Aku terlonjak, menatap daun pintu cokelat di depanku dengan napas tertahan. Ke
k tak keruan. Perlahan, tanganku meraih gagang pin
legam terlihat berkilau di bawah lampu koridor. Ia berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar hingga matanya meny
lu canggung untuk membalas sa
buat. Enak banget, lho!" Ia menggerak-gerakkan piring di tangannya, seolah m
bih tulus. Akhirnya, aku membuka pintu l
angan tegang begitu. Aku Mei Lin, tetangga kamarmu yang paling berisik. Itu, kamar sebelahnya Li Hua." Ia menunjuk k
"Iya. Baru pertama kal
a buat biar kita disiplin. Anggap saja ini rumah keduamu," ucapnya riang. Ia kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarku yang masih kosong melomp
i Lin," ujarku, berus
ola di ruang tengah. Kamu mau ikut? Lumayan, biar nggak kesepian s
menggeleng pelan. "M-maaf, Mei Lin. Aku.
begitu. Ya sudah kalau begitu. Tidak apa-apa. Tapi kalau berubah pik
lik ke kamar dulu, ya. Kalau butuh apa-apa, teri
jawabku
jauh, lalu suara pintu tertutup pelan. Aku kembali sendiri, dan keheningan mendadak terasa lebih pekat dari seb
sesaat, kini digantikan oleh gelombang kesepian yang lebih dalam. Apakah aku sudah membuat keputusan
terang. Aku mencoba memejamkan mata, memaksakan diri untuk tidur, tetapi pikiran-pikiran yang kalut terus berputar di kepala
t lagi, aku bisa mendengar suara air mengalir dari kamar mandi, lalu dengungan musik samar dari kamar yang lain. Suara orang berbicara,
sebelah, tepat di samping kamarku. Sepertinya itu kamar Fajar, atau mungkin Mas
seorang pemuda terdengar kesal, disusul tawa renyah. Aku yakin itu Faja
emosi duluan!" sahut suara lain, le
" Fajar menyahut lagi, nadanya sedikit meninggi. "Eh, kamu tahu enggak, yang di tim sebelah it
n hidup orang," timpal suara ketiga, lebih pelan dan cenderung seperti bisika
ar berkata dengan nada sinis. "Kayak si Budi itu lho, dulu dia kan pernah pacaran sama mantannya si Anu, terus pas tanding jadi musuhan. Kan lucu!
suaranya terdengar ceria. "Lagian, si Budi sama si Anu kan meman
la doang, tapi ada hiburan ekstra!" Fajar tertawa lagi, lebih keras. "Eh, Mas Arya,
nya. Ada yang kuat mental, ada yang gampan
Budi itu memang mentalnya tempe!" Fajar kembali mengejek.
ngos-ngosan!" Mei Lin mengejek balik, diik
oleh mereka. Aku berbaring di kasur, telingaku mau tak mau menangkap setiap kata. Aku mencoba memejamkan mata lagi, berharap suara-
teman, mereka punya obrolan, mereka punya tawa. Sementara aku? Aku hanya berbaring di s
u menemukan tempat di antara mereka yang begitu ramah dan riuh? Aku meragukan segalanya. Kep
al kapuk yang berbau asing itu. Ak
tegas. Ketukan itu berasal dari kamar sebelah, kamar Fajar dan yang lain.
memang sengaja menghentikan obrolan mereka, karena menyadari aku ada? Aku tahu merek
, tidak bisa bernapas. Sampai akhirnya, suara pintu terbuka pelan dari kamar sebelah. Jant

GOOGLE PLAY