V
sak oleh campuran bingung dan kagum. Daster tipis yang kugunakan melekat di t
ngan halus di kulit kecokelatan. Ia hanya mengenakan celana panjang, dan bagian atas tubuhnya telanjang sepenuhnya. Perutnya kenc
mengalihkan pandangan. Tapi tatapan
kecil dan berkata, "K
juga tidak terlalu akrab. Tapi cukup untuk membuatk
a mengembalikan kontrol padawabku. "S
npa bercermin pun aku tahu bentuk tubuhku, dadaku, lekuk pinggangku, semuanya nyaris tak tersamarkan. Tapi
ku menikah sama Leo, aku cuma pernah lihat
karena itu wajahmu masih terasa asing. Tapi aku pulang tadi sore, dan su
u terasa kaku. "Enggak apa-apa. Ini kan rumah Ayah
membuatku ingin menunduk, tapi ent
sih," jawa
i keran. Tapi keheningan itu bukan yang membuatku tak nyaman. Justru keha
k ada yang menyentuh sejak terakhir," kataku cepat-cepa
lan, lalu menatapku cuku
masih ingin d
pi terasa ada sesuatu yang tidak terlihat ikut duduk di tengah-tengah ruang itu. Tatapan matanya
. Ia masih belum mengenakan atasan, dan aku bodoh karena terus mengizinkan diriku mencuri pandang. Aku berusaha keras mengalihkan fokus, tapi lengan k
ak tadi berusaha menjaga jarak, pikiranku justru seperti tertarik perlahan, tenggelam ke dalam cara
an nada santai, tapi matanya tetap memperhatikanku, se
, dia ke rumah temannya. Katanya mungkin menginap di sana," jawabku pelan
a, lalu meletakkannya perlahan di atas meja. Tangannya besar, kukunya rapi, ger
elasku, berharap rasa dingin itu bisa m
dulu ya," ucapku sambil m
dangannya masih mengikutiku sampai aku meninggalkan ruangan. Punggu
Bukan karena takut. Tapi karena rasa yang tak bisa kutafsirkan, mengendap di antara di
enangkan perasaan yang bergolak di dalam diriku. Bayangan tubuh ayah mertuaku menempel jelas di pikiranku. Dada bidangnya. B
u sebaliknya, hangat, lembap, dan berdenyut. Di sana, masih ada sisa dari permainan panas su
kiranku... tapi justru semakin jelas, semakin dekat. Aku bahkan bisa membayangkan ba
n tubuhku langsung merespons. Aku mendesah lirih. Napasku mulai tak teratur, dan hatiku b
inginan yang tak terucapkan, membuatku semakin berani menekan, menyentuh lebih dalam. "Ah..." helaan itu lo
hnya menindihku, bisa mencium aroma kulitnya yang entah bagaimana terasa begitu dekat. Ak
ecah. Jemariku terus menari, meniru bayangan yang menggoda di dalam pikiranku, dan saat akhirnya aku mencapai
rasa bersalah. Tapi lebih dari itu... aku takut. Takut karena aku ta

GOOGLE PLAY