Pertunangan mereka, yang lebih tepat disebut perjodohan, telah menjadi rahasia umum di antara para pelayan dan segelintir lingkaran dalam keluarga. Tidak pernah ada pengumuman resmi, tidak ada pesta megah, apalagi sorotan media. Lara selalu merasa seperti bayangan, keberadaannya diakui namun tak pernah benar-benar terlihat. Sebuah kesepakatan diam-diam antara mendiang Bagaskara dan mendiang ayahnya, yang entah bagaimana, entah mengapa, melibatkan dirinya dalam jaring-jaring rumit warisan dan janji. Janji yang kini, setelah kepergian kedua tetua itu, hanya Lara yang memegang teguh, sementara Elara-pria yang menjadi ujung tombak janji itu-menolaknya mentah-mentah.
Perubahan Elara begitu drastis. Dulu, Elara adalah sosok yang berbeda. Elara kecil, dengan senyum ramah dan mata penuh perhatian, sering kali mencuri-curi waktu untuk mengajarinya membaca atau sekadar bercerita tentang petualangan yang ia baca dari buku-buku tebal di perpustakaan pribadi keluarga. Kenangan itu, meski samar dan terdistorsi oleh waktu, masih tersimpan rapi di benak Lara. Sebuah gambaran Elara yang baik hati, jauh dari Elara yang kini berdiri di hadapannya, penuh kebencian dan penolakan. Seolah-olah, setiap kali mata Elara menangkap sosok Lara, bara api permusuhan itu semakin menyala, membakar habis setiap sisa kebaikan yang pernah ada.
"Aku tidak akan pernah mengakui pernikahan ini," suara Elara, dingin dan menusuk, masih terngiang jelas di telinga Lara, bahkan setelah bertahun-tahun. Kalimat itu diucapkan dengan nada final, tak terbantahkan, pada malam setelah upacara pernikahan sederhana yang hanya disaksikan oleh segelintir kerabat dekat dan notaris. Sebuah formalitas tanpa makna, tanpa cinta, tanpa harapan. Lara ingat bagaimana ia hanya bisa menunduk, air mata yang ia tahan mati-matian akhirnya tumpah, membasahi kain kebaya putihnya yang terasa begitu hambar.
Penolakan Elara tak berhenti pada kata-kata. Pria itu menunjukkannya dengan perbuatan. Selama tiga tahun, Elara memilih untuk tidak kembali ke rumah utama keluarga Bagaskara, tempat di mana Lara kini tinggal dalam kesepian. Tiga tahun penuh penantian, penuh kesia-siaan. Elara seolah menghilang ditelan bumi, sibuk dengan dunianya sendiri, dengan bisnisnya yang menjulang, dengan kehidupan yang sengaja ia bangun jauh dari jangkauan Lara. Harapannya hanya satu: agar Lara menyerah, agar Lara lelah, agar Lara mengajukan gugatan cerai. Sebuah cara halus untuk memaksa, untuk mengusir, tanpa harus mengotori tangannya sendiri dengan kalimat perpisahan.
Lara tahu, Elara ingin bebas. Ia ingin terlepas dari ikatan yang ia anggap sebagai belenggu, sebagai aib. Ia ingin mengejar kehidupannya sendiri, bersama wanita yang ia cintai-Elena. Nama itu, Elena, seringkali disebut-sebut dalam desas-desus para pelayan. Sebuah nama yang selalu terasa seperti duri dalam daging bagi Lara, mengingatkannya pada posisinya yang tak diinginkan. Lara hanya bisa berharap, dalam diam, bahwa suatu hari Elara akan menyadari bahwa ia tidak pernah bermaksud mengikatnya. Ia hanya mencoba memenuhi janji, sebuah janji yang kini terasa seperti kutukan.
Namun, harapan itu sirna ketika sebuah kabar buruk datang menghantam keluarga Bagaskara. Bastian, kakek Elara yang selama ini menjadi satu-satunya pendukung Lara, jatuh koma. Pria tua yang baik hati itu, yang selalu memperlakukannya seperti cucu kandung, kini terbaring tak berdaya di rumah sakit, diselubungi alat-alat medis yang berbunyi monoton. Kepergian Bastian, bahkan jika hanya sementara, membuka pintu bagi Stella, ibu Elara, untuk melancarkan serangan terakhirnya.
Stella tidak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya pada Lara. Sejak awal, Stella memandang Lara sebagai benalu, sebagai aib yang tak layak bersanding dengan putra sulungnya. Bagi Stella, Lara hanyalah anak seorang sopir, tidak lebih, tidak kurang. Darah bangsawan Elara tidak boleh tercampur dengan darah rakyat jelata seperti Lara. Setiap tatapan Stella dipenuhi penghinaan, setiap perkataannya adalah racun yang meracuni hati Lara.
"Kau pikir kau pantas bersanding dengan Elara? Kau pikir kau punya tempat di keluarga ini?" Suara Stella, tajam dan dingin, selalu menusuk Lara hingga ke ulu hati. "Kau hanya parasit yang menempel pada putraku. Sekarang, setelah Kakek Bastian tidak bisa lagi melindungimu, saatnya kau menunjukkan dirimu sendiri ke luar dari kehidupan kami."
Stella tidak hanya bicara. Ia bertindak. Tekanan demi tekanan dilancarkan. Setiap hari, Lara harus menghadapi tatapan tajam Stella, mendengar sindiran-sindiran pedas yang meruntuhkan harga dirinya. Stella mendesaknya untuk membuat surat gugatan cerai. Mengancam akan menyebarkan berita tentang latar belakang Lara, mempermalukan dirinya di hadapan publik, bahkan mengancam akan mengambil alih rumah tempat Lara kini tinggal jika Lara tidak menurut. Lara tahu, ia tidak punya pilihan. Bastian, satu-satunya pelindungnya, kini tak berdaya. Ia sendiri, tak ada siapa-siapa yang bisa diandalkan.
Hati Lara hancur. Ia telah berjanji kepada Bastian, di ranjang kematian ayahnya, bahwa ia akan menjaga janji perjodohan ini. Bahwa ia akan mencoba untuk mencintai Elara, untuk menjadi istri yang baik, dan untuk membawa nama baik keluarga Bagaskara. Janji yang kini harus ia langgar. Sebuah janji yang kini terasa seperti beban yang sangat berat di pundaknya.
Dengan tangan gemetar, Lara akhirnya menulis surat gugatan cerai itu. Setiap huruf yang ia torehkan di atas kertas terasa seperti sayatan di hatinya. Ia menyerah. Ia melepaskan. Ia membiarkan Elara bebas. Stella tersenyum puas, senyum kemenangan yang kejam, seolah-olah semua ini adalah bagian dari rencananya yang sempurna. Lara hanya bisa merasakan kehampaan yang tak terkira, sebuah lubang menganga di dalam dirinya, tempat janji-janji dan harapan-harapannya dulu bersemayam.
Malam itu, setelah surat gugatan cerai itu diserahkan, Lara merasa seperti jiwanya melayang entah ke mana. Ia keluar dari rumah besar itu, entah ke mana kakinya melangkah. Udara malam yang dingin terasa menusuk kulitnya, namun tak sedingin hatinya. Ia ingin melarikan diri, ingin menghilang, ingin melupakan semua kepedihan yang menimpanya.
Sebuah kesalahan terjadi. Sebuah momen yang tak terduga, yang mengubur Lara dalam penyesalan yang mendalam. Ia berada di sebuah kelab malam, entah bagaimana bisa sampai di sana, mencari pelarian dari semua rasa sakit. Alkohol mengaburkan akal sehatnya, dan dalam kegelapan itu, sebuah sentuhan, sebuah kehangatan, sebuah kebingungan melingkupinya. Ketika ia terbangun di pagi hari, di sebuah kamar hotel yang asing, dengan tubuh yang terasa sakit dan ingatan yang kabur, ia tahu apa yang telah terjadi. Keperawanannya telah terenggut. Ia menangis tanpa suara, menyesali kebodohannya, menyesali takdirnya.
Yang lebih menyakitkan, Elara tak menyadari siapa wanita yang bersamanya malam itu. Dalam kekacauan dan kegelapan, Elara mengira ia bersama Elena. Ironi yang begitu kejam, takdir yang begitu mempermainkan. Lara, yang telah melepaskannya, kini terikat oleh benang tak terlihat, sebuah rahasia yang akan menghantuinya.
Setelah perceraian resmi, Elara bergerak cepat. Tanpa ragu, ia melamar Elena. Berita pertunangan mereka menyebar dengan cepat, menjadi topik hangat di kalangan sosialita. Foto-foto Elara dan Elena yang tersenyum bahagia terpampang di berbagai majalah, seolah-olah mereka adalah pasangan paling ideal di dunia. Hati Lara perih, namun ia mencoba untuk tabah. Ini adalah kebebasan yang Elara inginkan, dan Lara telah memberikannya.
Lara memilih untuk menenangkan diri dari hiruk-pikuk ibu kota. Ia meninggalkan semua kenangan pahit itu di belakang, mencari kedamaian di tempat yang jauh. Sebuah desa kecil, asri, dengan udara segar dan pemandangan hijau yang menyejukkan mata. Di sana, Lara menemukan kembali dirinya. Ia mulai berkebun, menanam bunga-bunga kesukaannya, merawat setiap kuncup dengan penuh kasih sayang. Dari bunga-bunga itu, ia mulai bereksperimen, membuat sabun dan parfum, menemukan gairah baru dalam hidup. Aroma melati, mawar, dan kenanga memenuhi gubuk kecilnya, menciptakan suasana yang menenangkan.
Di tengah kesibukan barunya, Lara tak menyadari perubahan dalam dirinya. Mual di pagi hari, nafsu makan yang berubah, dan rasa lelah yang tak biasa. Ia mengira itu hanya efek dari perubahan gaya hidup, atau mungkin stres yang masih tersisa. Ia tak menyadari, sebuah kehidupan baru sedang tumbuh di dalam rahimnya. Sebuah anugerah yang tak terduga, yang lahir dari kesalahan terburuk dalam hidupnya, dari malam yang ingin ia lupakan selamanya. Anak dari pria yang begitu membencinya, yang kini bertunangan dengan wanita lain.