Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Balas Dendam Lima Anak Kembar
Balas Dendam Lima Anak Kembar

Balas Dendam Lima Anak Kembar

5.0
31 Bab
290 Penayangan
Baca Sekarang

Isabella Ardhani, gadis sederhana yang tak pernah menyangka hidupnya berubah seketika, tersesat ke kamar seorang pria asing saat kondisinya mabuk berat. Tanpa ia tahu, pria itu adalah Rafael Damar, seorang pengusaha sukses sekaligus pemimpin mafia paling ditakuti di negaranya. Disangka wanita bayaran dan dirasuki pengaruh obat terlarang, Rafael melakukan hal yang menghancurkan hidup Isabella... dan malam itu tanpa disadari menimbulkan lima anak kembar yang kini tumbuh jenius, penuh rasa ingin tahu, dan ingin mengetahui sosok ayah mereka. Diusir dari rumahnya sendiri, Isabella melarikan diri bersama sahabat setianya ke luar negeri dan membesarkan anak-anaknya seorang diri. Bertahun-tahun kemudian, Isabella kembali ke negaranya dengan status sebagai wanita sukses dan berpengaruh. Namun ia tak menyangka, takdir mempertemukannya lagi dengan Rafael-pria yang dulu menghancurkannya dan kini menjadi target balas dendam kelima anaknya.

Konten

Bab 1 Mobil kita nunggu di depan

Isabella Ardhani menundukkan kepala saat hujan deras membasahi jalanan sempit di ujung kota. Rambut panjangnya yang ikal basah menempel di pipi, jaket tipis yang ia kenakan tidak mampu menahan dingin yang merayap ke tulang. Malam itu, kota tampak berbeda-lampu neon yang berpendar di jalan raya membentuk bayangan-bayangan aneh di wajah para pejalan kaki yang terburu-buru mencari tempat berteduh. Isabella menyesal telah setuju pergi ke pesta itu, bahkan hanya untuk menemani sahabatnya.

"Isabella, ayo cepat! Mobil kita nunggu di depan!" suara sahabatnya, Dinda, memecah gemuruh hujan. Isabella menggenggam tasnya lebih erat, menahan diri agar tidak terpeleset di trotoar yang licin. Ia berlari kecil, langkahnya semakin cepat ketika rintik hujan berubah menjadi guyuran deras.

Begitu tiba di depan gedung, Isabella menatap Dinda yang sudah berdiri di dekat mobil dengan raut wajah tidak sabar. "Maaf... aku sedikit tersesat," jawab Isabella, mencoba tersenyum, meski wajahnya sudah basah kuyup.

Dinda menggeleng sambil menepuk bahunya. "Kau terlalu lambat. Tapi tidak apa, sekarang kita masuk saja. Semoga pesta ini menyenangkan."

Isabella mengangguk, meski hatinya sebenarnya tidak terlalu antusias. Ia bukan tipe gadis yang suka pesta atau keramaian. Kehidupannya selama ini sederhana; ia lebih banyak menghabiskan waktu di toko buku kecil milik keluarganya atau mengurus adik-adiknya yang masih sekolah. Tapi malam itu, atas ajakan Dinda, ia memutuskan ikut.

Pesta itu berlangsung di penthouse mewah yang terletak di pusat kota. Musik yang terlalu kencang membuat Isabella merasa sesak. Ia menatap sekeliling, melihat orang-orang berpakaian glamor, mengangkat gelas sambil tertawa riang. Dalam hatinya, ia berpikir, aku benar-benar tidak cocok di sini.

Tidak lama setelah mereka masuk, Isabella merasakan kepalanya mulai pening. Ia tidak tahu apakah karena hujan, kurang tidur, atau minuman yang sengaja ditawarkan sahabatnya-ia sama sekali tidak memperhatikan. Yang ia tahu, pandangannya mulai kabur, dan langkahnya tidak lagi stabil.

"Isabella... kau baik-baik saja?" tanya Dinda cemas.

"Iya... hanya sedikit pusing," jawab Isabella lirih. Ia mencoba mengambil napas dalam-dalam, tapi dunia di sekelilingnya mulai berputar. Ia merasakan dirinya terhuyung, dan sebelum sempat berkata apa-apa lagi, seseorang menepuk bahunya.

"Apakah kau baik-baik saja, nona?" suara itu dalam, tegas, namun ada nada lembut yang sulit diabaikan. Isabella menoleh, dan pandangan mereka bertemu. Mata lelaki itu tajam, berwarna gelap seperti malam tanpa bintang, dan ada aura dominan yang membuatnya ingin menundukkan kepala.

"Ya... aku hanya sedikit pusing," jawab Isabella, suaranya terdengar hampir tenggelam di tengah musik yang memekakkan telinga.

"Ikut aku sebentar," kata lelaki itu sambil menunduk, tangannya sedikit terulur. Isabella, dalam kondisi lemah dan setengah mabuk, tanpa sadar mengikuti langkahnya ke arah balkon yang sepi.

Udara malam yang dingin menyapa wajahnya begitu mereka keluar. Angin membelai rambut basahnya, membuat ia tersentak. "Kau... kau ingin aku menolongmu?" lelaki itu bertanya lagi.

Isabella hanya mengangguk, karena pikirannya terasa kosong. Ia tidak menyadari betapa berbahayanya malam itu.

Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi ketika dua dunia berbeda bertemu di balkon sepi itu. Lelaki itu, Rafael Damar, bukan sekadar pebisnis kaya; ia adalah penguasa bawah tanah, pemimpin mafia yang kejam, yang nama dan wajahnya selalu diselimuti rumor dan ketakutan. Namun bagi Isabella, saat itu, ia hanyalah sosok asing yang tampak... menyelamatkan.

Rafael menatapnya dengan tajam, memperhatikan setiap gerakan tubuh Isabella. Ia menyadari gadis itu mabuk, tetapi juga ada sesuatu yang lain-kepolosan, ketakutan, dan ketidakberdayaan yang jarang ia temui pada wanita dewasa. Sekali pandang, ia memutuskan untuk membawanya masuk ke dalam rumahnya, demi menjaga... atau mungkin, demi kepentingan lain yang belum ia sadari sendiri.

"Mengapa kau tersesat di pesta seperti ini sendirian?" tanya Rafael, setelah mereka masuk ke ruang tamu yang sunyi, jauh dari musik pesta yang memekakkan telinga.

Isabella menggeleng. "Aku... aku hanya ingin menemani sahabatku. Tapi aku tidak suka keramaian," jawabnya jujur, suaranya gemetar.

Rafael menatapnya lama, kemudian tersenyum tipis. "Kau berbeda. Tidak seperti yang lain."

Isabella tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menunduk, merasakan kehangatan yang aneh di dada-campuran takut, penasaran, dan... sesuatu yang sulit diuraikan.

Namun malam itu menjadi awal dari bencana dalam hidupnya. Tidak ada peringatan, tidak ada kesempatan untuk mundur. Salah paham, keadaan, dan mabuk yang membuat akalnya tidak jernih... semuanya berpadu menjadi tragedi yang menghancurkan hidup Isabella.

Hari berikutnya, dunia Isabella runtuh. Ia terbangun di sebuah kamar asing, dengan rasa sakit di tubuh dan kepala yang berat. Ingatannya samar-hanya potongan-potongan malam sebelumnya yang menyeretnya dalam kepanikan.

Ia mendengar suara langkah di luar pintu, suara yang familiar namun mengancam. Rafael masuk tanpa mengetuk, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Kau harus mengerti... ini bukan seperti yang kau pikirkan," katanya dengan nada datar, dominan.

Isabella menahan napasnya. "Apa yang... kau lakukan padaku?" suaranya bergetar. Kata-kata itu terdengar asing bahkan bagi dirinya sendiri, karena rasa malu dan takut bercampur jadi satu.

Rafael mendekat, menatapnya dengan mata yang dingin. "Kau tidak mengerti, bukan? Malam itu adalah kesalahan... tapi kesalahan itu... menghasilkan sesuatu yang tidak bisa kau hindari."

Isabella terdiam, merasakan jantungnya berdebar kencang. "Apa maksudmu?"

Rafael menunduk sejenak, seolah menimbang kata-kata. "Kau akan segera mengetahuinya," katanya singkat, sebelum meninggalkan kamar itu.

Setelah kejadian itu, Isabella merasa dunianya hancur. Ia merasa tidak berdaya, terperangkap dalam situasi yang sama sekali bukan keinginannya. Ia menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dan tanpa ragu, ia memutuskan untuk melarikan diri.

Bersama sahabatnya, Dinda, Isabella meninggalkan kota itu, meninggalkan Rafael dan semua kenangan pahit di baliknya. Mereka terbang ke luar negeri, hidup sederhana, dan Isabella berjanji pada dirinya sendiri untuk melindungi lima buah hatinya-anak-anak yang lahir dari malam itu, hasil dari tragedi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Bertahun-tahun kemudian, Isabella tumbuh menjadi wanita sukses, cerdas, dan penuh wibawa. Anak-anaknya tumbuh jenius, masing-masing memiliki rasa ingin tahu yang besar-terutama tentang sosok ayah mereka, yang selama ini selalu menjadi misteri. Isabella berusaha melindungi mereka, tapi takdir selalu memiliki cara untuk mempertemukan masa lalu dengan masa kini.

Dan malam itu, ketika ia menghadiri sebuah acara bisnis, tatapan matanya bertemu dengan seorang pria yang membuat darahnya beku. Rafael. Lelaki yang menghancurkan hidupnya dulu, kini berdiri di hadapannya, sama kuat dan sama menakutkan seperti yang ia ingat.

Isabella menelan ludah. Dalam hatinya, ada campuran rasa marah, takut, dan tekad-tekad untuk tidak membiarkan masa lalu menghancurkan anak-anaknya, dan untuk menghadapi pria itu, sekali lagi, atas caranya sendiri.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY