Empat tahun menikah dengan Revan Mahadipa, ia tak pernah menduga kisah mereka akan berakhir seperti ini. Bukan karena perselingkuhan, bukan pula karena pertengkaran yang tak kunjung usai, tapi karena satu hal-ia tidak bisa memberi keturunan.
"Aruna, kamu harus sadar. Revan butuh penerus," kata ibu mertuanya, Ratna Mahadipa, tiga bulan lalu. Nada suaranya dingin, tapi mata itu penuh kemenangan, seolah menunggu momen ini sejak awal.
Aruna masih ingat betul bagaimana ia duduk di ruang keluarga besar keluarga Mahadipa, memeluk lutut, mencoba meyakinkan mertuanya bahwa ia dan Revan masih bisa mencari solusi lain. Adopsi. Program bayi tabung. Apa saja.
Namun Ratna hanya menggeleng pelan sambil menatap Revan, lalu berkata, "Tak ada yang bisa menggantikan darah daging sendiri. Kalau kamu sayang Revan, lepaskan dia."
Kata-kata itu menancap di kepalanya hingga kini. Dan yang lebih menyakitkan-Revan, yang dulu selalu membelanya, hanya diam.
Sore ini, setelah proses sidang terakhir, Revan menemuinya sebentar di depan gedung pengadilan.
"Kamu yakin ini jalan terbaik?" tanya Aruna, suaranya hampir tak terdengar di tengah riuh hujan.
Revan menunduk, menghindari tatapannya. "Aku... nggak tahu harus bilang apa lagi. Ibu benar. Aku harus punya keluarga lengkap."
"Keluarga lengkap?" Aruna tersenyum pahit. "Jadi empat tahun ini, kita apa, Van? Hanya sepasang manusia yang menunggu waktu dibuang?"
Revan menggenggam tangannya sebentar, lalu melepaskannya. "Maaf, Aruna."
Maaf. Kata yang terlalu singkat untuk mengganti semua luka yang ia tinggalkan.
Malam itu, Aruna memutuskan menginap di sebuah hotel kecil di pusat kota. Ia tidak ingin pulang ke apartemen yang penuh dengan kenangan Revan. Semua sudut ruangan terasa seperti jebakan-meja makan tempat mereka merayakan ulang tahun pertama pernikahan, balkon tempat mereka berbicara hingga larut malam, bahkan sofa yang masih menyimpan selimut tipis pemberian Revan.
Hotel itu sederhana. Kamar 308. Ia hanya ingin tidur, menenangkan pikirannya, lalu memikirkan rencana besok.
Tapi nasib punya rencana lain.
Pukul sebelas malam, suara gaduh terdengar dari koridor. Aruna baru saja memejamkan mata ketika pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Seseorang masuk, langkahnya tak stabil.
"Siapa-" Aruna terkejut, namun sebelum sempat berteriak, lampu padam.
Yang ia tahu, tubuhnya terperangkap di pelukan seseorang. Nafas pria itu berat, panas, dan tidak terkendali. Ada aroma alkohol yang samar bercampur dengan sesuatu yang asing-aroma manis menyengat yang membuat kulitnya merinding.
"Lepas..." suaranya tercekat. Tapi genggaman pria itu terlalu kuat.
Aruna tak tahu apa yang sedang terjadi. Ia mencoba mendorong, namun tubuhnya terasa lemah, pikirannya kacau. Semua berlangsung cepat. Ia hanya mengingat bagaimana lampu tak menyala lagi malam itu, dan wajah pria itu tetap tersembunyi dalam gelap.
Tiga tahun berlalu.
Aruna kini tinggal di pinggiran Canberra, bersama seorang bocah laki-laki berusia dua tahun setengah bernama Aiden. Anak itu memiliki rambut hitam legam dan mata cokelat tajam yang sering membuat orang berhenti sejenak untuk menatapnya.
"Aiden, ayo kita berangkat," panggil Aruna sambil merapikan kerah kemeja putihnya.
"Hari ini Mama kerja di kota?" tanya Aiden polos.
Aruna tersenyum, mengangguk. "Iya, sayang. Mama ada janji dengan klien. Nanti pulangnya kita beli es krim, ya."
Mereka berangkat naik bus menuju pusat kota. Hujan rintik kembali menemani perjalanan-seperti mengulang hari tiga tahun lalu.
Di sebuah kafe modern, Aruna duduk menunggu klien barunya. Ia kini bekerja sebagai desainer interior freelance, dan pekerjaannya mulai stabil. Namun saat pintu kafe terbuka, langkah seorang pria tinggi dengan jas hitam membuatnya menegang.
Pria itu-wajahnya terlalu sempurna, tatapannya terlalu menusuk-berhenti di depannya.
"Aruna Prameswari?" suaranya dalam, penuh wibawa.
"Iya, saya..." Aruna menatapnya bingung. "Anda-"
Tatapan pria itu bergeser pada Aiden, yang duduk sambil memegang mainan mobil kecil.
"Kau..." pria itu menunduk sedikit, memperhatikan wajah bocah itu. "Dia... anakku."
Aruna membeku. "Apa?"
"Aku Dion Alverado." Ia mengulurkan tangan, tapi tatapannya tetap pada Aiden. "Dan aku tidak butuh tes DNA untuk tahu. Dia darah dagingku."
Ucapan itu membuat semua suara di kafe lenyap dari telinga Aruna. Ingatannya langsung melayang ke malam di hotel tiga tahun lalu. Gelap. Nafas berat. Aroma asing. Dan sekarang... wajah pria ini, yang tatapannya seperti pernah menembus batas hidupnya.
Namun sebelum ia bisa berkata apa-apa, suara lain memanggil namanya dari pintu kafe.
"Aruna."
Ia menoleh-dan jantungnya seakan berhenti. Revan Mahadipa berdiri di sana, sedikit basah oleh gerimis, dengan senyum tipis yang entah mengandung penyesalan atau harapan.
"Kita perlu bicara," kata Revan.
Dion menatapnya dingin. "Sepertinya pembicaraan ini akan panjang."
Aruna sadar, hidupnya baru saja kembali masuk ke pusaran yang akan mengubah segalanya.