Suara bel pintu rumah mewah itu masih terngiang dalam telingaku. Tanganku sempat gemetar saat menekannya, tapi aku cepat-cepat mengatur napas dan memasang wajah tenang. Ini adalah langkah pertamaku. Langkah pertama untuk membalaskan apa yang telah mereka rampas dariku.
Pintu besar itu terbuka perlahan. Seorang perempuan paruh baya dengan seragam rapi berdiri di ambang, menatapku dari ujung kaki sampai kepala.
"Selamat pagi. Saya Anya," ujarku sambil tersenyum sopan, menyorongkan map berisi lamaran kerja. "Saya melamar posisi pengasuh untuk putri Pak Raditya."
Perempuan itu mengangguk, lalu mempersilakanku masuk. Interior rumah ini begitu mewah-marmer mengilap, lampu gantung kristal, dan aroma bunga segar di udara. Aku pernah membayangkan tinggal di tempat seperti ini... bersamanya. Tapi kenyataannya, aku ditinggalkan. Dikhianati.
Setelah beberapa menit menunggu di ruang tamu, akhirnya seseorang muncul. Langkah kaki tegas terdengar dari tangga atas. Aku menoleh.
Raditya.
Tinggi, tegap, dan wajahnya lebih tampan dari foto-foto yang kulihat di internet. Dingin dan tegas, tapi ada gurat letih di matanya. Duda kaya dengan satu anak. Targetku.
"Anya, ya?" tanyanya singkat.
Aku bangkit dan mengangguk. "Iya, Pak Raditya. Saya tertarik dengan posisi sebagai pengasuh. Saya sangat menyukai anak-anak."
Dia menatapku tajam, seakan mencoba membaca pikiranku. Tapi aku sudah melatih ekspresi ini di cermin selama berminggu-minggu.
"Kalau begitu, ikut saya. Kirana sedang di taman belakang."
Kami berjalan tanpa banyak bicara. Raditya bukan tipe yang suka basa-basi, rupanya. Tapi aku tidak keberatan. Justru itu membuatnya lebih mudah dipelajari.
Saat mencapai taman, aku melihatnya-Kirana. Seorang gadis kecil berambut ikal sedang duduk di atas ayunan, tertawa sendiri sambil menggambar di buku sketsa.
"Kirana, ini Kak Anya. Mungkin nanti dia yang akan jagain kamu kalau kamu cocok," kata Raditya.
Kirana memandangku. Matanya bulat dan jernih seperti kaca. Ia tersenyum malu-malu. "Hai, Kak Anya... kamu cantik. Kamu suka gambar juga?"
Aku tersenyum, berlutut sejajar dengannya. "Kakak suka banget. Boleh Kakak lihat gambarmu?"
Kirana mengangguk, lalu menunjukkan gambarnya-rumah dengan taman dan seekor kucing besar berwarna ungu.
"Namanya Mimi," katanya pelan. "Kucing imajinasi."
Aku tertawa kecil. "Kakak juga punya kucing imajinasi dulu. Namanya Bola."
Kirana tertawa keras. "Bola? Kenapa namanya itu?"
"Karena dia bulat seperti donat."
Tawa Kirana pecah. Di belakang kami, Raditya hanya diam. Tapi aku bisa merasakan sorot matanya. Mungkin ia sedang menilai. Mungkin juga... sedikit terkesan.
Bagus. Semua berjalan sesuai rencana.
Tapi entah kenapa, senyum Kirana tadi terasa terlalu tulus. Dan untuk sesaat, aku lupa bahwa semua ini hanya bagian dari sandiwara.