Perutnya semakin membesar, tak bisa lagi disembunyikan di balik pakaian-pakaian longgar yang ia kenakan. Setiap pagi, di depan cermin usang gubuknya, ia melihat r
asan itu mulai merayapi hatinya, menggeser sedik
a memilah hasil kebun, Mbah Karsih tiba-tiba berhenti. Pandangannya menelusuri perut Lara yang sedikit menonjol. Lara menahan n
namun ada nada kepastian di dalamnya
a yang telah memperlakukannya seperti cucu sendiri. Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya tumpah ruah. Ia menceritakan semuanya, tentang perjodohan yang ia jalani, tentang Elara y
ap punggung Lara dengan tangan keriputnya. "Hidup ini memang penuh liku,
i tetangga lain, dan mendampingi Lara melewati proses persalinan. Mbah Karsih adalah bidan kampung di masa mudanya, dan pengetahuannya tentang persali
ak waktu di gubuk, hanya keluar jika ada kebutuhan mendesak atau untuk mengurus kebun bunga di halaman belakang. Hasil penjualan sabun dan parfumnya semakin meningkat, menjadi satu-satunya sumber penghasilannya untuk mempersiapkan kelahiran sang bayi. Ia membeli kain
an sorotan kamera dari berbagai penjuru. Elara tampak bahagia, senyumnya terkembang di setiap foto yang dipublikasikan. Ia memeluk Elena dengan mesra, mengucapkan janji suci di hadapan ratusan tamu undangan, ter
m setiap kesempatan, ia menyisipkan pujian untuk Elena dan keluarganya, sekaligus sindiran halus (yang hanya dipahami oleh orang-orang tertentu) tentang "masa lalu yan
telah membuat keputusan terbaik. Sesekali, terlintas bayangan wanita dengan mata sedih dalam mimpinya, namun ia selalu menepisnya sebagai kelelahan. Tidak ada ruang bagi penyesalan di hati Elara, setidaknya tidak untuk sa
pinginya. Dengan segala ilmu yang ia miliki, dan dengan peralatan seadanya, Mbah Karsih membantu Lara melewati proses persalinan yang panjang dan menyakitkan. Setiap dorongan, setiap
a. Mbah Karsih meletakkan bayi itu di dada Lara. Seorang bayi laki-laki. Rambutnya hitam legam, matanya tertutup rapat, dan bibirnya bergerak-gerak mencari. La
anya Mbah Karsih lembut, sen
anya... Bagas. Bagas Dirgantara," bisiknya, air mata bahagia mengalir deras. Bagas, dari Bagaskara, sebuah nama yang mengingatkannya pada kakek Elara, Bastian, pria yang selalu melindunginya. Dirgantara, nama ke
etiap tangisan, setiap gerakan kecilnya, mengisi hari-hari Lara dengan makna. Ia sepenuhnya mencurahkan hidupnya untuk merawat Bagas. Ia belajar menggendong, menyus
au sekadar menggendong Bagas saat Lara sibuk membuat sabun dan parfum. Kebun bunga Lara juga semakin subur, menghasilkan lebih banyak bahan baku untuk produk-prod
buah kenyataan yang terkadang menyakitkan namun juga membawa kehangatan. Bagas sangat dekat dengan Lara dan Mbah Karsih. Ia sering membantu Lara d
dengan usahanya, dan seorang ibu yang bahagia. Ia berpikir, mungkin ia tidak akan pernah lagi berhadapan dengan Elara, dengan masa lalu yang ia coba kubur dalam-dalam. Nam