Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / FATED (Tuan Mafia dan Nona Badut)
FATED (Tuan Mafia dan Nona Badut)

FATED (Tuan Mafia dan Nona Badut)

5.0
12 Bab
14 Penayangan
Baca Sekarang

Dalam dua puluh enam tahun usianya, Raline merasa keberuntungan pasti sangat membencinya. Namun sebaliknya, kesialan kerap mengintilinya ke mana pun ia melangkah. Bayangkan saja, ia pernah berpacaran selama delapan tahun lamanya dengan Aksa. Namun Aksa malah menikahi Lia yang baru dikenalnya dalam hitungan bulan. Kesialan lainnya, moved on dari Aksa, ia berpacaran dengan Heru. Tetapi yang bersanding di pelaminan dengan Heru adalah Lily. Raline tidak mengerti, kesalahan yang ada di dirinya, hingga setiap pria yang ia pacari, ujung-ujungnya selalu meninggalkannya. Hingga takdir lain mulai berkonspirasi dalam kehidupan percintaannya. Ia dilamar dalam kurun waktu empat menit oleh Axel Delacroix Adams. Seorang mafia sekaligus kakak laki-laki Lily, rivalnya. Bagaimanakah nasib Raline selanjutnya? Apakah ia masih akan ketiban sial, atau malah bahagia selama-lamanya seperti kisah Cinderella? Cerita ini akan mengisahkan tentang jodoh yang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Bahwasanya jodoh itu tidak bisa dipaksa, dijebak apalagi dikejar dengan berbagai cara. Karena sejatinya jodoh akan datang di saat hatimu telah siap dan waktu yang tepat."

Konten

Bab 1 Penawaran Gila.

Raline memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 19. 30 WIB. Berarti ia telah menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh jam untuk mencari pekerjaan. Ia keluar rumah pada pukul 09.00 WIB tadi pagi. Sialnya dalam kurun waktu sepuluh jam itu, ia belum juga mendapat pekerjaan.

Raline melirik pos Satpam di depan pintu gerbang yang kosong melompong. Tidak tampak Pak Udin atau Bang Jaja lagi di sana. Tentu saja keduanya tidak ada lagi di pos Satpam. Mengingat ayahnyanya telah memberhentikan baik itu Satpam, supir ataupun Aristen Rumah Tangga. Semua itu terpaksa ayahnya lakukan demi menghemat pengeluaran.

Dengan lesu, Raline membuka pintu pagar dan menutupnya perlahan. Setelah seharian berjibaku dari satu kantor ke kantor lainnya untuk mencari pekerjaan, Raline ingin mengisi perut dan beristirahat. Ia merasa sangat lelah. Mungkin dengan beristirahat ia bisa memulihkan kondisinya. Dengan begitu diharapkan keesokan harinya ia bisa kembali mencari pekerjaan.

Baru saja tiba di depan pintu, Raline telah disambut oleh pertengkaran kedua orang tuanya. Akhir-akhir ini kedua orang tuanya kerap berselisih paham. Tepatnya sejak Heru batal menjadi suaminya, karena menikahi Lily. Dengan lepasnya Heru sebagai kandidat menantu potensial, ayahnya sekarang pusing tujuh keliling. Hutang-hutang ayahnya melilit pinggang. Istimewa hutang ayahnya pada Pak Riswan. Dua rentenir langganan ayahnya yang menetapkan suku bunga di atas rata-rata.

Dulu ayahnya tenang-tenang saja terus dan terus meminjam uang panas pada Pak Riswan. Ayahnya mengira Heru akan melunasi semua hutang-hutangnya setelah Heru menjadi menantunya. Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Rencana pernikahan mereka gagal karena Heru jatuh cinta pada Lily.

Semua rencana yang disusun ayahnya, berbalik seratus delapan puluh derajat. Hutang ayahnya semakin menggunung, sementara ayahnya tidak mempunyai uang untuk melunasinya. Ayahnya bangkrut. Perusahaan mereka telah ditutup sebulan yang lalu.

Sisa uang yang ada, telah habis untuk membayar pesangon para karyawan. Itu pun tidak cukup. Setiap hari ada saja mantan-mantan karyawan ayahnya yang berteriak-teriak di luar rumah. Mereka menuntut pesangon yang lebih besar.

Karena ayahnya memang sudah tidak lagi memiliki uang, ayahnya mendiamkannya saja. Mau bagaimana lagi. Mereka memang sudah tidak memiliki apapun lagi. Bahkan rumah yang mereka tempati ini kabarnya akan segera disita oleh bank. Mereka hanya tinggal menunggu waktu.

Kedua orang tuanya sudah satu satu bulan ini tidak berani keluar rumah. Mereka malu pada tetangga kanan kiri. Biasanya kedua orang tuanya ini sombong dan tinggi hati. Sehingga pada saat susah seperti ini, para tetangga dengan bahagia menyoraki alih-alih ikut bersusah hati.

"Semua masalah ini terjadi, itu karena kamu tidak bisa mendidik anak!"

Mendengar suara bentakan ayahnya, Raline urung memutar panel pintu. Ia takut terkena imbas amarah kedua orang tuanya. Jika sedang bertengkar seperti ini, keduanya acapkali menjadikannya pelampiasan atas rasa frustasi. Semua kesalahannya di masa lalu akan terus diungkit-ungkit. Sebaiknya ia menyingkir saja.

Padahal saat ini ia sangat lelah dan lapar. Seharian berkeliling dari satu kantor ke kantor yang lain untuk mencari pekerjaan, benar-benar menguras tenaganya.

Sialnya lagi, meskipun telah berjibaku seharian, tidak ada satu perusahaan pun yang bersedia menerimanya. Selain ijazahnya yang nilainya memang pas-pasan, mungkin karena isu-isu ayahnya yang bangkrut juga. Makanya mereka semua kompak menolaknya.

Untuk meminta tolong Aksa atau Heru, Raline tidak berani. Pada Aksa, dulu Raline pernah berbuat jahat pada Camelia, istri Aksa. Atas desakan ibunya, Raline terpaksa memfitnah Camelia agar Aksa tidak jadi menikahi Camelia. Selain itu Raline juga takut dihajar oleh Camelia. Istri Aksa itu sangat mumpuni dalam ilmu bela diri. Ia bisa dijadikan perkedel oleh Camelia, kalau ia tahu bahwa dirinya berani menemui Aksa lagi.

Meminta bantuan pada Heru, Raline juga tidak enak hati. Selain masih di rumah sakit, Heru sekarang juga telah menikah dengan Lily. Tidak pantas rasanya jika ia merecoki suami orang. Lagi pula, dulu ia dan sang mama kerap menyakiti Lily, demi mempertahankan Heru. Tidak tahu diri sekali kalau ia sekarang mengemis pada Lily bukan? Makanya Raline berinisiatif untuk mencari pekerjaan demi menyambung hidup. Ia tidak mau menjadi tukang minta-minta lagi.

Namun pada kenyataannya, bekerja itu sangat tidak mudah. Terbiasa dimanja sedari kecil, membuat Raline gamang saat menghadapi kenyataan hidup. Di luar tembok rumahnya, kehidupan begitu keras. Tanpa koneksi, mencari pekerjaan itu bagai mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Sulitnya pangkat tiga. Alias sulit, sulit dan sulit.

Sementara keadaan keuangan keluarganya sudah sampai pada taraf kritis. Ayahnya tidak mampu lagi membayar gaji SATPAM, supir dan juga Asisten Rumah Tangga. Semuanya sudah diberhentikan. Saat ini untuk mengisi perut saja mereka harus benar-benar berhemat.

"Kok aku yang disalahkan? Dari kecil aku sudah mengajarinya berdandan. Mendidiknya agar pandai membawa diri dan bersikap layaknya seorang wanita kelas atas. Salahku di mana, Mas?"

Bantahan keras sang ibu yang tidak mau disalahkan, memutus lamunan Raline. Raline meringis. Seperti inilah perangai ibunya apabila diintimidasi. Ibunya akan balik menyerang apabila diserang.

Nyali Raline menciut. Ia jadi takut masuk ke dalam rumah. Karena kalau ia memaksa, sudah bisa dipastikan ia akan menjadi bulan-bulanan kedua orang tuanya. Tapi kalau tidak masuk, ia sangat lelah dan lapar. Lagi pula, nanti ia akan tidur di mana? Di depan pintu rumah, Raline berhadapan dengan dilema.

