Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Hati Suamiku Milik Sepupuku
Hati Suamiku Milik Sepupuku

Hati Suamiku Milik Sepupuku

5.0
5 Bab
2 Penayangan
Baca Sekarang

Kirana selalu berharap Revan akan mencintainya suatu hari nanti. Pernikahan mereka adalah hasil perjodohan, dan Kirana telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan hati suaminya. Namun, suatu hari, kenyataan pahit terungkap: Revan tidak pernah membuka hatinya karena sudah memiliki wanita lain. Wanita itu tak lain adalah Sekar, sepupu Kirana sendiri. Pengkhianatan ini terungkap tepat di depan mata Kirana, menghancurkan sisa-sisa harapan yang ia miliki. Rumah tangga yang selama ini dingin kini berada di ambang kehancuran. Di tengah kehancuran hatinya, sebuah sosok dari masa lalunya kembali hadir: Bara Mahendra.

Konten

Bab 1 tak pernah ada

Kirana menatap pantulan dirinya di cermin rias, siluet gaun tidur satin yang lembut membalut tubuhnya. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam, dan seperti malam-malam sebelumnya, sisi ranjang di sebelahnya masih kosong, dingin, dan tak tersentuh. Aroma maskulin yang samar dari bantal Revan adalah satu-satunya tanda bahwa suaminya masih tinggal di rumah ini, di bawah atap yang sama dengannya. Namun, Revan sendiri, sosok nyata yang Kirana harapkan, tak pernah ada.

Sudah dua tahun pernikahan ini berjalan, dua tahun yang terasa seperti dua abad. Dua tahun Kirana menghabiskan malam-malamnya di ranjang sebesar King size ini, berharap, berdoa, bermimpi bahwa suatu hari Revan akan benar-benar ada di sisinya, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara hati. Kirana selalu berharap Revan akan mencintainya suatu hari nanti. Sebuah harapan yang kian hari kian terasa seperti fatamorgana di gurun pasir.

Pernikahan mereka adalah hasil perjodohan. Bukan kisah cinta yang meledak-ledak atau pertemuan takdir yang romantis. Ini adalah perjanjian bisnis, sebuah penyatuan dua keluarga besar demi kepentingan ekonomi dan status sosial. Keluarga Wijaya dan keluarga Dananjaya, dua konglomerat raksasa yang memutuskan untuk mengikat tali persaudaraan melalui pernikahan Kirana dan Revan. Kirana, sebagai putri tunggal keluarga Wijaya, dan Revan, pewaris tunggal keluarga Dananjaya. Mereka adalah pion dalam permainan catur raksasa yang dimainkan oleh orang tua mereka.

Sejak awal, Revan tidak pernah menyembunyikan ketidaksetujuannya. Wajahnya selalu datar, matanya dingin, setiap sentuhan darinya terasa seperti kewajiban, bukan keinginan. Namun, Kirana, dengan segala idealismenya, percaya bahwa cinta bisa tumbuh. Ia percaya bahwa kesabaran, pengertian, dan ketulusan bisa meluluhkan gunung es sekalipun. Dan Revan adalah gunung es yang sangat tinggi dan beku.

Kirana telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan hati suaminya. Ia belajar memasak masakan kesukaan Revan, meskipun Revan jarang pulang makan malam. Ia sering mengirimkan pesan singkat berisi ucapan penyemangat atau sekadar bertanya kabar, yang seringkali hanya dibalas dengan emoji jempol, atau bahkan tidak dibalas sama sekali. Kirana bahkan pernah mencoba merencanakan liburan romantis ke Bali, sebuah resor privat yang ia impikan sejak lama. Namun, Revan menolaknya dengan alasan pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Kirana tahu, itu hanya alasan.

Ia ingat sore itu, beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Ia dengan cemburu melihat Revan begitu asyik dengan ponselnya, senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang tak pernah ia lihat saat Revan berbicara dengannya. Saat Kirana bertanya siapa yang Revan ajak bicara, Revan hanya menjawab singkat, "Rekan kerja." Kirana mencoba percaya, meskipun hatinya berbisik ragu.

Pernah suatu malam, Kirana memberanikan diri. Ia menunggu Revan pulang hingga larut malam. Ketika Revan akhirnya muncul, aroma alkohol menyeruak dari tubuhnya, dan Kirana tahu Revan baru saja dari bar atau klub malam. Tanpa bertanya banyak, Kirana membantunya melepaskan dasi dan jaket, menuntunnya ke kamar mandi. Revan, yang setengah mabuk, saat itu mengucapkan sebuah nama. Sebuah nama yang menggores hati Kirana lebih dalam dari pisau tajam.

"Sekar..." gumam Revan, matanya terpejam.

Dunia Kirana seolah berhenti berputar. Sekar? Sekar, sepupunya sendiri? Adik dari ibunya, putri dari bibinya. Kirana dan Sekar tumbuh bersama, berbagi rahasia, tawa, dan tangisan. Sekar adalah orang yang paling Kirana percaya, selain ibunya. Bagaimana mungkin?

Kirana menepis pikiran itu. Mungkin Revan salah sebut nama. Mungkin itu hanya khayalannya. Ia tidak ingin percaya. Ia tidak boleh percaya. Keyakinannya akan cinta yang bisa tumbuh itu terlalu kuat, terlalu berharga untuk dihancurkan oleh sebuah nama yang terucap tanpa sadar.

Rumah tangga mereka adalah sebuah sandiwara. Di depan umum, mereka adalah pasangan sempurna. Revan akan menggenggam tangan Kirana di acara-acara sosial, tersenyum tipis, bahkan sesekali melingkarkan lengannya di pinggang Kirana. Semua itu hanyalah topeng, topeng yang dikenakan untuk menjaga reputasi keluarga. Kirana tahu itu, tapi ia tetap bermain peran. Ia tersenyum, tertawa, dan berpura-pura bahagia. Berpura-pura seolah sentuhan dingin Revan adalah kehangatan.

Setiap malam, setelah Revan akhirnya pulang, ia akan langsung masuk ke ruang kerjanya, menghabiskan waktu berjam-jam di sana, atau pergi tidur di kamar tamu yang sudah lama ia jadikan "ruang pribadi". Kirana mencoba mendekat, mencoba bicara. Pernah ia membawakan secangkir kopi panas ke ruang kerja Revan.

"Revan, ini kopi panas," ucap Kirana pelan, meletakkan cangkir di meja.

Revan bahkan tidak mengangkat kepalanya dari layar laptopnya. "Terima kasih."

"Kau sudah makan malam?"

"Sudah."

Percakapan singkat, datar, dan tanpa emosi. Kirana merasa seperti sedang berbicara dengan dinding. Ia mundur perlahan, meninggalkan Revan sendirian dengan pekerjaannya. Atau mungkin, dengan pikirannya. Pikirannya tentang siapa?

Pagi itu, mentari bersinar cerah, namun hati Kirana terasa sekelam malam. Ia sedang mempersiapkan sarapan di dapur, menuangkan jus jeruk ke dalam gelas ketika ponsel Revan yang tergeletak di meja berdering. Nama "Sekar" terpampang jelas di layar. Sebuah pesan masuk.

"Sudah bangun, sayang? Jangan lupa nanti malam ada acara penting, ya. Aku akan menunggumu."

Darah Kirana berdesir, seluruh tubuhnya membeku. Sayang? Acara penting? Jantungnya berdegup kencang, memukul-mukul dadanya dengan irama tak beraturan. Matanya terpaku pada layar ponsel itu. Rasa mual menjalar dari perutnya hingga kerongkongan. Ia hampir saja menjatuhkan gelas di tangannya.

Ia meraih ponsel itu, tangannya gemetar. Otaknya berteriak untuk tidak membukanya, tapi rasa penasaran yang bercampur ketakutan lebih mendominasi. Ia membuka pesan itu, lalu tanpa sadar, ia membuka semua pesan sebelumnya. Rentetan pesan yang tak bisa disangkal lagi. Foto-foto mereka berdua, selfie romantis di berbagai tempat, bahkan ada foto Revan mencium kening Sekar dengan latar belakang pantai. Kirana mengenali pantai itu, itu adalah pantai pribadi di Bali yang pernah ia ajak Revan pergi. Pantas saja Revan menolak. Ia sudah pergi ke sana dengan wanita lain. Dengan Sekar.

Nafas Kirana tercekat. Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya, lalu menghancurkannya berkeping-keping. Dunia di sekelilingnya mendadak sunyi, hanya suara detak jantungnya sendiri yang menggema di telinganya. Kakinya lemas, ia terduduk di lantai dapur, ponsel masih tergenggam erat di tangannya.

"Tidak... tidak mungkin..." bisiknya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Bagaimana bisa? Sekar, sepupu yang selalu ia anggap seperti adiknya sendiri. Sekar, yang sering datang ke rumah mereka, bahkan menginap. Sekar, yang selalu memberikan saran-saran tentang bagaimana mendekati Revan. Semua itu hanyalah tipuan? Sebuah permainan licik?

Suara langkah kaki terdengar mendekat. Revan. Ia baru saja turun dari kamar. Kirana buru-buru menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan ponsel. Tapi terlambat. Revan melihatnya.

"Apa yang kau lakukan dengan ponselku?" Revan bertanya, suaranya datar, tanpa emosi, namun ada sedikit ketegasan yang menunjukkan ia tidak suka privasinya dilanggar.

Kirana tidak bisa menjawab. Air mata yang sudah ia tahan akhirnya tumpah, mengalir deras membasahi pipinya. Ia mengangkat ponsel itu, memperlihatkan layar yang masih menampilkan pesan-pesan Sekar. Revan melihatnya, dan wajahnya tidak menunjukkan terkejut sama sekali. Hanya kelegaan samar, seolah beban yang selama ini ia pikul akhirnya terangkat.

"Jadi... ini alasannya?" Suara Kirana bergetar, nyaris tak terdengar. "Ini alasan kenapa kau tidak pernah membuka hati untukku? Karena kau sudah memiliki wanita lain? Dan wanita itu... Sekar?"

Revan menghela napas, mengusap wajahnya dengan kasar. "Kirana, dengarkan aku..."

"Dengarkan apa, Revan?" Kirana menyela, suaranya meninggi, dipenuhi rasa sakit dan pengkhianatan yang mendalam. "Dengarkan bagaimana kalian menipuku? Bagaimana kalian bersandiwara di depanku? Kalian berdua!"

Pengkhianatan itu terjadi di depan mata Kirana. Revan berdiri di sana, dengan ekspresi datar yang tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Kenyataan itu menghantam Kirana dengan keras, jauh lebih sakit daripada yang ia bayangkan. Suami yang seharusnya mencintainya, ternyata mencintai wanita lain. Wanita itu adalah sepupunya sendiri.

"Kami tidak bermaksud menyakitimu, Kirana," Revan berkata, nadanya lebih lunak, tapi tetap saja, tidak ada empati yang Kirana harapkan. "Ini hanya... terjadi begitu saja."

"Terjadi begitu saja?!" Kirana bangkit berdiri, air mata terus mengalir. "Apa kalian pikir aku bodoh?! Apa kalian pikir aku tidak memiliki perasaan?! Aku istrimu, Revan! Aku adalah wanita yang kau nikahi! Dan kalian berdua... kalian bermain di belakangku?!"

Revan diam. Keheningan itu jauh lebih menyakitkan daripada kata-kata. Keheningan itu adalah pengakuan tanpa suara, sebuah konfirmasi atas semua ketakutan Kirana.

"Rumah tangga yang dingin itu mulai berada dalam ambang kehancuran," batin Kirana. Ini bukan lagi sekadar dingin. Ini sudah hancur. Hancur berkeping-keping.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Revan, nadanya kini terdengar pasrah.

"Melakukan apa?" Kirana tertawa pahit, air mata membanjiri wajahnya. "Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku tetap di sini, menjadi boneka dalam pernikahan palsu ini? Menonton kalian berdua, sementara aku mati perlahan-lahan?"

"Kita bisa bicara baik-baik..."

"Baik-baik?" Kirana menggelengkan kepalanya. "Tidak ada lagi yang bisa dibicarakan, Revan. Semua sudah jelas."

Ia mengambil langkah mundur, menjauh dari Revan, menjauh dari kenyataan pahit yang kini menghantamnya. Kirana tidak tahu harus pergi ke mana. Rumah ini, yang seharusnya menjadi surga, kini terasa seperti neraka.

Saat hati Kirana hancur berkeping-keping, saat ia merasa dunianya runtuh tak bersisa, sebuah gema dari masa lalu mendadak muncul dalam benaknya. Sebuah nama, sebuah wajah, sebuah janji yang pernah terucap. Sebuah kenangan yang selama ini ia kubur dalam-dalam, kini muncul kembali dengan begitu jelas.

Bara Mahendra.

Nama itu terucap di bibirnya tanpa sadar, sebuah desahan, sebuah harapan kecil yang entah bagaimana masih bersembunyi di sudut hatinya yang hancur. Bara. Sahabat masa kecilnya, cinta monyetnya, orang yang pernah berjanji akan selalu ada untuknya. Orang yang ia kira sudah lama menghilang dari hidupnya.

Kirana ingat saat mereka masih remaja, duduk di bawah pohon mangga di halaman belakang rumahnya. Bara, dengan rambut acak-acakan dan senyum lebarnya, berjanji akan selalu melindunginya.

"Nanti kalau Kirana sudah besar, kalau ada yang jahatin Kirana, Bara yang akan lindungi!" janji Bara dengan lantang, mengepalkan tinjunya seolah-olah ia adalah pahlawan super.

Kirana saat itu hanya tertawa, menganggapnya sebagai janji kekanak-kanakan. Tapi sekarang, janji itu terngiang-ngiang di telinganya. Ia membutuhkan Bara. Ia membutuhkan seseorang yang bisa melindunginya dari rasa sakit ini.

Bagaimana kabar Bara sekarang? Apakah ia masih mengingatnya? Apakah ia masih menjadi Bara yang sama, yang selalu ada untuknya? Kirana tidak tahu. Tapi di tengah kekosongan dan kepedihan ini, nama Bara Mahendra adalah satu-satunya cahaya, satu-satunya jangkar yang bisa ia genggam.

Kirana berjalan sempoyongan menuju kamarnya, mengambil tas selempang kecil dan memasukkan beberapa barang penting. Ponselnya, dompet, dan kunci mobil. Ia tidak tahu akan pergi ke mana, tapi ia tahu ia tidak bisa tinggal di sini lagi. Ia tidak bisa bernapas di ruangan yang dipenuhi kebohongan dan pengkhianatan ini.

"Kirana, mau ke mana?" Revan bertanya, suaranya kini terdengar sedikit panik.

Kirana menatap Revan, matanya merah dan bengkak. "Ke mana pun. Asalkan tidak di sini bersamamu dan kebohonganmu."

Ia berbalik, melangkah keluar dari kamar, dari rumah itu, tanpa menoleh lagi. Pintu tertutup di belakangnya, mengakhiri dua tahun sandiwara, dua tahun harapan yang sia-sia, dan memulai babak baru dalam hidupnya. Babak yang penuh ketidakpastian, namun juga mungkin, sebuah babak yang akan membawa kembali potongan-potongan hatinya yang hancur.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 tidak pernah memaksa   Kemarin lusa15:11
img
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY