Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Balapan Terakhir Sebelum Dijodohkan
Balapan Terakhir Sebelum Dijodohkan

Balapan Terakhir Sebelum Dijodohkan

5.0
57 Bab
197 Penayangan
Baca Sekarang

Di malam Jakarta yang penuh cahaya neon dan deru kendaraan, Raina, gadis tomboy berani dan pembalap liar legendaris, menegaskan reputasinya di jalanan. Rambut pendek, jaket kulit hitam, dan motor sport hitam modifikasi menjadi simbol kebebasan dan ketegarannya. Ketika tantangan datang dari Melia, rivalnya yang licik dan glamor, Raina membuktikan kehebatannya, melesat meninggalkan lawan di arena balap dan menegaskan bahwa dia bukan gadis yang bisa diremehkan. Namun, kemenangan di jalanan tidak bisa menenangkan konflik di rumah. Telepon dari papahnya membawa kemarahan dan ultimatum: Raina harus pulang dan siap dijodohkan dengan anak sahabat keluarga. Terperangkap antara keinginan bebasnya dan aturan keluarganya, Raina menolak keras. Ia menegaskan, dengan suara dan air mata, bahwa hidupnya bukan untuk dikontrol atau dijadikan mainan orang lain. Bab pertama ini memperkenalkan Raina sebagai sosok pemberani, emosional, dan penuh semangat, sekaligus menggambarkan benturan antara kebebasan pribadi dan tekanan keluarga.

Konten

Bab 1 kerumunan anak muda

Malam itu, langit Jakarta dipenuhi cahaya neon dan suara bising kendaraan yang tak kunjung sepi. Di sebuah jalanan sepi pinggiran kota, deru mesin motor saling bersahutan. Lampu-lampu kendaraan berjejer, membentuk garis panjang yang membelah kegelapan malam. Bau bensin bercampur asap knalpot memenuhi udara. Di antara kerumunan anak muda yang berkumpul, seorang perempuan dengan tampilan tomboy menyalakan rokoknya sambil bersandar pada motor sport hitam yang sudah dimodifikasi.

Dialah Raina, gadis yang terkenal bar-bar di kalangan pembalap liar. Rambut pendek sebahunya berantakan, jaket kulit hitam menempel di tubuh rampingnya, dan jeans belel yang robek di lutut membuatnya tampak semakin garang. Banyak cowok menatapnya kagum, ada juga yang meremehkan hanya karena dia perempuan. Tapi semua orang tahu, kalau sudah urusan balapan, Raina bukan tandingan yang mudah dikalahkan.

"Rain, lu beneran mau lawan dia malam ini?" suara sahabatnya, Naya, yang juga tomboy tapi tak segila Raina, terdengar khawatir.

Raina membuang abu rokoknya, matanya menatap ke depan. "Gue udah janji sama tuh cewek, Nay. Lagian gue paling nggak suka diremehin."

"Cewek licik itu emang bikin panas sih. Katanya dia sengaja ngajak lu balapan biar jatuhin nama lu," Naya berkomentar sambil melipat tangannya di dada.

Raina tertawa kecil, suaranya sinis. "Lucu ya? Kayak gue peduli sama omongan orang. Gue balapan bukan buat mereka. Gue balapan buat diri gue sendiri. Buat buktiin gue bisa."

Kerumunan makin riuh ketika sosok Melia muncul. Cewek itu dikenal licik, suka main curang dalam balapan. Penampilannya glamor, kontras dengan Raina. Rambut panjang terurai, jaket merah ketat membungkus tubuhnya. Senyum sinisnya membuat banyak orang ingin segera menyaksikan pertarungan mereka.

"Raina!" teriak Melia sambil menoleh penuh tantangan. "Siap kalah malam ini?"

Raina menjawab santai, "Daripada banyak bacot, mending kita gas. Gue males dengerin ocehan lo."

Orang-orang bersorak. Taruhan mulai dilakukan. Beberapa anak muda sudah menyiapkan kamera ponsel, siap merekam adu cepat dua perempuan yang sudah jadi legenda jalanan itu.

Mereka berdiri sejajar, masing-masing di atas motor sport. Mesin meraung, knalpot memuntahkan suara bising yang memekakkan telinga. Lampu-lampu sorot menyoroti jalanan lurus yang dijadikan arena balapan.

Seorang pria dengan bendera hitam berdiri di depan, mengangkat tangannya. Suara hitungan menggema.

"Satu!"

Raina menurunkan helmnya, menarik napas panjang.

"Dua!"

Tangannya menggenggam erat setang motor, jari-jarinya bersiap menekan gas.

"Tiga!"

Dalam sekejap, motor keduanya melesat bagai peluru. Angin malam menampar wajah mereka. Sorakan penonton semakin memanas. Raina mencondongkan tubuhnya ke depan, pandangan fokus lurus tanpa tergoyahkan.

Melia mencoba menyalip dari sisi kiri, tapi Raina sudah mengantisipasi. Ia memelintir gas lebih dalam, kecepatan motornya melampaui batas normal. Detik demi detik, jarak antara mereka semakin lebar.

Akhirnya garis finish mendekat. Raina menyalip dengan mudah, meninggalkan Melia di belakang. Sorakan membahana.

"RAINA MENANG!" teriak salah satu penonton sambil mengibarkan tangan.

Raina menghentikan motornya dengan rem mendadak yang membuat ban berdecit panjang. Ia melepas helm, rambutnya berantakan, wajahnya berkeringat tapi matanya berkilat penuh kepuasan.

Melia menghampirinya dengan wajah masam. "Lo menang kali ini, Rain. Tapi liat aja. Gue bakal bikin lo jatuh suatu hari nanti."

Raina hanya menatap dingin. "Silakan coba. Gue nggak pernah takut sama ancaman murahan kayak gitu."

Kerumunan belum bubar ketika tiba-tiba handphone Raina bergetar di dalam saku jaketnya. Ia mengernyit, menarik ponsel itu. Layar menyala, tertera nama Papa.

Deg.

Raina menelan ludah. Ia tahu kalau papahnya menelpon di jam segini, pasti bukan kabar baik. Dengan enggan, ia mengangkat.

"Halo, Pa..."

Suara berat dari seberang langsung menyambar penuh amarah. "RAINA! Kamu di mana?! Jangan bilang Papa harus cari kamu di jalanan lagi! Pulang sekarang juga!"

Raina menutup mata, berusaha tetap tenang. "Aku... aku bentar lagi pulang, Pa. Lagi sama temen-temen."

"Jangan bohong! Papa tahu kamu balapan lagi! Sudah berapa kali Papa bilang, kamu itu perempuan! Balapan liar itu bahaya! Kamu mau mati di jalan?!"

Nada suara papahnya menusuk, membuat dada Raina panas. Ia menggertakkan giginya. "Aku bisa jaga diri, Pa. Aku nggak selemah yang Papa pikir."

"Pokoknya sekarang juga pulang! Jangan bikin Papa tambah marah!"

Klik. Telepon terputus sepihak.

Raina menatap ponselnya dengan wajah kesal. "Sial..."

Naya menghampiri, wajahnya penuh cemas. "Papa lu lagi ya?"

"Iya, Nay. Kayaknya dia udah tahu gue balapan lagi. Gue pulang dulu, sebelum makin ribut," jawab Raina, lalu mengenakan helmnya lagi.

Rumah besar itu berdiri megah dengan pagar tinggi dan taman luas. Raina masuk dengan motor, deru knalpotnya memecah kesunyian malam. Begitu mesin dimatikan, suara berat terdengar dari ruang tamu.

"RAINA!"

Papahnya, seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap dan wajah keras, berdiri dengan wajah merah padam. Jas yang dikenakannya masih rapi, seolah baru pulang dari pertemuan bisnis.

"Aku pulang, Pa," kata Raina pelan.

"Pulang? Kamu kira Papa nggak tahu kamu habis dari mana?!" bentaknya.

Raina menahan diri. "Aku cuma... balapan sebentar. Aku menang, Pa. Aku selalu hati-hati."

"Hati-hati?!" Papahnya menatap tajam. "Raina, kamu itu perempuan! Kamu pikir hidup kamu mainan? Kalau kamu jatuh? Kalau kamu mati? Apa itu yang kamu mau?!"

Raina menegakkan tubuh, matanya melawan. "Aku cuma pengen bebas, Pa. Aku pengen hidup sesuai caraku sendiri! Papa sama Mama sibuk kerja terus, nggak pernah ada buat aku! Kenapa sekarang Papa tiba-tiba ngatur-ngatur?!"

"Raina!" suara papahnya meninggi. "Kamu nggak ngerti apa yang Papa lakukan semua demi kamu?! Dan lagi, Papa sudah putuskan sesuatu. Papa mau jodohkan kamu dengan anak sahabat Papa."

Raina terbelalak. "APA?!"

"Namanya Ardan. Dia anak sahabat Papa, baik, bertanggung jawab, punya masa depan. Papa yakin dia bisa jadi suami yang tepat buat kamu."

"Enggak!" Raina membanting helmnya ke sofa. "Aku nggak mau! Aku nggak akan pernah mau dijodohkan dengan siapapun! Aku nggak mau nikah, Pa! Nggak sekarang, nggak nanti, nggak pernah!"

"Jangan keras kepala, Raina! Kamu sudah cukup bikin Papa pusing dengan kelakuan kamu. Papa hanya ingin kamu ada yang jagain!"

"Aku bisa jaga diri aku sendiri!" Raina berteriak, matanya berkaca-kaca. "Aku nggak butuh orang lain buat jagain aku!"

Tanpa menunggu jawaban, Raina berlari ke kamarnya. Pintu dibanting keras, meninggalkan papahnya berdiri di ruang tamu dengan napas memburu, wajahnya penuh amarah bercampur kecewa.

Di dalam kamar, Raina menutupi wajahnya dengan bantal. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

"Aku nggak akan pernah nurut, Pa..." bisiknya lirih. "Aku pengen hidup bebas, bukan dikurung dalam pernikahan yang nggak aku mau."

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 57 rasa kecewa dan takut   10-22 12:36
img
img
Bab 8 menenangkan
09/09/2025
Bab 12 menepatinya
09/09/2025
Bab 21 kecewa
09/09/2025
Bab 23 kamar malam
09/09/2025
Bab 29 makan dulu
09/09/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY