Rinka mengusap keningnya yang sedikit berkeringat. Rambut hitamnya sudah mulai terlepas dari cepol rapinya. Meskipun lelah, ia menyukai pekerjaannya, dan ia bangga akan dedikasinya, sebuah kualitas yang sering disalahgunakan oleh atasannya.
Tiba-tiba, interkom di mejanya menyala, memecah keheningan.
"Rinka, masuk."
Suara bariton Rendi terdengar dingin dan tak terbantahkan, memicu lonjakan adrenalin kecil di perut Rinka. Tanpa basa-basi atau sapaan malam, hanya sebuah perintah. Rinka segera merapikan sedikit penampilannya dan berjalan menuju pintu kayu mahoni di ujung ruangan, pintu menuju takhta Rendi.
Di dalam, Rendi duduk tegak di balik meja marmer gelapnya. Pria itu tampak sempurna dalam balutan jas yang bahkan di malam hari pun masih terasa elegan. Dia tidak membaca dokumen, melainkan menatap kosong ke pemandangan lampu kota dari balik jendela. Kesempurnaan wajahnya selalu dibarengi dengan aura bahaya dan misteri yang membuat siapa pun enggan berlama-lama di dekatnya.
"Kau butuh sesuatu, Tuan Rendi?" tanya Rinka, berusaha mempertahankan profesionalisme meskipun kakinya terasa pegal.
Rendi tidak langsung menjawab. Ia mengambil waktu sejenak untuk menyesap wiski di tangannya, seolah mengukur kesabaran Rinka.
"Duduklah, Rinka. Kita tidak sedang membicarakan laporan keuangan."
Rinka merasa tegang. Nada suara itu... terlalu pribadi untuk urusan kantor. Ia menurut, duduk di sofa kulit di hadapan Rendi, menjaga jarak sewajarnya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan Rendi? Mengenai pertemuan besok atau mungkin urusan pribadi?"
Rendi meletakkan gelasnya dengan denting keras di atas meja. Mata tajamnya menembus Rinka. Di matanya, tidak ada kebaikan, hanya kalkulasi murni.
"Aku punya masalah. Masalah yang harus diselesaikan segera. Dan kau adalah satu-satunya solusi," ujar Rendi lugas.
Rinka mengerutkan kening. "Saya tidak mengerti."
"Jangan pura-pura bodoh, Rinka. Kau tahu aku bisa mengendalikan apa pun yang aku inginkan, kapan pun aku mau. Termasuk kau."
Rinka menggenggam tangannya. "Tuan Rendi, jika ini menyangkut pekerjaan, tolong jelaskan dengan rinci. Jika tidak, saya harus kembali menyelesaikan draf merger."
"Draf merger itu sudah selesai. Tugasmu yang berikutnya jauh lebih penting, menjadi istriku."
Ruangan terasa membeku. Rinka merasa oksigen menghilang dari paru-parunya. Apakah ia salah dengar?
"Tuan Rendi, Anda pasti sedang bercanda," katanya, tawa hambar keluar dari tenggorokannya.
"Aku tidak pernah bercanda tentang masalah sebesar ini, Rinka." Rendi berdiri, melangkah mendekati sofa, memaksanya mendongak. "Aku perlu istri sekarang. Untuk menghadapi dewan direksi, untuk meredam kecurigaan musuh, dan yang terpenting, untuk mengamankan beberapa aset pribadi. Kau tahu posisiku. Menikah dengan figur sosialita hanya akan menarik lebih banyak mata."
"Lalu kenapa harus saya?" Rinka memprotes, suaranya sedikit bergetar. "Ada ratusan wanita yang siap menjadi istri Anda tanpa paksaan. Saya hanyalah sekretaris Anda!"
Rendi membungkuk sedikit, senyum sinis tersungging di bibirnya. Senyum yang biasanya memikat kini terasa menakutkan.
"Justru itu kuncinya. Kau tidak menarik perhatian. Kau tidak punya koneksi yang bisa mengancamku. Kau patuh, jujur, dan mudah dikendalikan. Tapi yang paling penting..." Rendi berhenti, matanya menelusuri Rinka dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau adalah rahasia sempurna."
Rinka tersentak. Dia menyadari Rendi tidak meminta. Ini adalah pernyataan.
"Tidak! Saya tidak mau, Tuan Rendi. Saya punya hidup saya sendiri, impian saya sendiri. Saya tidak akan menikah hanya karena Anda butuh alibi bisnis!" Rinka berdiri, berniat segera pergi dari ruangan itu.
Namun, sebelum ia sempat bergerak, Rendi telah memegang pergelangan tangannya dengan cekatan. Cengkeramannya kuat, tapi tidak menyakitkan.
"Kau pikir kau bisa menolakku?" Rendi menariknya kembali ke sofa, kali ini duduk di sampingnya, membuat Rinka merasakan panas tubuhnya.
"Dengar baik-baik, Rinka. Ini bukan pernikahan yang didasari cinta, ini kontrak. Kau hanya perlu menjalani peranmu selama dua tahun, dan setelah itu, kau bebas. Aku akan memastikan kau mendapatkan kekayaan yang cukup untuk menghidupi tujuh turunan."
"Saya tidak butuh uang Anda!"
"Oh, kau butuh, Sayang. Semua orang butuh uangku," desis Rendi, menggunakan kata sapaan intim yang membuatnya merinding. "Tapi, ini bukan tentang uang saja."
Rendi tiba-tiba menjauhkan diri dan meraih sebuah tablet dari meja kopi. Ia mengetuk layarnya dan memutarnya menghadap Rinka.
Di layar itu, tampak sebuah gambar, ibunya, yang selama ini sakit-sakitan, baru saja dipindahkan ke ruang perawatan VIP yang sangat mahal. Di gambar lain, terlihat laporan bank tentang pinjaman besar yang telah melilit keluarganya sejak lama, pinjaman yang sebentar lagi jatuh tempo.
"Pilihanmu mudah. Kau setuju menjadi istri rahasia, dan semua biaya perawatan ibumu, serta hutang-hutang keluargamu, lunas pagi ini juga. Kau dan keluargamu aman, bahkan mapan," Rendi menyandarkan punggungnya, kembali tampak santai. "Atau, kau menolak. Dan besok pagi, ibumu kembali ke ruang perawatan kelas tiga, rumah sakit menuntut pembayaran segera, dan pinjaman itu jatuh tempo."
Dunia Rinka terasa runtuh. Matanya mulai berembun. Dia tahu Rendi adalah pria berkuasa, tetapi ia tidak pernah menduga Rendi telah menggali sedalam ini, menyerang tepat di titik kelemahannya, keluarganya.
"Kau... kau tidak punya hati," lirih Rinka.
Rendi tersenyum, kali ini bukan senyum sinis, melainkan senyum puas seorang predator.
"Mungkin tidak. Jadi, bagaimana, Rinka? Kontrak ini menawarkanmu kemewahan dan keselamatan, tetapi dengan satu syarat, menjadi sekretaris di siang hari, dan istri rahasia yang sepenuhnya patuh di malam hari. Aku ingin jawabanmu sekarang juga."
Rinka menatap tablet yang memperlihatkan nasib keluarganya di ujung tanduk. Dia terjebak. Antara martabat pribadinya dan keselamatan orang-orang yang dicintainya.
Udara terasa mencekik. Rendi menunggu, diam, seperti singa yang menanti mangsanya. Kehidupan normalnya, karier idealisnya, semua lenyap dalam sekejap karena ulah pria yang kini menjadi atasannya, dan sebentar lagi, paksaan tak terhindarkan, akan menjadi suaminya.
Rinka menarik napas panjang, kepalanya tertunduk. Ia tidak punya pilihan.
"Baik, Tuan Rendi. Saya setuju," katanya, suaranya hampir tidak terdengar, seolah ia baru saja menjual jiwanya kepada iblis.
"Pilihan yang cerdas," Rendi membalas, meraih tangannya dan mencium punggungnya, gerakan yang seharusnya romantis tetapi terasa seperti stempel kepemilikan. "Selamat datang di hidupku, Nyonya Rahasiaku. Tapi ingat, di luar ruangan ini, kau tetaplah Sekretaris Rinka yang bekerja keras."
Saat Rinka mengangkat kepalanya, air matanya jatuh. Namun, sebelum ia sempat memprotes takdirnya, Rendi kembali menatap layar tablet dan tersenyum misterius. Ia tidak menunjukkan senyum kemenangan, melainkan senyum kecemasan. Seolah-olah pernikahan ini, yang dipaksakan Rendi sendiri, adalah sebuah ancaman yang lebih besar daripada sekadar kontrak.
"Dan satu hal lagi, Rinka. Jika kau mencoba kabur, ingatlah bahwa bukan hanya keluargamu yang terancam. Tapi kau sendiri akan tahu betapa gelapnya masa lalu yang sedang aku lindungi darimu," bisik Rendi, suaranya mengandung ancaman nyata, menjanjikan bahwa ikatan rahasia ini baru saja dimulai, dan bahaya sesungguhnya belum terlihat.