"Kamu masih berani bertanya? Salahmu itu tidak mendidik otaknya! Kamu hanya fokus pada penampilan fisiknya, tapi tidak dengan cara berpikirnya!"

Raline menutup telinga dengan kedua tangan, kala mendengar ayahnya membahas kekurangcerdasannya. Terkadang Raline bingung. Mengapa kedua orang tuanya acapkali menganggapnya bodoh. Padahal di sekolah dulu ia tidak bodoh-bodoh amat. Buktinya ia tidak pernah tidak naik kelas.

Guru-gurunya dulu juga mengatakan bahwa dirinya cukup cerdas terkait calistung. Menghapal, ia jagonya. Ia mampu menghapal titik dan koma dalam buku pelajarannya. Berhitung pun, ya bisalah. Dirinya hanya lemah pada bidang studi yang memerlukan inisiatif sendiri. Misalnya menggambar atau mengarang. Ia selalu tidak punya ide jika diminta berpikir sendiri. Dalam hal apapun ia memang memerlukan pengarahan.

"Kalau cara berpikirnya itu bukan salahku. Tapi salah genetika Mas dong. Toh benih Mas lah yang menghasilkan Raline!"

Cukup sudah! Raline memutuskan tidak akan masuk ke dalam rumah. Lebih baik ia membeli mie instan dan makan malam di Indomare* saja. Kalau hanya membeli mie instan, sepertinya sisa uangnya masih cukup. Paling ia akan menghemat untuk tidak membeli air minum. Perkara tidur, nanti saja ia pikirkan. Kalau hanya sekedar memejamkan mata di pos Satpam juga bisa. Pokoknya ia harus menunggu emosi kedua orang tuanya reda barulah ia pulang ke rumah.

Dengan langkah tersaruk-saruk, Raline kembali membuka pintu pagar. Niatnya untuk makan dan berisrirahat buyar sudah.

***

Raline duduk terkantuk-kantuk setelah satu cup popmie berpindah ke perutnya. Saat ini ia duduk di depan minimarket komplek. Ia menumpang mengisi perut setelah membeli satu cup popmie di sana.

Raline menggigil kedinginan ketika angin basah bertiup. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Raline berdehem. Tenggorokan sakit dan matanya terasa panas. Raline sangat ingin berbaring. Kepalanya seperti diganduli batu berat, sementara suhu tubuhnya terus merangkak naik. Sembari memeluk diri sendiri, Raline menelungkupkan kepalanya di meja. Ia akan mencoba tidur sebentar untuk meredakan sakit kepalanya.

Raline tidak tahu berapa lama ia tertidur, kala suara ponsel yang terus berdering membangunkannya. Raline yang kaget, terbangun sembari mengucek-ucek mata. Ternyata ibunya yang menelepon. Dengan segera Raline mengangkat teleponnya.

"Ha--"

"Ini sudah jam sembilan malam, Raline. Kamu ada di mana?!"

Raline meringis. Belum sempat mengucapkan kata halo, ibunya sudah membentaknya.

"Raline ada di minimarket komplek, Bu. Ada a--"

"Cepat pulang ke rumah. Pak Riswan ingin bertemu denganmu. Pak Riswan akan membicarakan masalah pernikahan."

"Tidak! Raline tidak mau menikah dengan Pak Riswan! Pak Riswan bahkan lebih tua dari ayah. Istrinya juga banyak sekali. Raline--"

"Jadi kamu memilih kalau ayahmu di penjara oleh Pak Riswan karena hutang dua milyar? Dasar anak durhaka kamu. Ibu tidak mau tahu. Pokoknya kamu pulang sekarang!"

"Bu, jangan memaksa Raline menikah dengan--Bu... Ibu!" Raline panik karena ibunya menutup ponsel begitu saja.

Raline ketakutan. Tidak! Ia tidak mau menikahi bandot tua mesum seperti Pak Riswan. Ia tidak sudi menjadi tumbal atas ambisi kedua orang tuanya. Dulu, ia selalu mengikuti keinginan kedua orang tuanya yang begitu berambisi ingin menjadi orang kaya.

Sedari remaja ia sudah didoktrin harus menuruti keinginan kedua orang tuanya. Karena dirinya adalah anak satu-satunya. Oleh karena itu ia berpikir, pada dirinyalah kedua orang tuanya memupuk harapan. Dirinya terus didikte harus melakukan ini dan itu yang sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Tapi tetap ia lakukan, demi baktinya kepada kedua orang tua.

Ia juga pernah terjerumus menjalin hubungan dengan dosennya sendiri sewaktu kuliah di luar negeri. Dirinya kala itu masih sangat muda. Ia begitu haus akan cinta dan kasih sayang. Aksa tidak pernah memperlakukannya sebagai kekasih. Ia sangat kesepian.

Makanya kala sang dosen mendekatinya dan menawarkan telinga untuk menampung segala keluh kesahnya, ia mengira kalau itulah cinta.

Bahu kekar sang dosen yang selalu siap sedia dijadikan tempatnya menyandarkan luka, ia kira tulus karena wujud dari cintanya. Ternyata ia salah! Sang dosen hanya memanfaatkan keluguannya. Mencari keuntungan atas dirinya yang terlunta-lunta kala mencari cinta sejati. Hingga akhirnya ia hamil dan keguguran ketika ia tahu bahwa sebenarnya sang dosen menipunya. Lebih jauh lagi, sang dosen ternyata telah berkeluarga.

Raline trauma. Ia kini ngeri jika berhadapan dengan kaum pria. Mereka rata-rata hanya ingin mengambil kesempatan di kala ia lengah. Dan sekarang kedua orang tuanya ingin menikahkannya dengan laki-laki yang jelas-jelas adalah seorang bajingan. Tidak, ia tidak mau!

Trauma dan ketakutan membuat Raline berlari tak tentu arah di tengah hujan yang mulai turun. Raline takut kalau kedua orang tuanya akan menemukannya di minimarket ini. Ia harus pergi. Ya, pokoknya ia harus pergi sejauh mungkin!

Ckitttt!

"Huaaaa!"

Raline kaget kala sebuah mobil menghentikan kendaraannya secara mendadak. Nyaris saja! Raline mengelus dada. Ia nyaris tertabrak oleh mobil yang melaju, karena tidak memperhatikan jalan. Dirinya yang salah.

"Kalo lo mau bunuh diri jangan di jalanan, brengsek! Nanti lo-nya nggak mati, malah gue yang masuk penjara. Ngerti lo?!"

Suara pintu mobil yang dibuka dan dibanting kembali, membuat Raline sadar. Bahwa ia bisa saja mencelakakan orang.

"Mmm--ma--maaf!" Dengan bibir bergetar karena takut dan kedinginan, Raline meminta maaf.

"Elo!"

Raline kaget saat menyadari siapa yang nyaris menabraknya ini. Axel Delacroix Adams. Pria seram tattoan pemarah kakak Lily rupanya. Sial sekali ia berjumpa denga mafia galak ini. Mana dirinya sedang tidak fit untuk bertengkar lagi.

"Lo ngapain lelarian kagak ada juntrungannya di jalan hah? Mau mati? Sana, terjun dari atas jembatan! Itu lebih cepet matinya. Sekalian mayatnya juga akan susah diidentifikasi saat diautopsi!" Hardikan Axel menghadirkan ide segar di kepala Raline.

"Oh iya, ya. Kenapa gue kagak kepikiran?" Raline berbicara pada dirinya sendiri. Axel benar. Daripada ia hidup namun serasa mati. Lebih baik ia benar-benar mati saja. Dengan begitu semua masalahnya selesai dalam satu langkah. Briliant.

Tanpa banyak bicara Raline berjalan ke arah jembatan. Raline berpikir kalau ia meloncat dari jembatan, matinya juga akan lebih cepat. Flyover itu cukup tinggi. Jadi ia juga tidak perlu lama-lama menahan sakit. Sakaratul mautnya pasti instan.

Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Raline merasa seseorang menyeret tangannya kasar. Axellah yang melakukannya. Axel menyeretnya menuju mobil. membuka pintu mobil dan memaksanya masuk.

"Lo sebenarnya mau ke mana malem-malem? Hujan-hujan lagi?!" Axel membentaknya lagi.

"Mau nyari uang dua milyar," ungkap Raline terus terang. Ia memang membutuhkan uang dua miliar untuk membebaskan ayahnya dari Pak Riswan.

"What the fuc*?! Eh Raline, zaman sekarang mau nyari uang gopekan logam di jalan aja susah. Ini lo malah mau nyari dua milyar? Gue rasa otak lo itu emang ketuker sama otak ayam kali ya? Makanya bloonnya all out. Buat apa itu uang dua milyar?"

"Ayah gue berhutang dua milyar pada rentenir. Sekarang rentenirnya lagi nagih ke rumah. Karena ayah gue nggak punya uang, Pak Riswan mau jadiin gue istri yang entah keberapa, buat nebus utang. Kalau gue nggak mau, gue harus nyari uang dua milyar buat bayar itu utang. Kalo nggak, ayah gue akan dimasukkan ke penjara." Sekalian saja Raline menceritakan semuanya. Entah mengapa, perasaannya sedikit lebih lega setelah membagi masalahnya pada Axel.

"Ayo kita ke rumah lo. Gue yang akan nebus utang lo biar lo nggak jadi pelakor musiman lagi. Tapi ada syaratnya, lo harus jadi bini gue. Bagaimana, deal?"

Raline mendengkus kesal. Axel selalu mengejeknya sebagai seorang Pelakor, karena ia selalu mengusik rumah tangga adiknya. Dan herannya, Axel sekarang malah melamarnya. Orang terlalu pintar rupanya bisa gila.

"Tapi gue kan nggak cinta sama lo?" Raline memberi jawaban yang sebenarnya. Akan jadi apa dirinya bersuamikan seorang mafia.

"Gue juga nggak. Mungkin belum. Gini, bagaimana kalau mulai sekarang kita belajar mengubah mindset? Lo tunangan delapan tahun dengan Aksa, eh lo ditinggal kawin. Cinta setengah sarap sama Heru, juga ditinggal kawin. Gue juga begitu. Cinta setengah gila sama orang, juga ditinggal kawin. Kita berdua adalah orang-orang yang tidak beruntung dalam dunia percintaan."

Raline merenung. Benar juga. Ia tidak pernah beruntung dalam masalah asmara.

"Jadi mungkin kita berdua harus mencoba opsi lain. Jika kita berdua tidak bisa menikahi orang yang kita cintai, bagaimana kalau kita belajar mencintai orang yang kita nikahi?

Berani mencoba?"

Alasan Axel membuat Raline berpikir keras. Ia memutar-mutar rambut ikalnya. Keningnya berkerut karena mencoba memikirkan untung ruginya menikah dengan Axel.

"Belajar mencintai orang yang kita nikahi? Itu artinya gue harus belajar mencintai mahkluk penuh tatoo seperti lo ya?" guman Raline pelan. Ia kemudian meneliti Axel yang duduk di depannya.

"Ok. Not bad lah. Walaupun tatooan, tapi lo ganteng maksimal. Mana banyak duit lagi. Kalo lo mati, 'kan gue bisa jadi janda kaya. Oke, deal. Gue setuju nikah sama lo." Raline mengangguk-anggukkan kepalanya. Puas oleh pemikirannya sendiri.

"Mengenai lo bakal jadi janda kaya kalo gue mati, harap lo hapus pikiran itu. Karena gue belum ada rencana mati akhir-akhir ini." Axel menjawab santai, seraya menghidupkan mesin mobil.

"Oke, gampang mah itu." Hapus!" Dan Raline pun membuat gerakan seperti menghapus papan whiteboard dari keningnya.

"Selesai. Sudah dihapus." Raline nyengir sehingga matanya yang cuma segaris bulan sabit, menghilang. Ia sekarang bisa tertawa. Soalnya ia tidak jadi menikah dengan aki-aki. Melainkan menikah dengan mafia tatooan, yang walaupun galak tetapi sangat tampan. Nikmat mana lagi yang ia dustakan bukan?

"Apa yang perlu gue bilang pada orang tua lo, untuk meyakinkan mereka agar melepas lo buat gue?"

"Gampang. Bilang aja kalo lo kaya. Habis perkara!"

"Oke. Sekarang kita ke rumah lo."

Dalam rintik hujan, Raline merenung separuh senang, separuh sedih. Senangnya ia tidak jadi menikahi aki-aki. Sedihnya, ia kembali harus menjadi milik laki-laki yang tidak mencintainya lagi.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY