/0/28654/coverbig.jpg?v=c43b1a97bc533e77745f248482033d9b)
ya. Kami tiba di sebuah gerbang besi tua yang catnya mulai mengelupas, diapit oleh pagar tembok tinggi yang dihiasi tanaman merambat liar. Di baliknya, rumah
anya berusaha terdengar ringan, tapi
tanda kehidupan, namun hanya kesunyian yang menyapa. Halaman kos yang cukup luas ditumbuhi
dan kerinduan yang mendalam akan rumah. Ini adalah awal dari perj
terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya dengan
gigi yang masih utuh, namun matanya yan
Ayah turun lebih dulu, menya
ya sudah siapkan kamarnya. Jangan-jangan mampir makan sate dulu, ya?" Bu Ratih menyambut dengan c
ukan karena isinya, melainkan beban ekspektasi yang kubawa. Aku men
h, gagah sekali anaknya. Tapi kok pucat begitu, Nak? Ndak apa-
merasakan pipiku memerah
. Di sini semua saya anggap anak sendiri. Tapi kalau ada
anya ikut tersenyum hambar, mencoba mencerna rentetan kata-kata
ngkahnya cekatan memasuki ruang tamu yang luas. Wangi pewangi ruangan dan s
m pot. Aku mengikuti Bu Ratih dan ayahku menyusuri koridor panjang di sisi
tutup rapat, sebagian sedikit terbuka, menampakkan samar-samar isi di dalamnya. Sebua
ambut gondrong, kaus hitam lusuh, dan mata merah, sepertinya baru bangun tidur. Dia hanya mengangguk tipis keng yang fokus menunduk, tangannya sibuk menggoreskan sesuatu di atas sketchbook. Ia tak menyadari kehadiran kami. Di sampingnya, seor
?" sapanya ramah, s
ipis, terlalu malu untuk bicara. Ayahku
"Itu adikku, Li Hua. Dia lagi asyik mengga
jangan berisik. Nanti Pak Bagus jadi sungkan!"
arnya, meninggalkan kami dengan kesan pertama ya
yang paling ujung di koridor. Di daun pintunya, seb
tah mengapa, mataku terpaku pada goresan-goresan samar di
an. Ada kipas angin, lemari kecil, dan meja belajar," Bu Ratih
untuk menampung satu kasur busa tipis, sebuah lemari kayu dua pintu y
a yang lusuh. Udara di dalam kamar terasa pengap, meski ada sedikit angin y
n menjadi duniaku untuk
tih menunjuk ke berbagai sudut kamar dengan telunjuknya. "Kalau mau mandi, kamar mandinya di ujung
ping lemari. "Terima kasih ban
ang penting anaknya betah dan tidak nakal," sahu
sungkan tanya. Tapi kalau malam jangan keluyu
rgejolak. Rasa cemas dan rindu rumah semakin menusuk. Bagaimana aku akan mele
k. Belajar yang rajin. Jangan lupa sholat. Kala
ayah. Aku memeluknya erat, mencium tanga
ri di ambang pintu kamar nomor tujuh, mengawasinya hingga mobilnya menghilang
aannya yang empuk namun asing. Keheningan tiba-tiba terasa begitu pekat, hanya dipecah ol
ndela, ke arah langit
rdampar di tengah kota yang sibuk, sendirian. Di kamar nomor tujuh, aku merasakan desa
Siapa? Apa aku sudah melakukan kesalahan? Perasaan takut dan
u malah pemuda berambut gondrong dengan mata merah itu? Aku menatap pintu cokelat di depanku, ber

GOOGLE PLAY