Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Kesalahan di Malam Sebelum Akad
Kesalahan di Malam Sebelum Akad

Kesalahan di Malam Sebelum Akad

5.0

Malam itu adalah titik balik dalam hidup Ardi. Di bawah pengaruh minuman keras yang memabukkan, Ardi tersesat dan salah masuk kamar, melakukan kesalahan fatal terhadap Citra, pengasuh si kembar anak dari adik angkatnya. Ironisnya, keesokan harinya Ardi dijadwalkan akan melangsungkan pernikahan dengan tunangannya, Maya. Dengan kejadian yang tak terduga ini, akankah Ardi tetap melanjutkan pernikahannya dengan Maya? Atau akankah ia bertanggung jawab atas perbuatannya dengan menikahi Citra?

Konten

Bab 1 Kepalanya berdenyut hebat

Angin malam Jakarta terasa menyesakkan, membawa serta aroma polusi dan sisa-sisa hujan sore yang baru saja reda. Namun, bagi Ardi, semua itu terasa seperti kabut tebal yang menyelimuti indranya. Ia melangkah terhuyung, bahunya menabrak dinding koridor yang dingin, lalu jemarinya meraba-raba kenop pintu. Kepalanya berdenyut hebat, sisa-sisa minuman keras yang ia teguk berjam-jam lalu masih menari-nari dalam setiap sel otaknya, menciptakan ilusi yang menyesatkan.

Tawa riang rekan-rekan kerjanya dari pesta perpisahan bujangan tadi malam masih terngiang-ngiang, berbaur dengan alunan musik house yang memekakkan telinga. Ia ingat wajah Maya, tunangannya, yang berseri-seri saat mereka terakhir bertemu kemarin siang, membahas detail dekorasi pernikahan. Pernikahan. Kata itu terasa begitu jauh, bagai bisikan dari alam lain yang tak sanggup ia raih.

Ia yakin ini kamarnya. Atau setidaknya, ia berharap demikian. Nomor-nomor kamar di sepanjang koridor hotel mewah ini tampak menari-nari, berpindah-pindah posisi seolah mengejeknya. Ia hanya ingin rebah, memejamkan mata, dan melupakan pusing yang mendera. Suara kunci berputar terdengar samar, diikuti derit pelan saat pintu terbuka. Ardi masuk, tak menyadari bahwa ia telah melewati batas, melangkah ke dalam takdir yang kelak akan mengubah seluruh tatanan hidupnya.

Ruangan itu gelap, hanya diterangi temaram lampu tidur di sisi ranjang. Aroma melati dan lavender yang lembut menyapa indranya, kontras dengan bau alkohol yang masih menempel pada pakaiannya. Ia menyeret langkahnya menuju ranjang, menjatuhkan tubuhnya yang berat di atas matras empuk. Ia merasakan kehangatan di sampingnya, berpikir bahwa itu adalah sisi kosong ranjang yang kebetulan belum dingin. Tanpa pikir panjang, ia memejamkan mata, membiarkan kegelapan menelannya.

Namun, kehangatan itu tidak bertahan lama. Ada pergerakan. Sebuah lenguhan halus, seperti desahan yang tertahan, memecah keheningan. Ardi terlonjak, matanya terbuka lebar, berusaha menembus kegelapan. Jantungnya berdebar kencang. Ini bukan kamarnya. Ini jelas bukan kamarnya. Ia merasakan kulit yang lembut bersentuhan dengan lengannya, aroma yang berbeda dari parfum Maya. Kepanikan mulai merayap naik, membasuh sisa-sisa mabuknya. Ia menarik tangannya, berusaha menjauh, namun terlambat. Gerakannya membangunkan seseorang di sampingnya.

"Siapa di sana?" Suara itu serak, sedikit bergetar, dan penuh kebingungan.

Ardi menahan napas. Suara seorang wanita. Bukan Maya. Ketakutan menjalari setiap syarafnya. Ia ingin lari, ingin menghilang, namun tubuhnya terasa terpaku. Jendela-jendela di ruangan itu belum tertutup sempurna, membiarkan cahaya bulan menembus celah gorden, samar-samar menerangi siluet tubuh di sampingnya. Rambut panjang terurai, punggung telanjang yang kini sedikit bergerak, mencoba bangkit.

"Maaf... saya... saya salah kamar," Ardi berbisik, suaranya tercekat. Ia mencoba untuk bangkit, namun gravitasi terasa berlipat ganda, menariknya kembali ke matras. Rasa mual melilit perutnya.

Wanita itu kini duduk tegak. Ia mengernyitkan kening, mencoba mengenali sosok yang tiba-tiba berada di kamarnya. "Ardi?" tanyanya, suaranya kini sedikit lebih jelas, namun masih diselimuti kebingungan.

Mendengar namanya disebut, Ardi membeku. Bagaimana bisa wanita ini mengenalnya? Kemudian, sebersit ingatan muncul di benaknya, sebuah percakapan singkat dengan adik angkatnya, Rio, beberapa jam yang lalu. Rio menyebutkan bahwa pengasuh si kembar, Citra, menginap di kamar hotel yang sama dengan mereka, persis di sebelah kamar yang ia kira miliknya. Rio mengatakan Citra perlu istirahat karena si kembar rewel. Otaknya yang masih kalut mulai menyusun potongan-potongan teka-teki yang mengerikan ini.

"Citra?" Ardi membalas, nama itu keluar dari bibirnya bagai pengakuan dosa. Seluruh tubuhnya menegang. Jadi ini kamar Citra? Pengasuh anak Rio? Wanita yang selama ini ia kenal sebagai sosok pendiam, yang selalu mengenakan pakaian sederhana, yang menjaga jarak, dan yang selalu disibukkan dengan dua keponakan kembarnya?

Cahaya bulan kini cukup terang untuk memperlihatkan wajah Citra. Matanya membulat, menatap Ardi dengan tatapan tak percaya yang perlahan berubah menjadi kengerian. Rambutnya berantakan, dan selimut yang tadinya menutupi tubuhnya kini sedikit melorot, memperlihatkan bahunya yang polos. Wajahnya pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Ardi?" Suara Citra nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin. Namun, Ardi bisa merasakan getaran ketakutan dan keterkejutan yang kuat dalam nada bicaranya.

Ardi menggelengkan kepalanya, berusaha mencari alasan, mencari pembenaran. "Aku... aku salah kamar, Citra. Aku mabuk... Aku tidak tahu..." Kata-katanya putus-putus, tercekik oleh rasa bersalah yang tiba-tiba menghantamnya seperti palu godam. Perutnya bergejolak, dan ia merasakan keringat dingin membasahi pelipisnya.

Mata Citra beralih ke ranjang, ke selimut yang tersingkap, ke posisi Ardi yang masih berada di sampingnya. Kemudian, pandangannya kembali ke wajah Ardi, kali ini dengan ekspresi terluka yang mendalam. "Kamu... kamu melakukan ini lagi?" bisiknya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Lagi? Ardi tidak mengerti. Ia tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Tidak pernah seceroboh ini, tidak pernah sekotor ini. Namun, saat ia melihat ekspresi Citra, ia tahu bahwa ada sesuatu yang jauh lebih buruk dari sekadar salah kamar. Ia ingat sentuhan yang ia rasakan, kehangatan tubuh di sampingnya, desahan samar yang ia dengar. Kilasan-kilasan memori yang buram dan terpotong-potong mulai muncul, menari-nari dalam otaknya, membentuk gambaran mengerikan yang tak ingin ia percayai.

"Apa maksudmu... lagi?" Ardi bertanya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. Ia merasakan napasnya tertahan di tenggorokan.

Citra menatapnya dengan tatapan kosong, air mata kini membasahi pipinya. "Kamu... kamu tahu apa yang kamu lakukan..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya, hanya terisak pelan, bahunya bergetar hebat.

Ardi panik. Ia berusaha meraih tangan Citra, namun wanita itu menghindar, menarik diri seolah tersengat listrik. "Aku bersumpah, aku tidak sadar, Citra. Aku mabuk. Aku tidak bermaksud..." Ia mengatakannya dengan putus asa, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, dan Citra. Tapi apakah ia benar-benar bisa lepas tangan semudah itu?

Keheningan melanda ruangan, hanya diisi oleh isakan pelan Citra dan detak jantung Ardi yang berpacu kencang. Ia menyadari sepenuhnya keseriusan situasi ini. Malam ini adalah malam sebelum pernikahannya. Malam di mana ia seharusnya merayakan akhir masa lajangnya dengan gembira, bukan bangun di ranjang wanita lain, terlebih lagi wanita itu adalah pengasuh keponakannya sendiri.

Rasa bersalah yang menghimpitnya begitu kuat hingga ia merasa ingin muntah. Ia telah merusak segalanya. Merusak hidup Citra, merusak reputasinya, dan yang paling parah, merusak kepercayaan Maya. Maya, wanita yang ia cintai, wanita yang akan ia nikahi dalam beberapa jam ke depan.

"Aku harus pergi," Ardi berbisik, berusaha bangkit. Otaknya masih berputar-putar, namun ia tahu ia harus menjauh dari sini. Ia harus membersihkan kekacauan ini, meski ia tidak tahu bagaimana caranya.

Citra tidak menjawab. Ia hanya terus terisak, membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Bahunya bergetar hebat, menunjukkan betapa terguncangnya dia. Melihat Citra seperti itu, Ardi merasa semakin jijik pada dirinya sendiri. Ia, seorang pria yang sebentar lagi akan menjadi suami, telah merusak hidup seorang wanita yang tidak bersalah.

"Citra... maafkan aku," Ardi mengulurkan tangannya lagi, kali ini ragu-ragu menyentuh bahu Citra. Sentuhan itu ringan, namun cukup untuk membuat Citra mengangkat wajahnya.

Matanya merah, bengkak, dan dipenuhi kepedihan yang mendalam. "Bagaimana ini bisa terjadi, Ardi?" tanyanya, suaranya parau. "Kamu tahu... kamu tahu aku tidak akan pernah..." Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya, seolah kata-kata itu terlalu menyakitkan untuk diucapkan.

Ardi merasakan jantungnya mencelos. "Aku tahu. Aku tahu. Ini murni kesalahanku. Aku yang mabuk, aku yang ceroboh. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa masuk ke kamarmu." Ia mencoba menjelaskan, mencari celah, namun tidak ada celah. Kejadian ini nyata. Dan konsekuensinya akan sangat nyata.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Citra akhirnya bertanya, suaranya kini terdengar lebih kuat, namun penuh keputusasaan. "Besok... besok kamu menikah..."

Kata-kata itu menghantam Ardi seperti sambaran petir. Pernikahan. Ya, pernikahan. Sebuah janji suci yang akan ia ucapkan di hadapan Tuhan dan semua orang yang ia cintai. Dan kini, ia telah mengkhianati janji itu bahkan sebelum diucapkan.

"Aku... aku tidak tahu," Ardi mengakui dengan jujur. Pikirannya kosong. Ia hanya ingin waktu berputar kembali, kembali ke beberapa jam yang lalu, kembali ke saat ia belum menyentuh alkohol itu, kembali ke saat ia masih bisa memilih.

"Rio... bagaimana dengan Rio?" Citra bertanya, menyebutkan nama adik angkat Ardi. Rio adalah kunci dari hubungan mereka. Citra adalah pengasuh anak-anak Rio, dan Ardi adalah kakak angkat Rio. Keterkaitan mereka sudah rumit, dan kini menjadi jauh lebih kusut.

Ardi membayangkan reaksi Rio jika mengetahui kejadian ini. Rio adalah sosok yang sangat melindungi keluarganya, termasuk Citra yang sudah dianggap seperti bagian dari keluarga. Kemarahan Rio pasti akan meledak. Dan Maya? Ardi tidak berani membayangkan wajah Maya saat mengetahui kebenaran ini. Ia akan hancur. Keluarganya akan hancur.

"Kita tidak boleh memberitahu siapa pun," Ardi memutuskan, nadanya tegas, meskipun hatinya bergetar. "Tidak ada yang boleh tahu tentang ini."

Citra menatapnya, matanya menyiratkan keraguan dan kepedihan yang bercampur aduk. "Bagaimana mungkin?" tanyanya. "Ini... ini bukan sesuatu yang bisa disembunyikan selamanya."

"Kita akan mencari jalan," Ardi bersikeras. Ia merasa putus asa, namun ia harus mencari solusi. "Kita harus bersikap seolah tidak terjadi apa-apa."

"Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa?" Citra mengulangi, suaranya meninggi sedikit. "Ardi, ini bukan hanya tentang kamu. Ini tentang aku juga! Tentang masa depanku! Tentang martabatku!"

Ardi mengangguk, ia mengerti. Ia sangat mengerti. Beban rasa bersalah semakin menindihnya. "Aku tahu, Citra. Aku tahu. Dan aku akan bertanggung jawab penuh atas semua ini. Aku janji. Tapi untuk sekarang, kita tidak bisa membiarkan ini merusak segalanya."

"Merusak segalanya?" Citra tertawa pahit, air mata terus mengalir. "Memangnya apa lagi yang tersisa untuk dirusak? Kamu... kamu akan menikah besok!"

Kata-kata Citra menusuk Ardi. Ya, ia akan menikah besok. Dan malam ini, ia telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Sebuah kesalahan yang akan menghantui dirinya selamanya.

"Dengar, Citra," Ardi mencoba menenangkan suaranya, meski ia sendiri tidak tenang. "Aku akan pikirkan solusinya. Aku akan memastikan kamu baik-baik saja. Aku akan..." Ia berhenti, tidak tahu harus melanjutkan dengan janji apa. Apa yang bisa ia janjikan untuk memperbaiki kerusakan sebesar ini?

Citra mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Bagaimana jika... jika terjadi sesuatu?" bisiknya, matanya memancarkan ketakutan yang lebih dalam. Ketakutan akan kemungkinan terburuk.

Ardi memahami maksud Citra. Ketakutan itu juga merayapi dirinya. Sebuah konsekuensi yang jauh lebih besar daripada sekadar reputasi yang hancur. Sebuah kehidupan baru.

"Tidak," Ardi menggelengkan kepala dengan cepat, mencoba menepis pikiran itu. "Tidak akan terjadi. Kita akan... kita akan mencari cara untuk memastikan tidak ada konsekuensi yang tidak diinginkan." Kata-kata itu terdengar hampa bahkan di telinganya sendiri. Siapa yang bisa menjamin itu?

"Aku tidak bisa..." Citra terisak lagi. "Aku tidak bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku tidak bisa menatap Maya besok seolah tidak ada apa-apa."

Ardi menghela napas panjang. Ia tahu Citra benar. Ini bukan hal yang bisa disembunyikan dengan mudah. Beban moral akan terlalu berat. Tapi apa pilihan lain yang mereka miliki? Jika kebenaran ini terbongkar, semua akan hancur. Pernikahannya, hubungannya dengan Rio, dan tentu saja, reputasi Citra.

"Aku akan memberimu apa pun yang kamu butuhkan," Ardi menawarkan, putus asa. "Uang, tempat tinggal, apa pun. Aku akan pastikan kamu aman."

Citra menatapnya dengan tatapan terluka. "Kamu pikir ini tentang uang, Ardi?" suaranya meninggi. "Kamu pikir aku serendah itu?"

Ardi tersentak. Ia tahu ia salah bicara. Ia hanya mencoba mencari solusi, apa pun itu, untuk meredakan kekacauan ini. "Bukan itu maksudku, Citra. Aku hanya... aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku ingin bertanggung jawab."

"Tanggung jawab macam apa?" Citra bertanya balik, suaranya dipenuhi amarah yang terpendam. "Kamu akan menikah besok! Apa kamu akan menikahiku juga? Seperti itu bentuk tanggung jawabmu?"

Pertanyaan Citra menghantam Ardi telak. Menikahi Citra. Pikiran itu terasa sangat asing, dan di saat yang sama, begitu realistis. Itulah satu-satunya cara untuk benar-benar bertanggung jawab secara moral. Tapi bagaimana dengan Maya? Bagaimana dengan janji yang sudah ia ikrarkan pada Maya, pada keluarganya, pada dirinya sendiri?

Ardi menutup matanya, merasakan pusing yang luar biasa. Pilihan yang ada di hadapannya sama-sama mengerikan. Melanjutkan pernikahan dengan Maya sambil menyimpan rahasia kelam ini, atau membatalkan segalanya dan menikahi Citra sebagai bentuk pertanggungjawaban. Kedua jalan itu akan menghancurkan seseorang.

"Aku... aku tidak tahu," Ardi akhirnya berbisik, suaranya penuh keputusasaan. Ia terduduk di tepi ranjang, meremas rambutnya. "Aku benar-benar tidak tahu."

"Kamu harus tahu," Citra berkata, suaranya kini dingin, tanpa emosi. "Kamu harus memutuskan, Ardi. Sekarang."

Tekanan itu terasa mencekik. Ardi memandang Citra yang kini telah beringsut menjauh darinya, memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha melindungi diri dari kehadirannya. Wajahnya yang semula polos kini terpahat dengan kesedihan yang tak terhingga. Ia melihat air mata yang terus mengalir, dan ia merasakan pisau tajam menusuk hatinya.

Ia telah menghancurkan hidup seorang wanita. Wanita yang seharusnya ia lindungi, sebagai bagian dari keluarga adiknya. Dan kini, ia harus memilih antara kehancuran yang satu atau kehancuran yang lain.

"Beri aku waktu," Ardi memohon, suaranya nyaris seperti rintihan. "Beri aku waktu untuk berpikir."

Citra tidak menjawab. Ia hanya terus menatap keluar jendela, ke arah kegelapan malam yang perlahan memudar, digantikan oleh semburat jingga di ufuk timur. Sebentar lagi pagi. Sebentar lagi hari pernikahannya. Dan Ardi tahu, tak ada waktu lagi.

Detik-detik berlalu, terasa seperti berjam-jam. Ardi merasakan adrenalin mengalir deras di tubuhnya, menyingkirkan sisa-sisa mabuknya. Ia harus berpikir jernih. Ia harus membuat keputusan. Keputusan yang akan menentukan sisa hidupnya, dan juga hidup Citra, serta Maya.

Jika ia menikahi Maya, ia akan hidup dalam kebohongan. Kebohongan yang akan menghantuinya setiap hari, setiap malam. Kebohongan yang bisa terbongkar kapan saja, menghancurkan segalanya dengan lebih parah. Ia akan menjadi suami yang membawa beban rasa bersalah yang tak termaafkan. Ia akan mengkhianati cinta dan kepercayaan Maya setiap kali ia melihatnya.

Jika ia menikahi Citra, ia akan menyelamatkan martabat Citra. Ia akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun, ia harus mengorbankan cintanya pada Maya, menghancurkan impian pernikahan mereka, dan mungkin juga menghancurkan hati Maya. Ia juga harus menghadapi kemarahan keluarganya, terutama Maya dan orang tuanya. Dan apakah ia bisa mencintai Citra? Apakah ia bisa membangun rumah tangga dengan wanita yang ia sentuh dalam keadaan tidak sadar, di malam yang seharusnya menjadi malam terakhirnya sebagai bujangan?

Kepala Ardi terasa ingin pecah. Ia tidak pernah menghadapi dilema moral sebesar ini. Sebagai seorang eksekutif muda yang sukses, ia terbiasa membuat keputusan cepat dan tepat dalam bisnis. Namun, ini adalah kehidupan. Ini adalah hati manusia. Ini jauh lebih rumit daripada angka-angka di laporan keuangan.

Ia bangkit perlahan, melangkah mendekati Citra. "Citra," ia memanggil dengan suara pelan. "Aku... aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahi kamu."

Mendengar kata-kata itu, Citra membalikkan badan, matanya membelalak tak percaya. "Apa?" bisiknya.

"Aku akan menikahi kamu," Ardi mengulangi, kali ini dengan suara yang lebih mantap, meskipun ia sendiri merasa ragu. Ini adalah keputusan yang ia ambil dalam keputusasaan, dalam kebingungan, dan dalam rasa bersalah yang mendalam. "Ini satu-satunya cara untuk memperbaiki ini."

Air mata kembali membasahi pipi Citra, namun kali ini bukan hanya air mata kesedihan. Ada campuran keterkejutan, kelegaan, dan sesuatu yang lain yang Ardi tidak bisa artikan. "Bagaimana dengan Maya?" tanyanya, suaranya bergetar.

Ardi memejamkan mata, membayangkan wajah Maya. Hatinya mencelos. "Aku... aku akan bicara dengannya. Aku akan menjelaskan semuanya. Aku akan menanggung semua konsekuensinya." Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya. Menjelaskan semuanya pada Maya. Bagaimana mungkin?

"Kamu tidak bisa melakukan ini," Citra berkata, suaranya sekarang lebih tenang, meskipun masih dipenuhi emosi. "Kamu mencintai Maya. Aku tahu itu. Semua orang tahu itu."

"Tapi aku juga sudah melakukan kesalahan padamu, Citra," Ardi membalas, menatap lurus ke mata Citra. "Aku sudah merusak hidupmu. Aku tidak bisa membiarkan itu."

Citra menunduk, bibirnya bergetar. "Aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaanmu, Ardi. Aku tidak ingin menjadi alasan kamu tidak menikah dengan wanita yang kamu cintai."

"Kamu tidak menghancurkan apa pun," Ardi bersikeras. "Aku yang menghancurkannya sendiri. Aku yang mabuk, aku yang salah kamar. Ini semua salahku." Ia mencoba meyakinkan Citra, dan juga dirinya sendiri.

Sebuah keheningan panjang kembali menyelimuti ruangan. Suara burung-burung mulai terdengar dari luar, menandakan fajar telah tiba. Sinar matahari pagi mulai menembus celah gorden, menerangi kekacauan yang terjadi di ruangan itu, dan juga kekacauan di hati Ardi dan Citra.

Citra akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Ardi dengan tatapan yang dalam. "Apakah kamu yakin?" tanyanya, suaranya pelan dan penuh keraguan. "Ini adalah keputusan yang akan mengubah segalanya."

"Aku yakin," Ardi berbohong, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya untuk yakin. "Aku akan menikahi kamu. Kita akan bicara dengan Rio dan keluarga nanti. Tapi untuk sekarang, kita harus menghadapi ini."

Kata-kata itu terasa seperti janji yang berat, sebuah beban yang baru saja ia pikul di pundaknya. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya akan mempengaruhi dirinya dan Citra, tetapi juga Maya, Rio, dan seluruh keluarga mereka. Babak baru dalam hidupnya akan segera dimulai, babak yang penuh dengan konsekuensi yang tak terduga, dan pilihan-pilihan yang menyakitkan. Malam yang naas itu telah melahirkan sebuah keputusan yang akan selamanya mengubah tatanan hidupnya. Dan Ardi tahu, ia harus menghadapi badai yang akan datang, apa pun risikonya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY