anpa menambah kalimat lain. Langkah-langkahnya terdengar berat menapaki tangga menuju lantai dua, berderit pelan di setiap pijakan. Aku mendengarkan sampai suara langkah itu menghilang sepenuhnya di atas
an, tapi kali ini malah terasa pengap, seolah memenuhi seluruh kepalaku. Aku mencoba kembali fokus. Tanganku mengambil sayuran satu per satu, memotongnya dengan pisau yang bergetar di genggaman. Suara
anku bukan lagi sekadar memasak, melainkan cara untuk menahan tangis. Aku menggosok-gosok telapak tanganku yang dingin, taplakukan setiap hari: nasi hangat di piring besar, lauk yang berjejer, sup di mangkuk. Aku menatap hasil kerjaku lama-lama, menunggu rasa puas itu muncul. Tapi tak ada apa-apa selain lelah yang mengendap di tubuhku. Ra
kursi tanpa bicara, lalu duduk di meja makan. Tangannya langsung menyendok nasi, menyuap makanan
eperti benteng yang tak bisa kutembus. Aku ingin bicara, ingin sekadar bertanya apakah ia lelah atau bagaimana harinya. Tapi bibirku kelu. Kata-kata terasa seperti batu yang tertahan di tenggorokanku
utnya begitu saja. Dingin dan datar. "Aku mau keluar
keheningan di antara kami. Aku menatapnya tak percaya. Bibirku bergetar, mata
belum bisa berikan aku apa-apa. Kamu pikir aku mau terus kayak gini?" katanya sambil melanjutkan makannya. Nada suaranya din
ci. Mataku mulai panas, dan tanpa sadar air mata mengalir begitu saja. Aku tidak berusaha menyembuny
ret serpihan diriku yang patah. Dinding-dinding rumah ini yang dulu terasa hangat kini seperti menyempit, menjepitku dari segala sisi. Sesampaimata tak berhenti mengalir. Semua kekuatan yang kutahan selama ini akhirnya runtuh seketika. Rumah ini tak lagi
han. Suara detak jantungku terdengar keras di telingaku sendiri. Udara terasa tipis. Setiap tarikan
tik kecil. Tapi di tengah sesak yang membakar dadaku, sesuatu perlahan berubah. Tangisku makin lama makin pelan, b
uh bara. Aku sadar, apa pun yang sudah dia lakukan selama ini, sudah melewati batas. Semua luka, semua hinaan, semua tatapa
t. Aku sadar kalau aku pergi, kalau aku menyerah, yang bahagia justru dia. Dia akan bebas,
u yang baru. "Aku akan tetap jadi istrimu, Leo," gumamku dalam hati. "Aku akan tetap di sisimu. Dan
lirih, suaraku nyaris tak terdengar tapi p
tapi di balik itu ada sesuatu yang berbeda. Ada api yang menyala pelan-pelan. Aku bukan hanya istri
ncul kekuatan yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Aku akan tetap tinggal. Aku akan tetap menjadi istrinya.
tulan wajahku yang sembab. "Aku tidak akan kalah," gumamku. Dan untu

GOOGLE PLAY