa-apa, hanya sedikit lelah," jawab Alana singkat, berusaha terdengar datar. Matanya menatap tajam ke arah Risa, berusaha membaca ekspresi di wajah wanita itu. Apakah ada rasa bersalah? Penyesalan? Tidak, yang ia lihat hanya kepolosan yang dibuat-buat, atau mungkin, memang kekosongan.
Risa hanya tersenyum tipis. "Kakak terlalu keras bekerja, mungkin butuh liburan."
Alana hanya membalas dengan senyuman pahit. "Mungkin."
Ia mengamati Risa. Pakaian yang dikenakan Risa terlihat lebih modis dan mahal dari biasanya. Ada perhiasan baru di pergelangan tangannya. Apakah ini semua pemberian Kenzo? Rasa mual kembali menyerang.
Malam itu, setelah Kenzo tertidur pulas, Alana diam-diam menyelinap ke ruang kerja Kenzo. Jantungnya berdebar kencang, namun tekadnya lebih kuat. Ia tahu risiko yang ia ambil, tetapi ia tidak punya pilihan. Dengan hati-hati, ia mencari laci yang tidak terkunci, membuka setiap folder di laptop Kenzo, mencari petunjuk, bukti, atau apa pun yang bisa ia gunakan. Ia menemukan beberapa berkas keuangan yang mencurigakan, transfer uang dalam jumlah besar ke rekening yang tidak dikenal, dan beberapa email yang samar-samar merujuk pada "pertemuan rahasia." Tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan nama Risa, tapi Alana tahu itu adalah petunjuk awal. Ia memotret semua dokumen penting dengan ponselnya, berhati-hati agar tidak meninggalkan jejak.
Ia juga mencari tahu tentang kebiasaan Kenzo dalam menyimpan data-data penting. Ia ingat Kenzo pernah mengatakan bahwa ia menggunakan cloud storage untuk menyimpan beberapa proyek pentingnya. Itu adalah celah lainnya.
Dalam beberapa hari berikutnya, Alana bertindak seperti seorang detektif swasta. Ia mulai mengamati gerak-gerik Kenzo dan Risa. Ia memperhatikan waktu-waktu mereka saling mengirim pesan, pertemuan-pertemuan mereka yang "kebetulan," bahkan perubahan kecil dalam rutinitas mereka. Ia melihat Kenzo seringkali pulang terlambat, alasannya selalu sama: "Banyak pekerjaan." Dan Risa, yang biasanya sering berkunjung ke rumah Alana, kini lebih jarang terlihat, atau jika ia datang, itu hanya sebentar saja.
Alana mencoba menelusuri riwayat panggilan Kenzo, namun Kenzo selalu menghapus riwayatnya. Itu saja sudah menjadi indikasi yang kuat. Namun, ia masih membutuhkan bukti yang lebih konkret.
Suatu sore, saat Kenzo sedang mandi, ponselnya berdering. Alana melihat nama "Risa" muncul di layar. Jantungnya berdegup kencang. Ini dia. Ia menahan napas, tidak mengangkatnya. Biarkan saja. Jika ia mengangkatnya, Kenzo akan tahu ia mencurigainya.
Ketika Kenzo keluar dari kamar mandi, ia segera melihat ponselnya. "Ah, Risa menelepon. Pasti ada perlu," katanya santai.
Alana hanya mengangguk, berusaha terlihat acuh tak acuh. "Mungkin soal pekerjaan."
Kenzo mengangguk, lalu membalas pesan Risa. Alana diam-diam melirik. Ia melihat Kenzo mengetik dengan cepat, lalu menyembunyikan layar ponselnya dari pandangan Alana. Itu adalah konfirmasi lain.
Alana mulai menyusun "papan bukti" di benaknya. Titik-titik mulai terhubung membentuk sebuah pola yang mengerikan. Ia menyadari bahwa ia tidak hanya berhadapan dengan perselingkuhan, tetapi juga dengan sebuah plot yang telah dijalankan dengan sangat rapi oleh Kenzo dan Risa. Mereka berdua pasti telah merencanakan ini sejak lama. Mungkin, bahkan sebelum Kenzo dan Alana menikah. Kemungkinan itu membuat Alana semakin jijik.
Puncaknya terjadi seminggu kemudian. Alana mengikuti Kenzo. Ia memarkir mobilnya agak jauh dari kantor Kenzo dan mengawasinya. Ia melihat Kenzo keluar dari kantor lebih awal dari biasanya, dan bukannya pulang, ia malah melaju ke arah pusat kota. Alana mengikutinya dengan hati-hati, menjaga jarak. Kenzo berhenti di depan sebuah apartemen mewah di kawasan elit Jakarta. Alana melihatnya masuk.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, Alana melihat Risa keluar dari taksi dan berjalan menuju gedung apartemen yang sama. Risa mengenakan pakaian yang lebih rapi dari biasanya, rambutnya ditata dengan hati-hati, dan ia tersenyum lebar. Alana bisa merasakan gelombang amarah dan sakit hati yang luar biasa. Itu adalah apartemen yang Kenzo beli atas nama perusahaan, beralasan untuk "kebutuhan tamu atau proyek darurat." Sekarang Alana tahu, apartemen itu adalah sarang mereka.
Air mata Alana kembali menetes, namun kali ini bukan air mata keputusasaan. Ini adalah air mata amarah, air mata tekad. Ia memotret momen itu, memastikan wajah Risa dan Kenzo terlihat jelas dalam foto-foto tersebut, meskipun dari kejauhan. Bukti ini tidak terbantahkan.
Dalam perjalanan pulang, Alana tidak merasakan apa-apa kecuali kekosongan yang dingin. Rasa sakit itu begitu dalam, namun ia harus mengabaikannya. Ia harus fokus pada rencana.
Sesampainya di rumah, Alana segera menghubungi teman lama kuliahnya, Bima. Bima adalah seorang pengacara handal, spesialis dalam hukum keluarga. Ia tahu Bima bisa dipercaya dan akan memberikan nasihat terbaik.
"Bim, apa kabar?" sapa Alana, berusaha menstabilkan suaranya.
"Alana? Wah, tumben telepon. Baik-baik saja, ada apa?" jawab Bima, terdengar sedikit terkejut.
Alana menarik napas dalam-dalam. "Aku butuh bantuanmu, Bim. Penting sekali."
Ia kemudian menceritakan semuanya pada Bima, dari awal ia menemukan bukti, hingga ia melihat Kenzo dan Risa di apartemen. Ia berbicara dengan suara datar, tanpa emosi, seolah sedang menceritakan kisah orang lain. Bima mendengarkan dengan seksama, sesekali terdengar desahan napasnya.
"Aku mengerti, Alana," kata Bima setelah Alana selesai bercerita. "Ini situasi yang sangat sulit. Tapi kamu sudah melakukan hal yang benar dengan mengumpulkan bukti. Jangan bertindak sendiri tanpa nasihat hukum. Aku akan membantumu. Mari kita susun strateginya."
Bima menyarankan Alana untuk tidak terburu-buru mengajukan gugatan cerai. "Kita harus pastikan kamu punya posisi tawar yang kuat, Alana. Bukti-bukti ini sangat penting. Tapi kita perlu lebih dari sekadar foto. Kita butuh bukti finansial, bukti komunikasi yang lebih jelas, mungkin kesaksian dari orang-orang terdekat jika ada."
Alana mengangguk. "Aku mengerti, Bim. Aku akan mencari lebih banyak lagi. Aku tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja."
"Bagus. Dan ingat, Alana, jangan sampai Kenzo tahu kamu sudah tahu tentang ini. Bertindaklah seperti biasa. Biarkan dia lengah," saran Bima. "Ini akan menjadi permainan panjang, tapi kita akan memenangkannya."
Setelah berbicara dengan Bima, Alana merasa sedikit lega. Setidaknya, ia tidak sendirian. Ia punya sekutu. Kini, langkah selanjutnya adalah menyusun rencana yang lebih detail dan komprehensif.
Ia membagi rencananya menjadi beberapa fase.
Fase 1: Pengumpulan Bukti Intensif. Ia akan memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencari bukti tambahan. Memasang alat penyadap kecil jika memungkinkan, merekam percakapan, melacak transaksi keuangan, dan mencari saksi potensial jika ada. Ia harus menjadi bayangan yang tak terlihat.
Fase 2: Pengamanan Aset. Sebelum Kenzo menyadari apa yang terjadi, Alana harus mencari cara untuk mengamankan aset-aset yang menjadi haknya, atau setidaknya memblokir Kenzo agar tidak bisa mengalihkan aset-aset tersebut. Ini termasuk properti, rekening bank, dan investasi.
Fase 3: Keruntuhan Reputasi. Ini adalah bagian yang paling ia nantikan. Ia akan merancang cara untuk membongkar perselingkuhan Kenzo dan Risa di depan publik, namun tidak dengan cara yang gegabah. Ia ingin publik melihat Kenzo sebagai pengkhianat, dan Risa sebagai perusak rumah tangga. Citra Kenzo sebagai arsitek berintegritas akan hancur.
Fase 4: Perpisahan dan Hak Asuh. Alana ingin memastikan hak asuh Arya dan Luna sepenuhnya jatuh ke tangannya. Ia tidak ingin anak-anaknya memiliki ayah dan bibi yang terlibat dalam skandal. Ia akan berjuang mati-matian untuk itu.
Alana menatap foto Kenzo di meja kerjanya. Senyumnya terlihat begitu tulus, begitu menawan. Namun di balik senyum itu, tersimpan pengkhianatan yang keji. Hatinya sudah mati rasa terhadap rasa sakit itu. Yang tersisa hanyalah tekad baja.
"Kau akan membayar mahal untuk ini, Kenzo," bisiknya, suaranya dingin dan penuh janji. "Dan kau, Risa. Kau tidak akan pernah lagi bisa merusak kebahagiaan orang lain."
Perjalanan yang penuh duri, tetapi ia tidak gentar. Demi Arya dan Luna, demi harga dirinya yang telah diinjak-injak, Alana akan bangkit. Ia akan menunjukkan pada Kenzo dan Risa bahwa wanita yang mereka hancurkan, kini telah bertransformasi menjadi prajurit yang siap membalas dendam. Pertempuran baru saja dimulai, dan Alana bersumpah, ia akan menjadi pemenangnya.