inap dari celah jendela pun terasa seperti bisikan rahasia, membuatku semakin gelisah. Aku mencoba untuk membaca buku pelajaran, tapi mataku hanya menelusuri barisan kata tanpa
n sedang mabuk. Aku menahan napas, menajamkan pendengaranku. Suara langkah itu semakin mendekat, melewati kamar-kamar lain, dan akhirnya berhenti di depan kamar Mas Arya. Kudengar bunyi kunci diputar dengan terburu-buru, lalu pintu dibanting pelan, seolah pemiliknya
sedang sibuk meracik bumbu di dekat kompor, dan Li Hua yang duduk di meja sudut, dengan sketsa buku terbuka di depannya.
dengan lingkaran hitam pekat di bawahnya, seperti panda yang baru bangun dari hibernasi panjang. Di pipi kanannya, sebuah memar ungu kebiruan terlihat jelas, kontras dengan kulitnya yang pucat. Ia berjalan
ning dan kembali ke sketsanya. Bu Ratih, yang biasanya sangat cerewet dan peka terhadap perubahan kecil
kan diri mend
a ya?" bisikku pelan, t
annya tenang. "Aku juga tidak tahu, De
n kening. "Maksudnya... sering
bilang, ia kerja paruh waktu di tempat yang agak... kera
tahu perjuangan merantau itu berat, tapi tidak men
il. Cuma bilang di daerah kota lama, sering angkat-a
alari tulang punggungku. Aku membayangkan Mas A
langsung menuju meja makan, mengambil piring dan menyendok nasi goreng.
sana yang tadinya hening menjadi hidup. Kemudian, matanya menangkap Mas Arya. Senyumnya sedikit memudar
kecil sebagai jawaban, t
ya sejenak, lalu menatapku dan Li Hua dengan
as Arya ya?" ta
di malam aku dengar ia pulang larut sekali, lan
Jangan terlalu dipikirkan. Mas Arya itu mema
?" tanyaku
punggung keluarga. Adik-adiknya masih sekolah, orang tuanya sakit-sakitan
h saja sudah merasa berat, apalagi Mas Arya yang harus men
ang harus berurusan dengan orang-orang kasar, atau bahkan menghadapi masalah yang tidak te
melihatnya mengobati luka sendiri di dapur. Ia tidak pe
, membuatku merinding. Aku merasa ngeri sekaligus kasihan. "Kal
terjadi di kos ini. Tapi ia juga tahu batas. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam. Ia menghormat
n kisah perjuangan yang jauh lebih gelap dan menyakitkan. Aku menyadari, hidup di perantauan bukan hanya soal kuliah dan adaptasi
h serius, tatapannya lurus ke arahku. "Tapi ada beberapa hal yang lebih baik tidak kau campuri. Terutama ji
an, dan takut membaur jadi satu. Aku adalah anak rumahan yang lugu, tak pernah berhadapan dengan situas
i kos ini yang tidak terlihat di permukaan. Bukan hanya pintu terkunci di belakang kamarku, tapi juga rahasia dan beban yang dipikul oleh penghuni lain. Pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan dalam benakku. Mengapa Ma
an, tetapi tertahan di ujung lidahnya. Udara di dapur mendadak terasa dingin lagi. Aku menyadari, kos ini bukan sekadar tempat tinggal sementara, melainkan sebuah rumah yang menyimpan banyak cerita, banyak luka, dan banyak rahasia y

GOOGLE PLAY