Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / Sejuta cerita di balik pintu kos
Sejuta cerita di balik pintu kos

Sejuta cerita di balik pintu kos

5.0
21 Bab
77 Penayangan
Baca Sekarang

Bagi Dens Bagus, pintu kamar kos nomor tujuh berwarna cokelat pudar itu adalah gerbang menuju dunia baru. Di usia tujuh belas tahun, ia meninggalkan kehangatan rumahnya demi menimba ilmu di Kota Solo, kota yang terasa asing dan riuh. Di sebuah kos sederhana dengan lorong yang selalu bergema, ia bertemu mereka: Bu Kos yang omelannya menyembunyikan perhatian, Mei Lin yang tawanya menular, Li Hua yang sketsanya berbicara lebih banyak dari kata-kata, Fajar yang menyebalkan namun rapuh, dan Mas Arya yang misterius.

Konten

Bab 1 Pintu coklat nomer tujuh

Solo menyambutku dengan desah angin panas dan aroma rempah yang asing. Deru mesin mobil ayahku melambat, dan jantungku berdebar lebih kencang daripada biasanya. Kami tiba di sebuah gerbang besi tua yang catnya mulai mengelupas, diapit oleh pagar tembok tinggi yang dihiasi tanaman merambat liar. Di baliknya, rumah kos Bu Ratih berdiri kokoh, namun tampak sunyi, seolah menahan napas. Aku menatap keluar jendela, telapak tanganku berkeringat dingin menempel pada jok mobil.

"Sudah sampai, Dens," kata ayah, suaranya berusaha terdengar ringan, tapi aku tahu ada getaran kesedihan di sana.

Aku mengangguk, tenggorokanku tercekat. Pandanganku menyapu sekeliling, mencari-cari tanda-tanda kehidupan, namun hanya kesunyian yang menyapa. Halaman kos yang cukup luas ditumbuhi rumput gajah yang rapi, dan sebuah sepeda motor tua terparkir miring di bawah pohon mangga.

Sebuah perasaan aneh merayapi diriku, campuran antara kegugupan dan kerinduan yang mendalam akan rumah. Ini adalah awal dari perjalananku yang baru, jauh dari hiruk-pikuk kota kecil di Jawa Timur.

Ayah membunyikan klakson pelan. Tak lama, pintu utama terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi dan daster batik berwarna cerah.

Senyumnya lebar, memperlihatkan deretan gigi yang masih utuh, namun matanya yang tajam seolah menimbang-nimbang diriku.

"Assalamu'alaikum, Bu Ratih!" Ayah turun lebih dulu, menyalami wanita itu dengan sopan.

"Wa'alaikumussalam, Pak Bagus! Aduh, akhirnya sampai juga. Kok lama sekali, to, Pak? Dari pagi saya sudah siapkan kamarnya. Jangan-jangan mampir makan sate dulu, ya?" Bu Ratih menyambut dengan celotehan yang langsung membanjiri telingaku. Ia tertawa renyah, meski aku merasa sedikit disindir.

Aku turun dari mobil, membawa ransel yang terasa berat di pundak, bukan karena isinya, melainkan beban ekspektasi yang kubawa. Aku menyalami Bu Ratih, tangan wanita itu terasa hangat dan sedikit kasar.

"Ini toh, calon penghuni kos saya? Namanya Dens Bagus, kan? Wah, gagah sekali anaknya. Tapi kok pucat begitu, Nak? Ndak apa-apa?" Bu Ratih menatapku lekat, kepalanya sedikit dimiringkan.

Aku tersenyum canggung, merasakan pipiku memerah. "I-iya, Bu. Dens, Bu."

"Dens? Panggil saja Ibu Ratih, ya. Jangan sungkan-sungkan. Di sini semua saya anggap anak sendiri. Tapi kalau ada aturan yang dilanggar, jangan harap bisa tidur nyenyak!"

candanya, lalu tertawa lagi, kali ini disusul oleh ayahku. Aku hanya ikut tersenyum hambar, mencoba mencerna rentetan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Ia seperti gelombang yang tak berhenti.

"Mari masuk, Pak, Nak Dens. Saya tunjukkan kamarnya." Bu Ratih berbalik, langkahnya cekatan memasuki ruang tamu yang luas. Wangi pewangi ruangan dan sedikit aroma masakan tercium samar, memberikan kesan hangat sekaligus asing.

Ruang tamu itu lapang, diisi sofa jati ukir dan beberapa tanaman hias dalam pot. Aku mengikuti Bu Ratih dan ayahku menyusuri koridor panjang di sisi kanan, dindingnya dicat kuning gading yang mulai pudar di beberapa bagian.

Beberapa pintu berjajar rapi. Aku melirik setiap pintu yang kami lewati, sebagian tertutup rapat, sebagian sedikit terbuka, menampakkan samar-samar isi di dalamnya. Sebuah gitar tergeletak di lantai, tumpukan buku di meja, dan gantungan baju di balik pintu.

Ketika kami melewati sebuah pintu dengan stiker band metal, sebuah kepala menyembul keluar. Seorang pemuda berambut gondrong, kaus hitam lusuh, dan mata merah, sepertinya baru bangun tidur. Dia hanya mengangguk tipis ke arah kami, lalu buru-buru menutup kembali pintunya. Aku menelan ludah. Wajahnya terlihat lelah dan penuh beban.

Tidak jauh dari sana, ada suara gesekan pensil di atas kertas. Sebuah pintu terbuka sedikit, menampakkan seorang gadis berambut panjang yang fokus menunduk, tangannya sibuk menggoreskan sesuatu di atas sketchbook. Ia tak menyadari kehadiran kami. Di sampingnya, seorang gadis lain yang lebih ceria, dengan rambut sebahu dan mata yang berbinar, melambaikan tangan ke arah kami sambil tersenyum lebar.

"Hai! Anak baru, ya?" sapanya ramah, suaranya ceria sekali.

Aku hanya bisa membalas dengan senyum tipis, terlalu malu untuk bicara. Ayahku mengangguk, "Iya, Nak. Anak saya, Dens."

"Mei Lin!" gadis itu memperkenalkan diri. "Itu adikku, Li Hua. Dia lagi asyik menggambar, jangan diganggu. Selamat datang, ya!"

Bu Ratih menoleh sedikit ke belakang. "Mei Lin, jangan berisik. Nanti Pak Bagus jadi sungkan!" tegurnya, namun ada nada sayang dalam suaranya.

Mei Lin hanya nyengir, lalu kembali masuk ke kamarnya, meninggalkan kami dengan kesan pertama yang ramah tapi juga sedikit mengintimidasi bagiku.

Akhirnya, kami berhenti di sebuah pintu cokelat tua, yang paling ujung di koridor. Di daun pintunya, sebuah plat nomor kecil bertuliskan angka '7' terpaku.

Pintu itu terlihat sama dengan pintu-pintu lain, namun entah mengapa, mataku terpaku pada goresan-goresan samar di permukaannya, seolah menyimpan cerita yang tak terucapkan.

"Nah, ini kamarmu, Dens. Kamar nomor tujuh. Sudah saya bersihkan. Ada kipas angin, lemari kecil, dan meja belajar," Bu Ratih membuka pintu dengan kunci yang ia keluarkan dari saku daster.

Sebuah kamar sederhana menyambutku. Tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung satu kasur busa tipis, sebuah lemari kayu dua pintu yang sudah termakan usia, dan meja belajar yang tampak kokoh di sudut.

Jendela kecil menghadap ke halaman belakang, ditutupi tirai kain motif bunga yang lusuh. Udara di dalam kamar terasa pengap, meski ada sedikit angin yang masuk dari jendela. Aku meletakkan ransel di lantai, menatap sekeliling.

Tempat inilah yang akan menjadi duniaku untuk beberapa waktu ke depan.

"Bersih, kan? Nanti kalau kurang apa-apa bilang saja, ya. Tapi jangan minta yang aneh-aneh," Bu Ratih menunjuk ke berbagai sudut kamar dengan telunjuknya. "Kalau mau mandi, kamar mandinya di ujung sana. Ada tiga. Bebas pakai yang mana saja, asal jangan lama-lama. Airnya juga harus dihemat, ya!"

Ayah meletakkan koperku di samping lemari. "Terima kasih banyak, Bu Ratih. Maaf merepotkan."

"Ah, tidak apa-apa, Pak. Sudah kewajiban saya. Yang penting anaknya betah dan tidak nakal," sahut Bu Ratih, lalu melirikku dengan senyum menggoda.

"Dens, kalau lapar atau butuh apa-apa, jangan sungkan tanya. Tapi kalau malam jangan keluyuran. Jam sepuluh gerbang kos sudah saya kunci."

Aku hanya mengangguk, berusaha memasang senyum terbaikku, meskipun batinku bergejolak. Rasa cemas dan rindu rumah semakin menusuk. Bagaimana aku akan melewati hari-hari di tempat baru ini? Sendirian, tanpa siapa-siapa yang kukenal.

Ayah menepuk pundakku. "Jaga diri baik-baik, Nak. Belajar yang rajin. Jangan lupa sholat. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Ayah atau Ibu."

Mataku berkaca-kaca mendengar kata-kata ayah. Aku memeluknya erat, mencium tangannya. "Iya, Yah. Ayah hati-hati di jalan."

Ayah pergi tak lama setelah itu, diantar Bu Ratih sampai ke gerbang. Aku berdiri di ambang pintu kamar nomor tujuh, mengawasinya hingga mobilnya menghilang di tikungan jalan. Meninggalkanku sendirian di dalam labirin ketidakpastian ini.

Kembali masuk ke kamar, aku menutup pintu. Aku duduk di tepi kasur busa, merasakan permukaannya yang empuk namun asing. Keheningan tiba-tiba terasa begitu pekat, hanya dipecah oleh suara detak jam dinding di kamar sebelah atau deru kendaraan yang samar dari jalan raya.

Aku menatap keluar jendela, ke arah langit Solo yang mulai meredup.

Aku adalah Dens Bagus, seorang pemuda dari kota kecil yang polos dan canggung, kini terdampar di tengah kota yang sibuk, sendirian. Di kamar nomor tujuh, aku merasakan desakan untuk berteriak, untuk lari pulang ke rumah. Namun, tekad untuk mandiri menahanku.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar pelan. Aku terlonjak. Siapa? Apa aku sudah melakukan kesalahan? Perasaan takut dan penasaran berbaur, membuat jantungku kembali berdegup kencang.

Apakah ini Bu Ratih dengan aturan barunya? Atau Mei Lin yang ramah tapi sedikit mengejutkan? Atau malah pemuda berambut gondrong dengan mata merah itu? Aku menatap pintu cokelat di depanku, bertanya-tanya apa yang menanti di baliknya, dan apa pula yang akan terjadi pada petualangan baruku.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY