Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Suamiku Guy, Lelaki Sombong!
Suamiku Guy, Lelaki Sombong!

Suamiku Guy, Lelaki Sombong!

5.0
25 Bab
92 Penayangan
Baca Sekarang

21++ khusus dewasa! Sela, gadis pemberontak dengan jiwa liar dan kecanduan adrenalin, hidup dalam konflik yang tak pernah usai. Motor kesayangannya disita ayah karena balapan liar, pacarnya memutuskan hubungan karena tidak tahan dengan sikapnya, dan amarahnya semakin tak terkendali. Dalam pelarian emosinya di tengah malam Jakarta, ia justru menabrak mobil mewah milik seorang pria asing. Pertemuan itu menjadi awal dari perseteruan panas antara Sela dan pria tersebut-seseorang dengan tatapan dingin dan sikap tenang yang membuatnya semakin terbakar emosi. Tanpa ia sadari, pertemuan itu adalah pintu masuk menuju rangkaian kejadian tak terduga yang akan mengguncang hidupnya. Bukan hanya tentang balapan, amarah, atau harga diri, melainkan tentang cinta, rahasia besar, dan pertaruhan hidup yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar lintasan jalanan.

Konten

Bab 1 meredakannya adalah dengan merasakan

Deru mesin empat silinder memecah keheningan jalanan malam Jakarta. Sela, dengan rahang mengeras dan cengkeraman kuat pada kemudi, menekan pedal gas dalam-dalam. Jarum speedometer terus naik, melewati angka 80, 100, hingga 120 kilometer per jam. Bukan karena ia sedang terburu-buru, melainkan karena ia butuh pelampiasan. Amarahnya memuncak, menguap dari setiap pori-pori kulitnya, membakar habis akal sehatnya. Ia merasa seperti gunung berapi yang siap meletus, dan satu-satunya cara untuk meredakannya adalah dengan merasakan hembusan angin yang seolah merobek wajahnya.

Mobil sedan berwarna hitam metalik itu melaju bagai kilat, memotong arus lalu lintas dengan seenaknya. Sorot lampu dari mobil lain yang membunyikan klakson tidak ia hiraukan. Hatinya begitu mendidih, membayangkan motor kesayangannya, sebuah Harley-Davidson Sportster 883, yang kini teronggok tak berdaya di garasi rumah, terkunci dengan rantai besi tebal.

"Sialan!" umpatnya, memukul setir keras-keras. "Gue cuma balapan sebentar, kenapa motor gue harus disita segala, sih?!"

Ingatan tentang perdebatan panasnya dengan sang ayah masih segar. Suara baritonnya yang tegas, mata tajamnya yang menuntut, dan kata-kata yang menusuk relung hati. "Selagi kamu masih tinggal di bawah atap rumah ini, kamu harus patuh pada aturan! Balapan liar itu berbahaya, Sela! Ayah nggak mau kamu kenapa-kenapa!"

Kata-kata itu bagai racun yang menyebar di nadinya. Menurut Sela, balapan liar adalah seni. Sebuah tarian berbahaya yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berani menantang maut. Itu adalah jiwanya, identitasnya. Baginya, menyita motor itu sama saja dengan memotong sayapnya, mencabut satu-satunya kebebasan yang ia punya. Ia merasa terkekang, tak berdaya, dan ia benci perasaan itu.

Kemarahan Sela tak hanya berhenti di situ. Malam tadi, ia juga baru saja diputusin pacarnya, Danu. Danu bilang ia tidak tahan dengan sifat "liar" Sela. Sela tertawa hambar mengingatnya. Tentu saja, Danu tidak akan pernah mengerti. Bagaimana mungkin seorang pemuda kutu buku yang hanya tahu tentang buku dan rumus fisika bisa mengerti tentang gairah dan adrenalin yang mengalir deras dalam darahnya? Balapan liar dan pacaran adalah dua dunia yang tak bisa bersatu.

"Bodoh!" maki Sela lagi. Tangan kirinya menjangkau botol air mineral di sampingnya, lalu meneguknya hingga tandas. "Semua orang bikin gue kesel! Ayah, nyokap, Danu... bahkan anjing di rumah gue juga kayaknya lagi ngeselin. Ah, dunia ini emang nggak adil!"

Ia melirik spion, melihat lampu-lampu jalanan yang berkelebat begitu cepat di belakangnya. Ia merasa seolah sedang balapan melawan waktu, melawan nasib. Dengan satu tarikan napas, ia kembali fokus ke jalan. Jemari lentiknya menggenggam erat kemudi, siap untuk apa pun yang akan datang.

Mendadak, lampu lalu lintas di depannya berubah menjadi merah. Sela mengerem mendadak, membuat mobilnya berdecit nyaring. Otaknya yang dipenuhi amarah tidak sempat bereaksi dengan cepat. Ia baru menyadari bahwa ada sebuah mobil mewah, sedan sedan Audi R8 berwarna putih, yang berhenti tepat di depannya. Tanpa sempat menghindar, Sela membanting setir, namun itu tidak cukup. Bunyi "brak!" yang memekakkan telinga terdengar nyaring. Bagian depan mobilnya menabrak bumper belakang mobil Audi itu.

Jantung Sela berdebar kencang. Bukan karena kaget atau takut, melainkan karena adrenalin yang meluap. Mobil yang ia kendarai adalah mobil pinjaman dari ayahnya, dan kini mobil itu lecet, dan lebih parah lagi, mobil di depannya jauh lebih mewah. Namun, bukannya merasa bersalah, Sela justru merasa amarahnya semakin menjadi-jadi. Ia merasa dunia sedang berkonspirasi untuk mengganggunya.

Dengan gerakan cepat dan kasar, Sela membuka pintu mobilnya. Ia keluar dengan langkah lebar, seperti singa yang baru saja bangun dari tidurnya. Ia menunjuk-nunjuk mobil Audi yang lecet di bagian belakangnya dengan mata melotot. "Woy! Keluar lo! Kenapa sih lo musti berhenti dadakan gitu?!"

Pintu mobil Audi terbuka, dan seorang laki-laki keluar dari sana. Ia memiliki postur tinggi semampai, mengenakan kemeja berwarna biru muda yang digulung sampai siku, celana kain berwarna senada, dan sepatu pantofel hitam yang mengilat. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan wajahnya bersih. Namun, yang paling menarik perhatian Sela adalah ekspresinya yang datar. Sangat datar. Seolah-olah dunia baru saja kiamat, dan ia tidak peduli.

Laki-laki itu berjalan mendekati mobilnya yang lecet, lalu ia menoleh ke arah Sela. Tatapannya dingin dan menusuk. "Maaf, apa Anda tidak melihat lampu lalu lintas? Lampu sudah merah, tentu saja saya berhenti." Suaranya tenang, namun mengandung nada sinis. "Anda yang menabrak mobil saya, kenapa justru Anda yang marah?"

Sela melipat kedua tangannya di dada. Matanya mendelik. "Apa-apaan sih lo?! Lampunya baru aja merah. Lo yang terlalu cepet ngerem!"

Laki-laki itu menghela napas panjang. Ia mengambil ponselnya dari saku celana. "Saya tidak ingin berdebat. Saya tidak punya banyak waktu. Mobil Anda menabrak mobil saya, jadi sudah sewajarnya Anda yang bertanggung jawab."

"Halah, lecet doang juga!" balas Sela ketus, menunjuk bekas lecet di mobilnya dan mobil laki-laki itu. "Lagian, mobil lo kan mobil mahal, nggak bakal miskin kan cuma gara-gara lecet kayak gini? Jangan lebay deh lo!"

Ekspresi datar laki-laki itu mulai menunjukkan sedikit tanda-tanda perubahan. Matanya menyipit, dan ia menatap Sela dari atas ke bawah. Sela yang merasa diremehkan, menjadi semakin marah. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Ia melangkah maju, kakinya yang berbalut sepatu kets menapak dengan keras di aspal. Ia berjinjit, lalu dengan cepat, ia menarik kerah kemeja laki-laki itu.

"Denger ya! Gue nggak bakal bayar ganti rugi apa pun! Lo pikir gue punya uang banyak buat ganti rugi mobil mahal lo ini?! Mending lo pergi aja, jangan cari masalah sama gue!" ancam Sela, suaranya naik satu oktaf.

Laki-laki itu tidak bergeming. Ia membiarkan Sela menarik kerah kemejanya. Ia menatap mata Sela yang berapi-api tanpa rasa takut sedikit pun. Ia bahkan tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya, senyum yang terkesan mengejek. "Lepaskan tangan Anda. Saya rasa cara Anda berbicara tidak sopan. Seharusnya Anda minta maaf, bukan malah mengancam saya."

"Minta maaf?! Nggak bakal! Lo yang harusnya minta maaf sama gue!" Sela berteriak di depan wajah laki-laki itu. Ia tidak peduli jika orang-orang di sekitarnya mulai melihat mereka. Amarahnya sudah membutakan segalanya.

Tiba-tiba, dari arah belakang, beberapa orang warga dan pengendara lain datang menghampiri. Mereka berusaha memisahkan Sela dan laki-laki itu. "Sudah, Mas, Mbak, jangan ribut. Ini di jalanan. Kasihan yang lain," ujar seorang bapak-bapak paruh baya.

Sela melepaskan cengkeramannya dari kerah laki-laki itu. Napasnya terengah-engah. Ia menatap bapak itu dengan mata memelas. "Pak, bapak lihat sendiri kan? Cowok ini nyebelin banget! Gue udah minta dia pergi, tapi dia maksa minta ganti rugi."

Laki-laki itu, dengan tenang, merapikan kerah kemejanya yang kusut. Ia menatap Sela dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia tidak berteriak, tidak memaki. Ia hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Maafkan saya, Bapak. Saya hanya meminta pertanggungjawaban dari beliau karena menabrak mobil saya."

Warga yang melihat situasi itu mulai merasa iba dengan laki-laki itu. Mereka menasihati Sela untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik. Sela yang merasa tidak ada yang berpihak padanya, menjadi semakin kesal. Ia merasa dijebak.

"Oke, fine! Gue pergi!" Sela membanting pintu mobilnya dengan keras. Sebelum masuk ke dalam, ia membuka kaca jendela mobilnya, lalu menjulurkan kepalanya. Ia menatap laki-laki itu tajam. "Denger ya, cowok sombong! Awas aja lu kalo gue ketemu lagi! Gue pasti bakal bikin lo nyesel!"

Laki-laki itu tidak membalas. Ia hanya berdiri di sana, menatap mobil Sela yang melaju kencang, menghilang di tikungan jalan. Ia menghela napas panjang. "Gadis aneh," gumamnya, lalu ia masuk kembali ke mobilnya.

Sela mengendarai mobilnya kembali dengan kecepatan tinggi. Otaknya masih dipenuhi oleh wajah datar laki-laki itu dan perkataannya yang dingin. Ia bersumpah akan membalas perlakuan laki-laki itu jika takdir mempertemukan mereka lagi. Ia tidak tahu, bahwa takdir memiliki rencana lain untuknya, rencana yang tidak akan pernah ia duga. Sebuah rencana yang akan mengubah hidupnya, selamanya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY