Dindingnya berwarna putih gading, berpadu dengan jendela-jendela besar berbingkai kayu cokelat tua. Taman depan yang biasanya terawat kini tampak sepi, hanya terdengar suara angin menyapu dedaunan kering.
Di dalam, lantai marmer mengilap memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang temaram. Lorong-lorong panjang, ruang tamu yang luas dengan sofa beludru abu-abu, dan rak buku tinggi di ruang kerja-semuanya sunyi.
Tak ada suara televisi, tak ada denting sendok di dapur, hanya gema langkah kaki Tama yang terdengar menggema saat ia menyusuri setiap sudut, mencari Ayu yang entah di mana.
Meski besar dan megah, rumah itu hari ini terasa hampa. Dinginnya bukan lagi karena AC yang menyala, melainkan karena kehangatan yang telah hilang dari dalamnya.
"Maunya apa sih kamu, Ayu? Apakah harus pakai cara keras dulu baru kamu ngerti?!" suaranya semakin lantang saat ia mulai melangkah lebih dalam ke rumah ibunya.
Tama berjalan dengan napas memburu, kakinya menghentak lantai rumah itu. Ia membuka satu per satu ruangan. Dapur kosong. Ruang belakang juga. Tinggal satu tempat yang belum ia cek-kamar ibunya.
"Ceklek ...."
Pintu kamar terbuka keras. Tama berdiri di ambang pintu, matanya langsung menangkap sosok Ayu yang sedang duduk di tepi ranjang. Ia tengah menyelimuti seorang wanita tua yang berbaring lemah-Lestari Widyastuti, ibu Tama.
"Kamu lagi-lagi di sini?!" Tama mendekat dengan tatapan menusuk. "Keluar! Sekarang juga!" Suara Tama sedikit pelan. Namun, tegas.
Ayu menoleh dengan tenang, meskipun jelas terlihat ketakutan. Tapi ia tetap menjaga nada suaranya lembut, "Tolong pelan-pelan, Mas. Ibu baru saja bisa tertidur. Tadi malam beliau gelisah terus."
Tama tidak peduli. Ia meraih pergelangan tangan Ayu dengan kasar, menariknya keluar dari kamar.
"Mas, pelan-pelan ...."
Ayu menoleh sejenak ke dalam kamar, memastikan selimut ibunya Tama tidak tersingkap. Dengan tangan bebasnya, ia menarik pintu perlahan dan menutupnya rapat.
"Ceklek ...."
Sunyi sejenak. Hanya suara napas mereka yang terdengar di lorong rumah itu.
Begitu mereka cukup jauh dari kamar Ibu Lestari, Ayu menghentakkan tangannya, melepaskan genggaman kasar Tama.
"Apa-apaan kamu, Mas, narik aku kayak gini?! Sakit tahu!" Ayu mengusap lengannya yang memerah, matanya memancarkan kemarahan yang selama ini ia tahan.
Tama menatapnya tajam. "Ayu, kamu ngapain lagi di sini, hah?"
"Aku hanya membantu merawat ibumu," jawab Ayu tenang, berusaha tetap sabar meski hatinya berkecamuk.
"Kamu nggak pantas ngerawat ibu saya! Sudah berapa kali saya bilang sama kamu nggak usah ikut campur urusan keluarga saya?! Kamu nggak punya telinga?!"
Tama mengacungkan jarinya tepat di depan wajah Ayu, nadanya sombong dan merendahkan. "Saya bisa cari pengganti kamu. Yang lebih baik, lebih profesional. Kamu bukan siapa-siapa!"
Tama marah besar. Bukan kali pertama ia meminta Ayu meninggalkan rumahnya dan berhenti merawat ibunya.
Setelan kemeja biru yang masih rapi sepulang kerja menambah kesan wibawa. Kata-katanya yang biasanya terdengar tenang dan penuh pertimbangan, kerap membuat orang lain menaruh hormat padanya.
Namun kali ini, amarahnya menghapus semua itu. Kewibawaan yang biasa ia jaga, luluh lantak oleh emosi yang meledak tanpa kendali.
Ayu mengatupkan rahangnya, menahan amarah. Tapi kali ini, ia tak bisa diam.
"Aku nggak butuh izin darimu untuk membantu ibumu. Aku di sini karena Ibu Lestari sendiri yang memintaku."
Tama melotot, suaranya meninggi. "Kamu pikir kamu siapa?! Berani-beraninya kamu melawan saya!"
Ayu menghela napas, lalu menatap Tama dengan dingin. "Aku tahu siapa kamu. Anak dari ibu yang sedang tertidur itu. Tapi aku nggak ngerti-kenapa kamu harus selalu merasa paling tinggi dan merendahkan orang lain?"
"Kamu bukan dewa, Tama. Dan tidak semua orang di dunia ini akan tunduk di bawah kakimu!"
Tama mengepalkan tangannya, merasa harga dirinya diinjak.
"Kamu nggak tahu tempat kamu di rumah ini! Kamu cuma dokter rendahan! Jangan sok bicara seperti kamu tahu segalanya!"
"Tapi aku tahu satu hal," sahut Ayu cepat, "Aku punya hati nurani. Dan aku peduli dengan ibumu. Sementara kamu? Datang-datang cuma bisa marah dan menyuruh orang pergi. Kapan terakhir kali kamu duduk dan bicara dengan ibumu? Tahu kamu, beberapa bulan yang lalu, beliau menahan sakit sendiri!"
Perkataan Ayu membuat Tama tersentak. Namun, egonya tak mau kalah.
"Saya nggak mau dengar ocehan kamu lagi. Sekarang juga, pergi dari rumah ini!" bentaknya sambil menunjuk ke arah pintu.
Ayu menatapnya tajam, lalu membalas, "Aku nggak akan pergi. Selama Ibu Lestari masih butuh aku, aku akan tetap di sini."
"Kalau kamu nggak keluar sekarang, aku akan panggil polisi!" ancam Tama.
"Silakan!" balas Ayu, matanya menyala. "Aku nggak takut! Aku di sini karena permintaan ibumu. Bukan kamu. Dan hanya Ibu Lestari yang punya hak untuk menyuruhku pergi. Bukan kamu!"
Tama melangkah maju, jarinya menunjuk tajam ke wajah Ayu.
"Kamu akan menyesal, Ayu. Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya! Dan saat penyesalan itu datang, jangan harap aku akan memaafkanmu!"
Ayu hanya mendengus. "Aku nggak peduli," katanya dingin, lalu berbalik meninggalkan Tama.
Tama menatap punggung Ayu dengan amarah yang membara.
"Saya akan buat kamu menyesal seumur hidupmu!" teriaknya.
Ayu tak menoleh. "Ancamanmu nggak akan menghentikanku," jawabnya lantang, lalu melangkah mantap menjauh. Ia langsung pergi ke kamarnya.
'Laki-laki aneh ...,' gumam Ayu dalam hati sambil duduk di tepi ranjang. Tangannya sibuk merapikan tempat tidur dengan sapu lidi, membenahi seprai, lalu menggemburkan bantal yang terlihat agak kempes.
'Sejak pertama kali ketemu dia beberapa bulan lalu, sikapnya nggak pernah berubah. A rogan, pemarah, dan sombong. Sekarang malah makin menjadi-jadi,' pikirnya, sembari menggeleng pelan.
Ayu mendesah pelan, lalu menepuk-nepuk bantal sebelum merebahkan diri.
"Kasihan Ibu Lestari ... gimana nggak makin sakit, kalau anaknya kayak gitu?" bisiknya lirih, nyaris seperti gumaman pada dirinya sendiri.
Ia menatap langit-langit kamar, tatapannya kosong tapi pikirannya sibuk.
"Pantes aja nggak ada perawat yang tahan lama kerja di sini. Baru liat anak bosnya aja pasti langsung mikir dua kali. Kalau bukan karena janji sama Mama dan permintaan Ibu Lestari, mungkin aku juga udah pergi."
Ayu menghela napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan dadanya sesak. Amarah dan lelah bercampur jadi satu.
"Yang sabar, Yu ... kamu pasti bisa," ujarnya lirih, menenangkan dirinya sendiri. "Ini semua karena Mama ... dan demi Ibu Lestari juga. Sahabat sejati Mama ... aku harus kuat."
Ia menutup mata perlahan, berusaha menarik napas tenang dan mengusir bayangan wajah Tama dari benaknya.
Malam kian larut. Suasana rumah sunyi. Detik demi detik berlalu, suara jangkrik samar terdengar dari luar jendela.
Tiba-tiba, pintu kamar berderit pelan ... nyaris tak terdengar.
Seseorang melangkah masuk perlahan.
Bayangan tubuh tinggi berdiri di sisi tempat tidur Ayu. Tangannya menggenggam erat sebuah bantal.
Tanpa suara, sosok itu mendekat-dan dalam sekejap, bantal itu diangkat tinggi, siap ditekan ke wajah Ayu yang sedang tertidur pulas ....
Srettt-
***
"Amarah adalah api yang membakar diri sendiri, jika tidak dikendalikan, maka akan menghancurkan segalanya."